#15

2 0 0
                                    

Wah, hari ini langsung 2 chapter baru.
Enjoy ya dear. . .

___________________________________________

Aku tidak mampu melontarkan kata-kata semenjak Rio menautkan cincin itu ke jariku. Entah mengapa Rio yang notabene lebih muda, mampu membuatku jadi canggung seperti ini. Sedari tadi perkataan Rio hanya kujawab dengan anggukan atau gelengan. Tidak ada suara yang keluar dari mulut Bahkan deheman pun tidak. Sekarang kami sudah di mobil Rio. Tunggu, ini bukan jalan menuju kostku, ini di mana?

***

Rio POV

Sebenarnya aku mulai jengah dengan kebisuan kak Rene. Bagaimana tidak, sejak menyatakan isi hatiku, ia tidak mengeluarkan sedikit suarapun. Ia hanya diam dan melamun. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan.

Melihat kak Rene yang hanya melamun, aku takut. Empat tahun lalu opa juga seperti ini. Ia hanya melamun dan irit mengeluarkan suara. Sekalinya berbicara, omongannya melantur. Rasanya duniaku hampir runtuh ketika opa tidak lagi mengenalku.

Hubungan papa dan mama sudah renggang saat itu. Oleh karena itu aku lebih sering bermain ke rumah opa daripada suntuk mendengar papa dan mama bertengkar setiap hari.

Namun tiba-tiba saja opa mengalami hal itu. Aku panik dan langsung menelepon om Bayu. Bukannya langsung pulang, om Bayu malah menyuruhku membawa opa ke rumah sakit. Pada saat itulah aku mengenal satu istilah yaitu alzheimer.

Awalnya aku berpikir itu rumah sakit yang disarankan dokter untuk kami kunjungi. Namun dokter menjelaskan bahwa penyakit itu memang banyak di derita oleh orang tua. Bahkan bisa diturunkan ke generasinya. Alzheimer membuat si penderita akan mengalami penurunan ingatan. Pantas saja opa tidak mengenal aku lagi. Bahkan ia selalu merancau dan menumpahkan kekesalannya.
Aku dapat mendengar celotehnya yang mengatakan bahwa papa adalah anak yang berbakti karena mau dijodohkan.

‘Rudolf, papa minta maaf sudah memaksamu menikah dengan Hana. Sekarang kamu tidak menikmati pernikahanmu.’ Itulah kalimat yang selalu opa lontarkan setiap kali ia hendak tidur.

Aku ingat, sebelum meninggal, opa menangkup kepalaku ke dalam pelukannya dan menyerukan kelimat tersebut. Rasanya duniaku telah runtuh saat itu. Tidak ada lagi yang bisa kuharapkan. Tidak ada yang bisa kubanggakan. Aku terpaksa tinggal di neraka ini. Entah mengapa rumah menjadi tempat yang sangat kuhindari. Namun karena opa telah meninggal, terpaksa aku kembali ke neraka itu.

Kak Rene masih asik dengan pikirannya. Sepertinya ada hal yang mengganggu pikirannya. Lebih baik aku sedikit memberi refreshing. Aku mengubah jalur menuju pantai. Aku harap kak Rene bisa menyunggingkan kembali senyumnya jika melihat pantai.

Bukankah di diarynya tempat pertama sekali yang ingin ia kunjungi adalah Bangka? Bangka terkenal dengan wisata pantainya. Setidaknya saat ini ia dapat menikmati sedikit dari keindahan Bangka walaupun masih di Bandung.

Berbicara mengenai diary, ingatkan aku untuk mengembalikannya nanti kepada kak Rene. Tentu saja diary itu sudah aku foto terlebih dahulu. Aku ingin tahu apa saja yang kak Rene tulis di buku coklat itu. Tapi tolong jangan beritahu hal ini kepada kak Rene.

Benar saja kak Rene kini memejamkan matanya. Tidak hanya itu, bahkan ia membuka jendela agar udara pantai langsung mengenai wajahnya. Aku pikir kak Rene akan mengomeliku terlebih dahulu. Namun sepertinya ia menikmati hawa pantai ini.

Entah mengapa aku senang ke pantai ini. Tidak terlalu ramai, dan tidak ada sampah yang berserakan. Aku memarkirkan mobil tidak jauh dari laut. Jaraknya kira-kira lima meter dari sapuan ombak.

Sesaat setelah memarkirkan mobil, kak Rene langsung turun dan berlari ke laut. Rasanya ia ingin membebaskan sesuatu yang terikat di dalam dirinya. Aku membiarkan kak Rene menikmati pantainya. Dari jauh aku memperhatikan setiap gerakan kak Rene. Tubuh kak Rene yang mungil mampu membuatku selalu memikirkannya. Mungkin karena kemungilannya membuatku tidak merasa minder untuk mengungkapkan perasaanku. Tidak peduli dengan usianya, yang jelas aku mencintai kak Rene.

Aku mencoba ikut menikmati udara pantai. Walaupun tidak ada alas tempatku sekarang duduk, aku tetap memejamkan mataku dan merentangkan tangan mencoba menikmati hembusan angin.

“Terima kasih.” Entah sejak kapan kak Rene sudah di sampingku. Suaranya menarikku kembali ke dunia nyata.

“Untuk?” aku tidak mengerti untuk apa kak Rene berterima kasih.

“Pantai.” Ia memberikan senyum manisnya. “Kebanyakan di list my future travelling around Indonesia are beaches.” Ia menambahkan. Aku hanya bisa mengangguk. Tentu aku sudah tahu hal ini karena aku sudah membacanya di diary kak Rene.

“Kalau begitu, mari kita lakukan perjalanan keliling nusantara as ur list.” Aku mengusulkan ide. Berapapun biaya yang dibutuhkan, aku siap asal bersama dengan kak Rene. Kalau masalah biaya, gampang saja meminta dari papa. Sepertinya dalam merawatku, papa lebih mengandalkan uangnya daripada waktunya.

“Maksud Rio?” aku tahu itu bukan pertanyaan. Aku tahu itu nada heran.

“Ya, mari kita wujudkan daftar perjalanan keliling Indonesia kakak. Hm, sepertinya ketika aku selesai ujian sekolah dan nasional. Di situ kakak juga sedang libur semester kan?” Tidak lupa aku memberikan senyum andalanku.

“Tapi itu akan membutuhkan biaya yang mahal.” Kak Rene menundukkan kepalanya. Suaranya lirih ketika mengatakan biaya.

“Never mind. Aku bisa minta ke papa. Ya tentunya aku harus masuk NTU.” Aku masih berharap kak Rene menyetujui saranku.

“Lalu kita tidak belajar?” Ya ampun kak Rene, bisa-bisanya ia lebih memikirkan orang lain dari pada dirinya sendiri.

“Hm, kita buat saja kesepakatan pada yang lainnya sampai kapan selesai privatenya.” Mungkin saran ini akan disetujui oleh kak Rene.

“Tentunya ketika kalian sudah masuk universitas.” Itu kan kak Rene terlalu memikirkan orang lain. Bisa-bisanya ia menyia-nyiakan waktu liburannya hanya supaya kami bisa masuk universitas.

“Mereka pada daftar univ di luar kok kak. Aku yakin mereka pasti masuk mengingat soal-soal pengayaan kakak susahnya melebihi soal-soal perkuliahan. Aku tahu itu juga soal kakak kan? Aku pernah melihatnya kok.” Hm, biar saja kukeluarkan unek-unek yang ada di kepalaku.

“Ya tapi kan . .”

“Tapi apa kak? Bagaimana kakak menikmati masa muda kakak kalau kakak hanya memikirkan orang lain? Tiap hari kuliah, rapat BEM, tutorin kami, lanjut membuat materi untuk diajarkan atau buat soal yang mau diujikan, belajar untuk kuliah dan lain-lain. Mana waktu buat kakak? Liburan waktu yang tepat untuk kakak meninggalan sejenak kepenatan itu.” Lolos lah sudah kekesalanku.

“Bagaimana jika teman-temanmu tidak diterima di univ-univ itu? Lagi pula kamu bisa menjamin mereka bakal masuk?” Kak Rena masih berdalih.

“Kalau mereka ditolak di luar, ada kok univ swasta yang terkenal di Indo memberikan kuota bebas testing pada siswa yang nilai raportnya rata-rata delapan di semester lima. Kami semua bahkan rata-rata sembilan. Walaupun itu hasil rodi dari kakak yang memaksa kami mengerjakan soal.” Aku mengedarkan pandanganku pada pantai.

Ya, kak Rene memang tidak pernah terkalahkan. Kami sama-sama keras.

“Kita minta ijin mereka dulu.”Akhirnya kak Rene mengalah juga.

“Kalau kakak takut, nanti aku saja yang mengatakan kepada mereka. Bila perlu kakak mau mengajak mereka juga?” Aku mengusulkan hal gila itu. Ya memang gila karena sebenarnya yang kuinginkan adalah travelling berdua saja dengan kak Rene.

“Boleh juga tuh kalau mereka mau.” Ya, aku menyesal sudah memberi usul.
***

___________________________________________

Siapa di antara readers yang tinggal atau pernah ke Bangka? Author gak hiperbola kan ya. Bangka memang sebagus itu. Tapi memang author masih lebih jatuh hati dengan Bintan 😄✌

TutriceWhere stories live. Discover now