04

181 26 7
                                    

Sekarang aku ada di salah satu kafe ternama yang ada di Tokyo. Kami duduk berhadapan. Gojou-san terus menatapku sejak kami datang, sedangkan aku mencoba untuk tak merasa risih dan berlagak seperti biasa.

Aku tahu, pembicaraan kita belum selesai. Huft, setelah ini apa lagi yang dia inginkan?

"Pesanan datang! Silahkan dinikmati~"

Akhirnya pelayan segera datang setelah beberapa saat aku memesan makanan yang paling mahal disini. Biar saja, dia bilang makan saja sepuasnya. Yasudah, kupesan saja semua makanan enak yang ada disini. Fufufu.

"Kau benar-benar akan menghabiskan semua sajian diatas meja ini sendirian?"

"Tentu saja!"

Gojou-san memijat pangkal hidungnya, terlihat bingung dan tak habis pikir denganku. Mungkin karena khawatir dengan keuangannya. Kufikir sebagian uang pemberian paman merupakan tambahan dari orang ini. Betapa serakahnya diriku. Harus berterimakasih nanti.

Senyumanku sulit untuk pudar saking senangnya. Melihat hamburger ukuran besar yang begitu menggiurkan membuat perutku bergemuruh hebat, tak sabar ingin mencerna makanan sehat ini. Segera kugigit lebar-lebar hingga mayonaise-nya menempel di pipiku. Satu gigitan menuju surga!

"Dasar serakah," sindirnya.

"Bwiwarkwan swaja! (Biarkan saja!)" balasku.

Gojou-san menyeringai. Tangannya menggenggam tanganku yang memegang hamburger yang tinggal seperempat. Aku terdiam menatapnya, tak bergeming sedikitpun. Tak sempat menelan hamburger yang telah halus dimulut, lagi-lagi jantungku berdebar. Wajahnya mendekat, lalu digigitnya lebar-lebar. Oh tidak, hamburgerku!

"Gojou-san...."

Aku menggeram marah, sedangkan dia asik mengunyah dengan senyuman meledek. Sialan! Siapapun yang melihat pasti ingin melemparnya dengan kursi yang tersedia di kafe ini. Sebab kursi ini terbuat dari kayu keras yang sepertinya dapat membuat kepala siapapun pecah. Segera ku urungkan niat jahatku karena dia yang akan membayar semua ini.

"Apa salahnya, [Y/N]-san? Wajahmu terlihat begitu murka," ejeknya.

"Tidak apa-apa, Gojou-san. Karena kau yang akan membayarnya."

"Siapa bilang aku yang bayar?"

"... Eh?"

Seketika aku bengong. Lalu mengapa dia mengajakku saat di tempat itu? Apakah dia hanya mengajakku, bukannya mentraktirku?

Dia menopang dagu, menatapku iseng. Netra birunya terlihat meskipun pakai kacamata. Kegantengan itu tak mampu melelehkanku saat ini. Dia sudah membohongiku. Maka aku memilih untuk berhenti terpesona.

"Aku tidak pernah bilang untuk mentraktirmu, aku hanya mengajakmu ke tempat makan karena sepertinya kau lapar. Aku hanya mengikutimu saat ini sebab urusan kita belum selesai."

Gojou-san menjelaskan. Aku begitu kaget dibuatnya. Tak mampu bergerak, tak mampu berkata-kata, sedangkan mayonaise mulai meleleh dan mengotori meja. Melihat keanehanku, tangannya mencubit pipiku dengan keras.

"Jangan melamun. Aku tahu kau terpesona denganku."

Begitu kembali pada kenyataan, aku langsung menyuapkan semua hamburger dan semua yang tersaji diatas piring dengan cepat dan amarah yang menggebu-gebu. Sesekali pria itu memberi saran untuk makan pelan-pelan, namun yang dia lakukan adalah hal sia-sia. Makananku habis dalam sepuluh menit. Perutku sudah terisi penuh.

GROOO....

Aku bersendawa keras-keras dihadapannya, sengaja. Senyumnya berkedut kesal, dan urat pelipisnya terlihat membentuk perempatan siku.

Rasakan itu!

Kuambil tisu dan membersihkan sisa makanan yang menempel di pipiku dengan elegan. Aku sempat berimajinasi Gojou-san yang akan membersihkan sisa makanan ini, mustahil! Sekarang aku mulai menyimpan dendam padanya.

"Tidak sekalian dengan minumnya?"

"Aku akan minum di rumah. Cepat katakan apa urusanmu dan selesaikan hari ini juga."

Gojou terdiam. Persetan dengan etika memanggil seseorang, kuharap dia tak melibatkanku lagi pada urusannya itu.

Ekspresinya berubah, namun aku tak melihat wajah rasa bersalah darinya. Padahal ini salahku karena terlalu cepat mengambil kesimpulan dan terbawa suasana. Sudah kukatakan sebelumnya, ini adalah hari sialku. Dia membuatku ... merasa buruk dan bersalah. Setelah kuingat-ingat, apa yang telah kulakukan?

"Baiklah, kalau begitu. Tujuanku adalah membuat Nanamin mengakui pekerjaan terlarangnya yang menyangkut pautkan warga sipil sepertimu pada petinggi Jujutsu. Aku ingin kita bekerjasama. Kau bebas dari teror permintaan Nanamin, dan aku selesai dengan tujuanku. Karena itu, aku ingin mengajakmu bekerjasama,"jelasnya.

Masih direndam kekesalan, aku menghirup nafas agar ketenanganku kembali. Ketika mulai begitu emosional, aku kesulitan untuk mengontrol diri sendiri. Karena itu, aku ingin semuanya selesai dengan baik tanpa ada kesalahpahaman.

"Jika kita bekerjasama, apa rencanamu?"

"Aku ingin kau menemui Nanamin, kapanpun kau siap. Namun waktumu hanya seminggu jadi persiapkan dirimu mulai sekarang."

"... Setelah itu?"

"Katakan padanya, kau menerima tawaran itu."

BRAK!

"Kau serius berkata seperti itu?!"

Aku menggebrak meja, marah. Dia ingin membahayakanku sekarang? Mudah sekali berbicara!

Semua orang yang berada di dalam kafe menatapku dengan tatapan heran dan tak suka. Persetan! Aku lebih tak menyukai pria ini.

"Tunggu, jangan salah paham dulu. Aku belum selesai berbicara."

Gojou berbisik, dia menatapku serius. Mau tak mau aku kembali duduk. Kulipat kedua tangan dan bersandar pada kursi dengan sinis.

"Setelah itu?"

"Kau akan melakukan apa yang dia inginkan. Makanlah jari itu."

BRAK!!

Entah mengapa, jantungku yang selalu berdebar ketika melihatnya mulai terasa menyakitkan.[]

──── ◉ ────

Tanpa konflik gak bakal seru :'D *diserang readers* huhuhu, gimana sama chapter ini 👁️👄👁️?

Jangan lupa vote ya-! (๑♡⌓♡๑)

The StalkerDonde viven las historias. Descúbrelo ahora