43

449 56 0
                                    

Pagi itu sangat suram bagi Kenneth. Margaret benar - benar tak mengucapkan apapun sejak ia bangun tidur tadi. Di dalam kereta pun sama. Perempuan itu memilih menoleh keluar jendela dengan tatapan mata yang kosong. Mereka sedang dalam perjalanan menuju Godesburg, kota yang dimaksud pamannya dalam surat tersebut. Margaret masih menolak percaya bahwa paman Malvo ikut terlibat dalam konspirasi ini. Entah apa sebabnya, tetapi yang jelas Margaret harus menemukan ibunya terlebih dahulu.

"Apakah kau benar - benar memakan sarapanmu tadi ?" Tanya Kenneth tiba - tiba untuk mengisi kekosongan. Tadi Margaret sarapan terpisah dengan Kenneth sehingga ia tidak tahu apakah perempuan itu benar - benar makan atau tidak.

"Aku tidak berselera makan." Jawabnya singkat, tak menoleh sama sekali kepada Kenneth.

"Aku tahu rasanya pasti sulit. Namun kau juga harus menjaga kesehatanmu, Margaret. Kau sedang mengandung."

"Aku tidak akan mati hanya karena melewatkan sarapan sekali saja." Sahut Margaret cepat. Kenneth benar - benar dibuat serba salah disini.

"Yang Mulia." Kereta berhenti dan Panglima Ansel memanggil Margaret dari luar jendela.

"Ada apa ?" Tanyanya singkat. Panglima Ansel masih terdiam sebentar, menata kalimatnya terlebih dahulu supaya Margaret tak salah paham.

"Di dalam Godesburg hanya terdapat hutan dan lahan pertanian, Yang Mulia. Daerah mana yang akan kita susuri ?" Ujarnya hati - hati. Margaret berpikir sendiri kemudian mengeluarkan jawabannya dengan lugas.

"Godstain."

"Baik, Yang Mulia." Lelaki itu menunduk lalu kembali ke kudanya. Tak lama kemudian, kereta berjalan lagi.

"Ada apa di Godstain ?" Kenneth terdengar sangat ingin tahu.

"Disana banyak bunker - bunker yang tak terpakai. Benar kata Panglima Ansel. Daerah utama Godesburg hanya berisi persawahan. Sisanya adalah hutan. Mungkin yang dimaksud Malvo dalam suratnya adalah Godstain karena daerah tersebut ada di tepi Godesburg." Jelasnya datar.

Mereka menempuh perjalanan lagi, tak terlalu lama tetapi cukup membuat Kenneth was - was sendiri. Daerah tersebut sangat sepi. Sekalipun ia membawa banyak pasukan, namun tetap saja suasana terasa sangat mencekam. Tak ada bunyi selain tapak kuda.

"Yang Mulia, ini Godstain." Ujarnya lagi dari luar jendela. Panglima Cedric hanya memperhatikan saja dari belakang. Ia menunggang kuda tepat di belakang kereta Kenneth dan Margaret. Sedangkan Panglima Ansel berada di barisan terdepan.

"Cari mereka. Periksa bunker tersebut satu per satu."

"Serangan !" Kenneth spontan menutup jendela saat Cedric berteriak dengan lantang. Beberapa anak panah melesat begitu saja mengenai tanah. Beruntungnya panah - panah tersebut meleset dan tak melukai siapapun.

"Tunjukkan wajah kalian dengan berani ! Hadapi kami secara langsung !" Cedric memperingati mereka dengan keras sembari mendekati kereta kuda.

"Yang Mulia, kau baik - baik saja." Bisiknya sangat pelan melalui celah jendela yang tertutup.

"Aku baik - baik saja, Ced. Ada apa itu tadi ?" Kekhawatiran Kenneth semakin besar.

"Ada orang yang berusaha menyerang kita. Ku duga mereka bersembunyi di pohon - pohon. Kita harus segera bergegas dari sini, Yang Mulia. Disini tidak aman." Cedric juga nampak khawatir.

"Yang Mulia, mereka mengirim surat pada salah satu anak panah." Ansel membawa sebuah amplop yang tadi baru saja diberikan oleh anak buahnya. Ia menyelipkan amplop tersebut di tengah jendela. Margaret segera mengambilnya dengan cepat sedangkan Kenneth hanya mengawasinya melalui sorot matanya.

WARM DAYS - United MonarchyWhere stories live. Discover now