08. Cinta mati Daren.

511 47 97
                                    

Adena POV.

"Kenapa Daren tidak pernah ke sini lagi?"

Mamah bertanya padaku. Beliau baru saja pulang kerja. Aku saat ini sedang berada di kamarku. Aku menoleh dan tersenyum tipis padanya. "Kami kayanya enggak cocok mah," jawabku pelan.

Beliau duduk di sisi ranjangku. "Sebaiknya jangan pacaran lagi aja. Kamu fokus sekolah aja." beliau terdengar menghela napas lelah.

"Iya, Mah."

"Itu ponsel siapa? Kenapa mamah telpon kamu enggak kamu angkat?"

Aku baru saja akan menjelaskan ini. Karena Mamah menanyakannya, aku mau tidak mau harus menjelaskan ini sekarang juga. Aku memilih memutar kursi dan menghadap ke arah mamah.

"Ponsel Dena jatuh, Mah. Sekarang lagi di benerin. Dan ini," aku memperlihatkan ponsel milik Althar. "Punya temen, Mah. Dia bilang buat aku." Mamah menautkan kedua alisnya seolah tidak percaya dengan yang aku katakan.

Kemudian ia meraih ponsel itu dengan hati hati. "Ini ponselnya bagus banget. Dan harganya lima belas jutaan, setahu mamah. Mana mungkin ada temen yang mau ngasih ini sama kamu."

Aku terdiam.

"Adena ..., mamah rasa, orang itu punya tujuan tertentu sama kamu. Dia jelas bukan Devani kan?" Aku menggeleng.

"Cowok kan?" Aku mengangguk. Terdengar helaan napas cemas Mamah. Beberapa saat dia terdiam, sampai berdiri dan meletakan kembali ponsel itu.

"Kamu berikan lagi aja ponsel itu sama dia!" Mamah menatapku lekat. "Jangan sampai kamu ngerasa punya hutang sama seorang lelaki. Lalu kamu akan diperlakukan tidak pantas, nantinya. Mamah enggak mau itu terjadi."

"Iya, Mah." Beliau terdiam dan membuka ponselnya, mengeluarkan kartu miliknya. Lalu meletakan ponselnya di atas meja.

"Kamu pake ponsel Mamah aja." Lalu beliau mengusap puncak kepalaku. "Jangan sampai nasib kamu sama seperti Mamah. Dihina laki laki, karena dia merasa kalau Mamah itu tidak bisa berdiri sendiri, dan tidak mandiri. Ingat! Papah kamu ninggalin kita. Hanya karena ngerasa kalau Mamah dan kamu adalah beban buat dia!" Mamah mengalihkan tatapannya ke arah lain.

"Jadilah perempuan yang mandiri. Bila perlu, kamu tidak harus kenal laki laki. Mereka itu jahat! Mereka memiliki banyak topeng. Lain di bibir, lain di hati! Dan Mamah enggak mau kamu jadi korban selanjutnya!"

Mamah keluar dari kamarku, dengan diriku yang terpaku.

Ponsel ini buat kamu! Tolong di jaga ya?

Kalimat yang Althar ucapkan setelah mengantarkannya pulang tadi siang. Membuatku sangat bingung. Apakah aku tetap menjaga ponsel itu. Atau mengembalikannya pada Althar.

***

"Adena!"

Aku menahan langkahku yang sedikit tertatih. Kudapati Keysa menghampiri. "Ada apa?" Tanyaku.

Dia berdiri tepat dua langkah dariku."Kemarin, temen aku bilang. Daren nyamperin kamu?" Oh, masalah ini toh.

"Iya," aku tidak mungkin mengelak kan.

"Kalian ngobrol?" Dia bertanya penuh cemas.

"Enggak sih,"

"Kenapa sih, kamu harus berkomunikasi terus sama dia? Kan kalian udah jadi mantan. Aku enggak mau kalau Daren kembali ada rasa sama kamu. Kamu pasti ngerti dong?"

Tunggu!

Kenapa aku merasa kalau dia sedang menginterogasi seorang pelakor?

Dan di sini akulah tersangkanya. Sungguh sangat menyebalkan!

JenuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang