02

248 36 13
                                    

Untuk pergi ke tempat itu, aku harus mengambil jalur gang yang terletak diantara apartemen dan sekolah. Dengan hoodie abu-abu dan celana jeans, tak lupa memakai kacamata hitam dan masker agar tak dikenali dengan mudah. Kupakai sneakers putih yang telah kucuci seminggu yang lalu. Melihat penampilanku sejenak pada cermin, aku bergegas pergi ke tempat itu.

Saat memasuki gang, intuisiku berkata bahwa seseorang kini sedang memperhatikanku. Entah berada di sudut mana orang itu, lebih baik aku mengabaikannya dan segera pergi. Makanan enak sedang menantiku di suatu tempat. Enyahlah kau!

Semakin dalam memasuki gang maka semakin minim cahaya. Samar-samar aku melihat bangkai tikus gemuk dekat pembuangan sampah, untung saja aku memakai masker. Jika tidak, pasti baunya dan bau sampah sudah menusuk-nusuk hidungku.

"...."

Ugh, membuatku risih saja. Intuisiku kembali berkata bahwa seseorang kini mengikutiku di belakang, mungkin jaraknya sekitar lima meter dari tempatku berjalan. Aku tidak perlu menengok untuk memastikan, karena intuisiku selalu benar.

Beberapa menit berjalan, terlihat sebuah pintu kayu yang rapuh dihadapanku. Kutebak siapapun yang berhasil menemukan tempat ini akan mengira ini adalah tempat tinggal mereka yang tak berkecukupan. Pilihan yang bagus untuk tidak peduli dengan pintu ini, karena pintu ini cukup berbahaya, apalagi untuk perempuan. Sekali masuk kau tidak akan bisa hidup dengan bebas.

Aku berhenti melangkah. Diam sejenak, aku berbalik.

Tidak ada siapapun di sana.

Aku menyeringai, "Pilihan yang tepat untuk tetap bersembunyi disana, orang asing."

Kubuka pintu lalu masuk kedalamnya.

──── ◉ ────

Suara disko menggema, lampu berkelap-kelip seirama dengan beat musik yang sewaktu-waktu bertempo cepat, wanita-wanita dengan dress hitam mereka menari-nari, menunjukkan kelihaian bokong mereka dihadapan para pria tuksedo hitam. Dengan wine diatas meja dan cerutu terhimpit diantara kedua jari mereka. Yang berada tak jauh di dekatku, asap rokok mereka baunya sampai menusuk rongga hidung. Cih, sia-sia aku memakai masker.

Jika kau berfikir ini adalah sisi gelapku, maka jawabannya adalah tidak. Disini tempat pamanku bekerja, dia salah satu bartender. Meskipun kelakuannya seperti orang brengsek, beruntungnya aku tidak menjadi orang yang seperti mereka. Pamanku selalu bersikap baik padaku, dan, dia juga yang suka memberikanku makanan enak. Jadi jangan salah paham. Aku bukan ingin melacur.

Kukatakan sekali lagi, tempat ini memang berbahaya. Aku tidak berbohong. Para wanita dan pria di lobi itu bukan orang biasa. Diantaranya ada seorang pembunuh bayaran, mata-mata, pengusaha sukses, miliader, bahkan agen intelijen negara juga ada disini. Mereka disini bukan semata-mata untuk bersenang-senang dan memuaskan nafsu birahi, namun tak lain hanyalah untuk bertugas.

Lalu bagaimana bisa aku berada di antara mereka dengan aman? Karena ini pengaruh pamanku. Selain menjadi bartender tetap, dia juga dipekerjakan oleh orang-orang yang ada disini, untuk diam-diam memperhatikan seseorang atau sekelompok orang sesuai arahan. Entah bagaimana caranya dia bisa selamat dengan pekerjaan itu, yang penting pamanku masih selamat.

Jika tidak, sepertinya aku akan benar-benar sendirian. Dan tidak ada lagi yang akan membiayai kehidupanku! Kumohon paman, tetaplah hidup untukku! Aku menyayangimu!

"[Y/N], kau baik-baik saja?"

Seorang pria menghampiriku. Oh, ternyata dia salah satu kenalan paman. Kulihat wajahnya dengan teliti, orang ini semakin tampan saja. Untuk beramah-tamah, aku tersenyum.

"Tidak apa-apa, tuan. Saya hanya sedikit terganggu dengan suara bising yang ada disini."

"Seperti biasa, bertemu paman?"

"Benar."

"Huh. Sekali-kali kau datang kesini untuk bertemu denganku," ejeknya. Pria berambut pirang klimis itu menyeringai. "Jadi bagaimana dengan tawaran waktu itu?"

Dia berjalan mendekat, tangannya meraih daguku. Ih, geli. Dasar ABG tua. Sudah berkepala tiga tapi masih saja menggoda jagung muda. Maksudku, gadis remaja.

"... Akan kufikirkan lagi. Aku belum bisa memutuskan sekarang karena sibuk sekolah. Permisi."

Segera aku berlari dengan tangan leluasa. Untung dia tak berusaha menjegal tanganku seperti di film-film romansa kesukaan temanku. Beginilah jadinya. Aku tidak bisa bertemu paman secara normal karena paman jarang ada di rumahnya. Dia pulang hanya jika ada hal mendesak. Kapan aku diajaknya ke tempat ini? Aku lupa.

Ingatan tentang masa laluku samar-samar. Yang terakhir kuingat hanyalah, wajah paman ketika aku terbaring di rumah sakit. Kufikir, beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih di bangku sekolah dasar.

Ruangan ini begitu luas. Terlihat pamanku yang sedang membuat minuman beralkohol. Sadar dengan keberadaanku, dia melempar senyum sambil menuangkan minuman kedalam gelas. Kulepas masker dan kacamata hitamku setelah menduduki kursi didepannya.

"Lama tak berjumpa, [Y/N]-chan," ujarnya dengan senyuman.

"Halo, paman. Bisakah memberikanku beberapa ratus Yen? Aku ingin makan sesuatu yang bisa menyenangkan lidah dan hatiku." Tak basa-basi dan bertele-tele, segera kukatakan apa yang kuinginkan agar bisa segera pergi dari tempat ini.

Pamanku terdiam. Mungkinkah ia menganggapku tak sopan? Tapi kan, dia yang menyuruhku untuk segera mengatakan apa yang ingin kukatakan karena akan jadi bahaya jika aku berlama-lama disini. Jadi, tidak masalah bukan? Tentu saja, karena beberapa detik kemudian pamanku tersenyum seperti biasa.

"Akan kuberikan."

Paman lalu membawa sesuatu dari dalam laci. Kini sebuah amplop coklat yang kembung terletak diatas meja. Aku tersenyum senang. Saat hendak kubawa dan mengucapkan terimakasih, paman mencegahnya.

"Itu tiga juta Yen," katanya.

APA?! Mulutku hanya bisa ternganga, dia belum selesai berbicara. Kutebak, pasti ada sesuatu.

"Ada seseorang menunggumu di ruang VIP, pergilah kesana."[]

──── ◉ ────

Tenang ya, ini bukan fan-fict yang diam-diam menyelipkan genre mature👁️👄👁️ Udah ketebak siapa orang yang ngajak ke ruang VIP? Hayoo siapaaa (~ ͡° ͜ʖ ͡°)~

Jangan lupa vote ya-! (๑♡⌓♡๑)

The StalkerWhere stories live. Discover now