06. Gempa dan hati yang patah

355 54 164
                                    

Adena POV.

Adakah yang masih belum bubu?

"Kamu ke mana aja? Kenapa telpon saya enggak diangkat?"

Pak Regan bersungut sungut. Padahal aku baru saja datang. Beliau sepertinya sedang kesal.

"Ponsel saya rusak, Pak. Jatoh di sekolah." Aku menjawab sembari mulai membersihkan meja dan beberapa tangkai bunga yang berserakan. Pak Regan menatapku beberapa saat.

"Ceroboh amat sih, pantes aja saya hubungin kamu susah banget. Emeral tadi nelpon, dia lagi di rumah sakit. Calon mertua saya sakit. Saya malah di sini harus nungguin kamu!" tambah Pak Regan, beliau menghela napas dalam.

"Maaf, Pak." Kenapa coba enggak pergi saja. Kan ada satpam. Biar satpam saja yang menunggu di sini.

"Ya udah, sih. Percuma juga saya marah marah." Pak Regan mengambil kunci mobilnya yang tergantung di dekat mesin kasir. "Saya pulang agak malem. Kalau kamu keburu pulang. Kunci tokonya di bawa saja."

Aku mengangguk pelan. "Baik, Pak." ucapku.

Dia melewatiku menuju pintu, namun sebelum itu dia kembali berbalik padaku. "Kamu mau enggak, ponsel baru? Tapi ngutang di toko saya. Tenang, saya enggak ambil untung. Harga kes, sama nyicil, enggak beda ko. Cuma ya, kamu enggak apa apa nyicil. Kalau mau, saya beliin. Maksud saya, saya talangin dulu."

Lah, si Bos malah promosi.

Aku malah terdiam untuk beberapa saat. Punya hutang ponsel itu rasanya lebih berat dari pada diputusin pacar. Pasalnya kebutuhanku banyak sekali.  Malah nambah beban saja.

Mengingat tentang ponselku yang jatuh. Aku jadi ingat tentang Althar, dia ingin membelikanku ponsel baru. Katanya sih mau tanggung jawab.

Tapi aku menolaknya. Memangnya dia itu siapa. Kami tidak saling kenal. Kami hanya bertemu beberapa kali saja. Dan meskipun kami sekarang satu sekolahan. Aku rasa, kami tidak perlu akrab terlalu dekat. Aku tidak mau mengenal laki laki lagi.

Menurutku, lelaki itu aneh. Mereka akan mengejar perempuan yang disuka dengan melakukan apapun, juga mengorbankan apapun. Waktunya, kebahagiaannya, materinya, dan semua hal yang bisa dilakukan, akan mereka lakukan, meski mungkin raganya pun akan dikorbankan demi perempuan yang disuka.

Kemudian mereka dapatkan. Lantas perempuan itu mereka lepas. Jadi untuk apa semua pengorbanan itu? Untuk siapa?

Mereka bisa mencintai dengan begitu besar. Tapi kemudian menyakiti dengan begitu gila.

Mereka menakutkan!

Mereka menyeramkan!

Aku benci laki laki!

"Adena! Saya ngomong sama kamu looohhh!"

Eh, aku terperanjat. Aku malah melamun sendiri. Pak Regan terlihat mendengus kasar. "Jadi kamu mau enggak nyicil ponsel sama saya?" Beliau bertanya lagi.

"Enggak, enggak usah, Pak. Saya perbaiki saja. Pasti masih bisa ko. Kan sekarang banyak konter. Pasti nyala lagi."

Dia mengangkat kedua bahunya. "Ya terserah kamu saja sih, tapi kalau saya susah hubungin kamu, gimana dong?"

"Palingan dua atau tiga hari, pasti nyala lagi Pak."

"Iya, dua atau tiga hari. Kalau saya butuh hubungi kamu sebelum ponsel kamu nyala, saya hubungi ke mana? Ke toa mesjid?" Dia memutar kedua matanya kesal. Dan aku malah terkekeh. Toa mesjid ko di bawa bawa. Dasar manusia yang satu ini.

"Malah ketawa lagi!" Dia mengacak kepalaku kesal. "Ya udah, pake dulu ponsel saya yang satunya. Itu kartunya keluarin aja." Pak Regan menunjuk ponselnya yang berada di atas meja. Ponsel itu, ponsel lamanya. Beliau pakai khusus untuk bermain game mobile lagend saja.

JenuhWhere stories live. Discover now