#11

3 0 0
                                    

Tidak terasa jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 23.00. Untung saja besok hari Sabtu sehingga aku tidak perlu bangun pagi. Namun tetap saja aku merasa bersalah karena mau jam berapa lagi Rio sampai di rumah. Langsung saja aku melenggang memasuki mobil Rio. Aku sengaja meninggalkan dia yang keras kepala ingin membayar sendiri makanan kami.

Selalu saja kami berdebat masalah membayar makanan. Aku paling tidak suka dibayarin sama orang lain tanpa ada perjanjian terlebih dahulu. Rio selalu keras kepala dan membayar pesanan kami. Sengaja aku memasang wajah marah agar dia merasa bersalah. Biar saja dia tidak menerima ucapan terima-kasihku dan malah melihat wajah garangku ini.

Tidak beberapa lama Rio masuk dan langsung duduk di kursi kemudi. Tampaknya dia merasa bersalah. Mobil ia kemudikan tanpa berbicara sepatah katapun. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk kami tiba di depan kost.

Aku langsung keluar tanpa memandang Rio. Namun Rio langsung menyusulku dan mengatakan "Good night kak!"

Merasa bersalah, aku berbalik tapi enggan untuk menjawab dia. "Langsung pulang, jangan keluyuran!" akhirnya kalimat perintah itu yang keluar dari mulutku.

Langsung saja aku membuka gerbang dan masuk tanpa memandang ia lagi. Tidak peduli berapa lama ia akan berdiri di situ, yang jelas untuk saat ini aku masih kesal padanya. Memang sikapku kekanak-kanakan. Tapi , memang inilah prinsipku. Aku tidak suka dibayari makan jika tidak karena dihadiahi. Apalagi jika yang membayari aku bukan orang yang sudah bekerja. Itu prinsipku yang sering Rio langar sehingga selalu membuatku gondok.

Sesampainya di kamar, aku memilih langsung masuk kamar mandi. Perlahan air shower membasahi rambut dan tubuhku. Kesegarannya seketika menenangkanku. Aku suka berlama-lama di kamar mandi. Aku suka setiap guyuran air mengenai kulitku. Rasanya sangat rileks. Namun aku merasakan kulitku mulai berkerut. Itu tandanya sudah lama tubuhku diguyur oleh air hingga keriput seperti ini.

Aku menghambil handuk motif Hello Kitty yang tergantung di balik pintu. Kubalutkan tubuhku dan langsung menuju lemari pakaian. Jika seseorang melihat isi lemariku, mereka akan beranggapan bahwa lemari ini adalah lemari pria. Bagaimana tidak, isi lemariku dominan dengan warna putih, hitam dan biru. Bahkan rok yang ada hanyalah rok hitam yang aku gunakan setiap ada acara formal kampus. Jika kebanyakan gadis suka memakai daster untuk tidur, aku lebih memilih baju tidur yang longgar untuk aku gunakan. Mungkin karena terlalu lelah, aku memilih bersandar pada tempat tidur sembari mengeringkan rambut pada kipas angina di samping bed.

***

Tadi pagi aku kaget menemukan posisiku terduduk dan bukan terbaring. Ketika hendak membenarkan posisi tubuh, rasanya semua tulangku hampir patah. Pegal dan kakiku kesemutan. "Aduh" bukan sakit, melainkan geli saat aku hendak menggerakkan kakiku. Aku tidak tahu seberapa lelahnya diriku hingga aku tidak sadar tidur dengan posisi seperti ini.

Aku melihat mencari HP dan melihat ternyata HPku mati. Mungkin sudah low batteray. Aku mengambil charger yang aku susun di dalam kotak di atas meja samping bed. Ku charger ponselku dan aku mengambil jam tangan yang terletak di atas meja. "Astaga, sudah jam 8." Tidak pernah aku bangun sesiang ini. Langsung saja aku mengambil handuk dan mandi dengan terburu-buru. Aku harus segera berangkat ke rumah Clara. Oh iya hari ini kan kami sudah berjanji melakukan penyaan di rumah Rio. Hm, biar sepertinya aku harus professional dan melupakan kekesalanku tadi malam.

Setelah selesai mandi, aku mencoba menyalakan ponselku. Baterainya sudah terisi dua puluh persen. Ketika hendak meletakkannya kembali, aku melihat ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari kak Rafa. "Ada apa kak Rafa memanggilku sampai sebanyak ini? Sepertinya ada hal penting." Batinku. Kutekan pilihan dial, seketika nada jaringan menyambungkanku pada kak Rafa.

"Rene kamu baru bangun?" Walaupun kak Rafa di seberang telepon, tetap saja aku tidak bisa menahan malu. Bagaimana anak gadis baru bangun jam segini.

"Hehe, iya kak. Mungkin Rene kecapekan." Alasanku ngasal. Aku langsung menyadari bahwa aku salah memilih alasan.

"Rene, kakak sudah bilang kamu tidak perlu capek-capek bekerja paruh waktu. Kakak masih sanggup membiayai kamu dan Shela." Benar kan kak Rafa langsung menyalahkan dirinya sendiri.

"Gak masalah kok kak. Aku senang bisa ngajar. Sebenarnya Rene memilih mengajar bukan karena kebutuhan finansial tapi lebih ke melatih Rene ngajar aja kak." Ku harap kak Rafa menerima alasanku.

"Ya sudah deh. Kakak selalu mendukung apa yang dilakukan adik-adik kakak. Tapi kakak takut kalian kecapekan dan akhirnya sakit kalua kebanyakan aktivitas. Istirahatlah kalau memiliki waktu." Kak Rafa memang tidak pernah memanjakan aku dan Shela hanya saja ia selalu mengingatkan kami untuk menjaga kesehatan. Makanya kalau orang lain melihat, kak Rafa seperti protektif kepada adik-adiknya.

"Iya kak. Maaf. Oh iya kak, ada apa tadi malam kakak memanggil Rene? Maaf Rene tidak mengangkat. HP Rene lowbat." Memang benar aku tidak tahu mulai kapan HP ku lowbat.

"Oh iya. Kemarin Om Samudera telepon kakak. Katanya ia baru pulang dari Bandung. Om Samudera minta maaf karena tidak bisa bertemu denganmu. Oh iya ada yang mau kakak bilang juga. Ini sih diberitahu oleh Om Samudera." Mendengar nada suara kak Rafa, sepertinya ada hal penting yang hendak ia sampaikan.

"Kenapa kak?" aku langsung bertanya.

"Rene, kakak tahu kamu sudah dewasa. Kakak percaya bahwa kamu sudah bisa berpikiran lebih matang daripada Shela. Itu sebabnya kakak yakin kamu akan lebih mengerti harus berbuat apa jika mendengar berita ini." Perasaanku tidak enak. Sebenarnya apa yang ingin disampaikan kak Rafa.

"Iya kak. Rene berusaha untuk berpikiran jernih. Memangnya apa kata Om Samudera kak?" aku penasaran.

"Kata Om Samudera, ia pernah bertemu dengan mama di Bandung. Om Samudera yakin itu mama. Namun ketika hendak menemui mama, mama langsung masuk taksi. Sepertinya mama tidak tahu kalau ia diikuti Om Samudera. Makanya Om Samudera mau kamu mencari tahu keberadaan mama. Om Samudera memberikan alamat rumah sama kakak. Katanya mama masuk ke rumah itu. Tapi Om tidak punya waktu untuk memastikan keberadaan mama karena tugas kantor di Bandung hanya sampai empat hari." Aku tidak heran lagi dengan penjelasan kak Rafa. Namun aku sedikit takut karena belum juga aku memastikan keberadaan mama, kak Rafa sudah mengetahui mama di Bandung.

"Terus Rene harus ngapain kak?" suaraku melemah.

"Pertama ini rahasia. Kamu usahakan Shela tidak tahu masalah ini. Tugas kita adalah merahasiakannya dulu. Lalu kakak minta tolong kamu pergi ke rumah itu dan memastikan apakah mama tinggal di sana. Kalau misalnya mama kaget dan mengusir kamu, tidak masalah kamu pergi saja. Tapi coba tanya-tanya tentang mama ke tetangga yang ada di situ." Aku tidak tahu mengapa kak Rafa yakin kalau aku akan diusir mama. Tapi memang hal itu bisa terjadi. Kepalaku terasa berat.

"Baik kak. Rene usahakan untuk pergi. Tapi Rene gak janji bakal dapat informasi secepatnya." Ya, aku tahu aktivitasku padat. "Kakak kirim alamat itu." Dan aku merasakan kepalaku semakin berat dan nafasku juga tersengal.

"Oke nanti kakak WA. Sekarang kakak harus pergi ke Rumah Sakit. Kakak tutup teleponnya ya Rene. Selamat pagi kecintaannya papa." Setelah mengatakan itu, sambungan telepon terputus. Langsung saja air mataku jatuh. Bukan hanya karena panggilan 'kecintaan papa' itu yang membuatku sedih. Aku sedih karena hidupku begitu rumit. Biasanya seorang anak yang dicari oleh ibunya. Namun mengapa kami malah mencari ibu kami? Bisakah kami menerima mama kembali setelah apa yang ia lakukan? Atau, sudikah mama menganggap kami anak lagi? Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuat kepalaku berat. Namun aku harus menjalankan ini. Aku sudah terlanjur berjanji pada kak Rafa. Oh Tuhan, tolong anakMu ini.


TutriceWhere stories live. Discover now