part 4

2.5K 202 11
                                    

Bismillah

                 RUMAH NENEK

#part 4

#by: R.D.Lestari.

Sama seperti Mama. Serentak mata kami melebar dan hendak terlontar keluar, mendapati sosok yang tersenyum lebar dengan bawaan di tangannya.

"Ne--Nenek....,"

Ghandy lalu menarik tanganku keras. "Kak, kalau itu Nenek, terus siapa yang barusan bicara di kamar kakak?"

"Ka--kakak ju--juga tak tau," bibirku gemetar menahan takut, melihat sosok yang baru saja turun dari mobil bersama Bulek Desi.

Senyum berkembang di dua wajah yang mirip sama Mama. Tanpa menaruh curiga sedikitpun mereka bertingkah riang seolah menyambut kedatangan kami. Sedang kami hanya menatap dengan ekspresi yang entah bagaimana. Heran, takut, bingung jadi satu.

"Sudah lama datang? maafkan Ibu, Rina. Ibu telat datang, belanja jajan buat cucu-cucu Ibu yang ganteng-ganteng ini,"

Nenek yang mendekat segera menciumi kami. Saat ini kami tersadar. Ini memang Nenek. Sifat ceria, humoris dan penuh kasih sayang, inilah Nenek, Nenek tercinta.

"Bu ... Ini memang dari mana? bukankah Ibu tadi ada di dalam?" Mama sepertinya tak mampu menyembunyikan rasa penasarannya.

Nenek mengedikkan bahu dan menoleh ke arah Bulak Desi yang termangu.

"Ibu dari kemarin belum kemari, beres-beres di rumah lama sama Desi. Barang-barang sebagian Ibu suruh Desi jual di marketplace, dan kebetulan kemarin ada beberapa pembeli, makanya baru nyampe sekarang," jelas Nenek.

"Memang Mbak Rina kapan nyampe? beneran loh, Mbak, jam tigaan kami baru on the way, ini sempet-sempetin belanja ke IndoApril," Bulek Desi ikut nimbrung.

"Kan ada Bi Jumi di rumah, makanya Ibu suruh kamu ke rumah,"

Kami saling berpandangan, Kak Ajeng yang nampak sangat ketakutan. Mata nya membola, sedangkan Mama terlihat beberapa kali menghela napas.

"Emang ada apa, sih? dah lah cerita di dalam aja. Capek nih," Bulek menyeruak masuk, kami pun menepi serentak dan ikut duduk bersama Nenek yang langsung membuka dua kantong besar di atas meja.

"Rin, anak-anakmu bakal pindah sekolah apa enggak? Ibu khawatir kalau mereka ketinggalan pelajaran,"
Nenek membuka obrolan. Rasa takut yang sempat melanda tiba-tiba menguap, saat mulut mulai terisi cemilan-cemilan enak yang di bawa Nenek.

"Mereka tetap sekolah di tempat biasa, Bu. Memang jauh, tapi kan ada mobil, Rina bisa anter kok, lagian kan ada Desi, bisa gantian menjelang dia nikah," jawab Mama.

"Kan sayang, Nek. Pindah juga ribet," timpal Kak Ajeng.

"Kamu sendiri, Jeng, gimana? tetep kerja di tempat yang sama? ga niat kuliah?" kali ini Nenek menoleh ke arah Kak Ajeng.

"Nantilah, Nek, masih enak kerja di Resto, punya uang sendiri itu beda, Nek," Kak Ajeng beralasan.

"Ya, betah kerja, Nek. Pacarnya kan manager Resto, jadi pacaran sambil kerja," ketusku. Kak Ajeng yang lagi makan cemilan rasa jagung bakar seketika terbatuk dan menyemburkan makanan yang ada di mulutnya.

Seketika ia berdiri dan melangkah ke arahku, dadaku berdegup kencang, saat melihat tatapan tajam matanya dan bibir yang berkerut.

Plak!

Satu pukulan cukup keras mendarat di kepala belakangku. Seketika pusing karena tak sempat mengelak.

"Ajeng!" teriak Mama yang seketika membuat ruangan menjadi hening.

"Bagas itu kebiasaan, Ma! selalu buat Ajeng marah!" Ia membela diri, sedangkan aku meringis kesakitan sembari memegang kepala belakang. Ia kemudian menghentak kaki dan pergi begitu saja.

"Kebiasaan main tangan anak itu, memang emosian persis seperti bapaknya dulu, untung dah cerai, kalau enggak entah jadi apa hidupku,"  cerocos Mama tanpa sadar.

Nenek cuma geleng-geleng kepala. "Dah, jangan diingat lagi. Ibu khawatir sama Ajeng. Besok kalau dia kerja, siapa yang anter jemput? atau Ibu beliin mobil untuk dia?"

"Motor Scoopy merahnya ada kok, Bu" tukas Mama.

"Ibu takut, nanti kalau pakai motor Ajeng diapa-apain orang. Kan tempat ini cukup rawan,"

Mama akhirnya mengangguk pelan. Suara Adzan sayup-sayup terdengar di kejauhan, aku dan Ghandy langsung beranjak. Kata Nenek tak jauh dari rumah ada Musholla.

Kami berniat solat di Musholla. Semenjak kebagian tadi siang, aku memutuskan mengikuti jejak Ghandy yang rajin beribadah.

"Lurus ke kiri, jangan belok-belok, Musholla tepat di pinggir jalan," ujar Nenek. Kami mengangguk serentak setelah mengambil sejadah dan peci.

Langit jingga mulai menghitam. Ternyata suasana malam tak semenakutkan seperti yang kuduga.

Banyak warga yang lalu lalang. Mereka amat ramah dan suka menyapa. Kami jadi semangat untuk bisa segera sampai Musholla.

Akhirnya sampai juga kami di Musholla, lumayan bersih, tapi terkesan kuno. Pepohonan karet di belakang menambah kesan suram, beruntung ada lampu yang cukup besar, membuat sekitar menjadi terang. Wargapun ramai, hingga membuat rasa takut menguap begitu saja.

Kami pulang berbarengan dengan beberapa ibu-ibu. Mereka yang penasaran mendekat dan mensejajarkan langkah.

"Aden tinggal di rumah peninggalan belanda itu?"

"Kenapa memangnya, Bu? itu rumah benar peninggalan Belanda, ya?" aku balik bertanya. Ibu itu mengangguk.

"Ya, rumah itu milik Pieter van de Bosch. Ia menghilang secara misterius berikut dengan keluarganya,"

"Namun, salah satu anaknya berhasil selamat dan hilang entah kemana, mungkin keturunannya yang menjual kepada keluargamu," terang si Ibu sembari melangkah serentak bersamaku dan Ghandy .

Aku tercekat. Rasa takut kembali meremang. Apa itu juga akan terjadi pada keluargaku mengingat banyak kejadian misteri di sana?

"Ibu hanya mengingatkan. Perbanyak ibadah. Ibu bukan menakut-nakuti, mengingat rumah itu sudah terlalu lama kosong dan tak di tempati.  Semoga keluarga Aden selalu di lindungi,"

Aku mengangguk, dan itulah pesan terakhir si Ibu sebelum akhirnya kami berpisah karena Ibu terus berjalan lurus sementara aku berbelok masuk halaman rumah.

"Kak ... kok serem...," Ghandy menarik lenganku. Aku menatap ke arahnya yang seperti ketakutan. Matanya mengedar ke segala arah.

Wushhhhh!

Belum sempat aku berucap, kurasakan hembusan angin begitu kencang dari belakang. Sangat kencang hingga tubuhku terhuyung.

"Kak ...," kudengar lirihan suara Ghandy, seperti hendak menangis.

"Kamu, ngerasain juga?" tanyaku. Ghandy mengangguk.

Srekkk -srekkk!

Terdengar langkah kaki yang di seret di kejauhan. Sendi-sendiku seketika melemah, tubuhku bergetar menahan takut yang teramat sangat.

Sementara Ghandy mulai terisak. Perasaan kalut begitu menyergap saat langkah itu kian mendekat.

Memang siapa yang ada di luar malam-malam begini? apalagi rumah belanda ini di kelilingi pepohonan tinggi dan kebun karet yang begitu luas?

"Ghan... hitungan ketiga kita lari sekuat tenaga, mengerti?" bisikku tepat di telinga Ghandy. Adikku itu mengangguk cepat.

"Satu ... dua ... ti ...ga!"

Pada hitungan ketiga, kami berlari sekuat tenaga. Dengan napas tersengal kami akhirnya tiba di muka rumah. Halaman rumah Nenek yang luas membuat langkah kami memacu dan mengeluarkan energi yang membuat lelah.

Kami langsung masuk ke dalam rumah, tapi sebelum masuk aku sempat menoleh ke arah kebun karet, ada bayangan lelaki tinggi berkelebat menjauh. Siapakah itu? manusia atau makhluk astral?

Rumah Nenek Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang