#16

4 0 0
                                    

Wah, ada hawa apa nih author langsung up tiga chapter sekaligus?
Sepertinya ada bau-bau cerita ini bakal direkonstruksi 😄

Enjoy ya!

___________________________________________

Aku sangat menyesal tidak mengingat waktu. Bulan sudah muncul, barulah aku ingat untuk pulang. Jadilah aku menyesal akan kebodohan ini karena pasti kak Rere kelelahan. Namun melihat senyuman yang lepas itu, rasa sesalku berubah menjadi rasa syukur.

Rasanya ingin sekali berlama-lama memandangi senyuman dari gadis yang sangat kucintai. Di depan kak Rere aku bisa mengatakan tidak mengapa jika kak Rere menolakku tetapi dari hati kecilku, aku ingin sekali kak Rere menerimaku sebagai kekasih.

Aku harus mengalah ketika kak Rere mengajak makan di saung dekat pantai. ‘Tidak boleh bayarin makan untuk kak Rere.’ Batinku mengingatkan diri sendiri agar tidak terjadi konflik lagi.

Jangan salahkan jika aku belum juga mengembalikan diary kak Rere. Tidak mungkin aku mengembalikannya di saat-saat seperti ini. Aku tahu kak Rere pasti akan banyak bertanya dan itu akan mengganggu aktiviasku menikmati senyumannya.

Sehabis makan, aku langsung mengajak kak Rere pulang. Kak Rere langsung setuju dan aku tahu sebenarnya ia sudah kelelahan.

Benar dugaanku. Belum juga lima menit, kak Rere sudah tertidur pulas. Perlahan aku menepikan mobil hendak membenarkan posisi tidur kak Rere. Pasti lehernya akan sakit jika posisi tidurnya seperti itu.

“Hmm” Tidur kak Rere terganggu ketika aku hendak merendahkan sandaran jok.

“Maaf kak, itu sandarannya diturunin aja biar kakak nyaman tidurnya.” Aku salah tingkah. Dapat kurasakan wajahku seperti anak kecil yang ketahuan bermain api.

“Hm sorry kakak tertidur.” Kak Rere langsung membenarkan posisi duduknya.

“Gapapa kak tidur aja. Pasti kakak capek banget. Atau itu maaf kak bantal lehernya sini aku perbaiki.” Aku membenarkan posisi bantal leher kak Rere. Ketahuan deh kalau aku tidak pernah merawat mobil ini. Posisi bantal lehernya bisa miring seperti itu.

“Makasih dek.” Aku kira kak Rere bakal marah.

Hm, memang sepertinya kak Rere kelelahan. Bagaimana tidak, kemarin satu harian penuh kak Rere beraktivitas dan hari ini ia harus menemani kami mengerjakan pengayaan. Aku mengemudikan kembali mobil dan kak Rere langsung terlelap lagi.

Malam minggu yang indah bersama gadis yang indah.

Sudah lima menit mobil terparkir di depan gerbang kost kak Rere tapi aku tidak tega untuk membangunkannya. Suara klakson dari mobil yang ada di belakang berhasil membangunkan kakak cantikku.

“Kita sudah sampai ya?” kak Rere bergerak dan mengedarkan pandangannya ke luar.

“Bentar kak. Sepertinya mobil di belakang mau masuk deh.” Akhirnya aku menepikan mobil agak ke depan agar mobil yang di belakang bisa masuk.

“Maaf ya kakak tidur lagi.” Wajah melas kak Rere sangat imut.

“Kakak pasti lelah deh.” Aku memberi senyum. “Kak, ada yang mau kuberi.” Hm, aku mengumpulkan tenaga untuk menerima omelan kak Rere. Kak Rere suka sekali ngomelin aku tapi entah mengapa aku suka.

“Ya?” Hanya itu yang dapat kudengar dari mulut kak Rere.

“Kakak jangan marah ya.” Aku menunduk takut. Ya, aku takut karena ini kan menyangkut privasi kak Rere.

“Sebenarnya apa sih? Kalau kamu gak macam-macam mana mungkin kakak marah.” kok aku jadi bingung ya dengan  pernyataan kak Rere.

“Emangnya aku pernah macam-macam sama kakak?” mana mau aku dituduh sembarangan begitu.

“Ini?” kak Rere mengangkat jarinya yang terlingkar cincin. Hm, nada andalan kak Rere ini selalu mengintimidasiku.

“Emang, emang itu, emang aku memberi itu macam-macam?” Ya ampun, kenapa aku jadi gugup gini ya?

“Ya!” Ampun deh kalau suara kak Rere sudah seperti ini. “Ngapain kasih cincin sama orang yang lebih tua dari kamu? Lagian, ini uang masih dari orangtua dan kamu malah hadiahi untuk orang lain? Kalau mau menghadiahi orang lain, sekolah dulu yang benar. Pakai uang sendiri.” Aku menyerah.

“Lagian uang beli cincin itu aku dapat dari hasil tabunganku diminta mengisi acara cafe.” Aduh, untuk apa aku bilang ini? Jadi ketahuan deh kalau aku freelancer pengisi acara untuk manggung di cafe.

“Acara apa?” benar kan kak Rere ini selalu ingin menggali informasi.

“Hm, oke ini hanya kakak yang tahu. Aku mengambil freelance manggung di cafe. Aku melakukan itu beberapa bulan setelah opa meninggal. Malam hari aku manggung sampai kadang subuh.” Aku harus menjelaskan. “Tapi sekarang udah enggak. Sekarang aku fokus belajar supaya masuk NTU.” Langsung kutegaskan kalimat terakhirku.

“Terus ini hasil tabunganmu?” Aku hanya bisa mengangguk. “dan kamu menghabisin uang tabunganmu hanya untuk membeli cincin ini?” Loh, kenapa aku jadi dimarahi juga? Bukannya aku sudah jujur dan ini memang hasil kerjaku.

“Iya. Ini kan hasil tenagaku bukan minta dari papa.” Jangan salahkan aku keras kepala. Aku hanya mengatakan hal yang benar dan aku harus mempertahankan itu bukan karena keras kepalaku.

“Kamu kan bisa menggunakannya dengan hal yang lain.” Masih saja kak Rere mengajak berdebat.

“Untuk apa lagi aku gunakan uang itu? Semua sudah disediakan mama dan papa.” Aku menunduk. “kecuali suasana rumah yang hangat.” Mataku sudah panas tapi aku tidak boleh menangis.
“Ya, menurutku dengan membelikan cincin dan memberinya kepada kakak itu jauh lebih berharga daripada aku membeli barang-barang branded yang bukan kebutuhanku.” Lolos lah sudah argumenku ini. Maaf kak Rene jika nada suaraku sedikit membentak.

“Memberi cincin itu gak main-main.” Dari sudut mataku, aku dapat melihat kalau kak Rere juga tertunduk. Ia tidak berani melihatku.

“Aku gak main-main kak.” Nadaku lirih.

“Maaf kak kalau itu membebani kakak. Kakak bisa menyimpannya. Tapi tolong jangan beri kembali kepadaku. Sudah lama aku merencanakan untuk memberinya kepada kakak.” Satu kejujuran lagi berhasil lolos dari mulut ini. “Oh iya ini. Tadinya aku mau mengembalikan ini.” Aku langsung mengambil diary yang tersimpan di dashboard mobil. “Maaf kemarin ketinggalan dan aku baru lihat waktu sudah nyampe di rumah.” Kali ini aku tidak berbohong.

“Maaf Rio.” Mengapa kak Rere minta maaf? Dan lagi, mengapa kak Rere memanggil namaku tanpa mengatakan adek? “Sekali lagi maaf Rio.” Kak, aku tidak suka kakak meminta maaf. “Rio, sebenarnya ada hal juga yang ingin kakak sampaikan kepadamu.” Kak Rene mengambil diary yang sempat ia abaikan dan memasukkannya ke dalam ransel birunya.

“Iya kak, ada apa?” Aku penasaran.

“Kakak melihat mama.” Kak Rere tidak melanjutkan ceritanya. Keheningan langsung tercipta di antara kami. Aku bingung antara senang dengan berita ini atau sedih karena ekspresi datar yang diberikan kak Rere saat ini.

“Ternyata mama tinggal di Bandung.” Kembali kak Rere terdiam. “Kakak bisa meminta tolong?” sepertinya ini berkaitan dengan kembalinya mama kak Rere.

“Ya kak Rio akan membantu.” Aku menerima tawaran kak Rere meskipun aku belum tahu itu apa.

“Tolong bantu kakak mencari alamat ini.” Kak Rere mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan chat WA yang tertera alamat rumah. “Kata om kakak, mama tinggal di rumah itu. Tolong bantu kakak.” Kali ini nada suara kak Rere sangat lembut.

“Kakak boleh mengirimnya? Nanti aku bantu cari.” Akhirnya aku menerima tawaran ini. Terima-kasih Tuhan sudah mengijinkanku menolong orang yang sangat ku sayangi.

***
___________________________________________

Hello there!
Siapa yang suka menulis diary?
Lucu deh mengingat masa-masa melampiaskan emosi di diary yang bergembok 😁

TutriceWhere stories live. Discover now