part 15

1.7K 162 0
                                    

Bismillah

             Rumah Nenek

#part 15

#by: R.D.Lestari.

Aaaaaa!"

"Sada ... Sada ... bangun, Nak,"

Bersamaan dengan suara yang ia dengar, mata Sada mengerjap berulang kali. Dan ia merasakan sebuah pelukan erat, juga tangis yang menyayat.

"Sada...!"

"Ma... Ma," samar Sada melihat wajah mamanya yang menangis menatap dirinya. Tangannya mengelus pucuk kepala Sada dengan sayang.

"Kamu sudah sadar, Nak? Mama kira, Mama akan kehilangan dirimu, Nak. Siapa yang sudah tega berbuat seperti ini padamu?"

Sada terdiam. Tak mungkin ia mengatakan hal yang sebenarnya. Sedang ia tau, jika yang berada dalam tubuh Ajeng itu bukanlah Ajeng yang sesungguhnya.

Apalagi yang tadi ada di mimpinya. Ia yakin, itu Ajeng yang memang meminta tolong padanya.

"Ma, tolong carikan ustad yang berpengalaman, Sada butuh," tiba-tiba Sada meraih tangan mamanya dan memohon dengan sangat.

"Ustad? untuk apa?" tanya mamanya heran.

"Nanti Sada cerita, Sada mohon, Ma. Tolong Sada, carikan Pak Ustad sebelum terlambat,"sembari menahan tangis, Sada kembali memohon pada mamanya. Ia begitu khawatir dengan nasib Ajeng. Bagaimana jika ia melukai orang-orang terdekatnya?

***

Sedang Ajeng hanya mampu menangis di sebuah ruangan gelap dan lembab dengan tetes air yang terdengar jatuh menetes satu-satu di ujung ruangan.

Hawa anyep dan sumpek terasa begitu pekat. Gadis itu masih meringis menahan sakit disekitar perut dan kemaluannya. Rasa lapar yang tiada terhingga membuat tubuhnya lemas.

Namun, ia tetap bertahan meski di hadapannya terdapat senampan daging yang mengeluarkan aroma lezat dan membuat ia menelan ludah.

Ajeng tetap bertahan. Mengingat sebelumnya ia pernah di suguhkan makanan yang sama, tapi ternyata itu hanya fatamorgana semata. Kenyataannya daging yang terlihat enak itu adalah potongan tangan yang penuh dengan cacing dan belatung.

Tubuh Ajeng bergidik. Bulu roma seketika berdiri. Di saat yang bersamaan, pintu kamar yang terbuat dari kayu jati yang sudah usang itu berderit.

Gadis itu sontak mengangkat wajahnya dan menatap ke arah pintu yang perlahan terbuka dan menunjukkan sosok tampan berwajah belanda yang berdiri dan hendak masuk ke ruangan.

Tetap saja, meski terlihat tampan, pria belanda berpakaian tentara itu tampak mengerikan di mata Ajeng. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka dan noda darah kering di bajunya. Pria yang sama, yang masuk beberapa saat yang lalu, membawa senampan daging busuk untuknya.

"Kau lagi? bawa makanan ini menjauh dariku! aku tak butuh!" Ajeng menekan suaranya, ia amat muak dengan kebaikan palsu yang di suguhkan makhluk astral di hadapannya.

Pria berambut pirang dengan sorot mata tajam itu menarik salah satu sudut bibirnya, mengulas senyum jahat tanpa ucapan.

Ia mendekat dan membelai rambut Ajeng yang berantakan. Ajeng menepis tangan itu, tapi dengan mudah Pria itu mencengkeram tangannya.

Ajeng meringis kesakitan. Tubuh gadis itu ia dorong hingga Ajeng terbaring lemah di atas ranjang yang kotor berdebu dan penuh dengan noda darah.

Tubuh gadis itu ia tindih. Ajeng meronta dan berusaha menolak saat pria berwajah tampan itu dengan beringas mendaratkan kecupan demi kecupan di leher Ajeng tanpa ampun.

"Lepasin!" di tengah tangisnya, Ajeng berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan tubuhnya.

Tap!

Pria belanda itu mencengkeram kedua tangan Ajeng yang berulangkali memukul tubuhnya.

Kini, hanya jarak sekilan, wajah pria itu berada di atas wajah Ajeng. Mata tajamnya menyorot ke dalam mata Ajeng. Dada gadis itu bergemuruh kencang. Takut.

"Sudah lama, aku tak menikmati tubuh indah dari wanita cantik seperti dirimu. Wanita modern yang dengan sukarela masuk ke dalam duniaku dan terjebak disini,"

"Bersikaplah baik, dan kau akan bernasib lebih baik. Menyerahkan dirimu dengan sepenuh hati, seperti Nyai yang kini sedang berada di tubuhmu,"

Ajeng tertegun. Ia tak menyangka pria belanda ini bisa bicara lembut padanya. Apa ini sebuah jebakan semata?

"Aku tak perduli dengan semua tawaranmu! yang aku mau sekarang pergi dari tempat terkutuk ini dan kembali ke duniaku!" teriak Ajeng yang membuat pria itu terkekeh dan semakin mengencangkan cengkeraman tangannya.

"Gadis bod*h! berharap bisa lepas? mana mungkin bisa!"

Plak!

Satu tamparan mendarat di wajah Ajeng yang seketika meninggalkan noda kemerahan. Gadis itu semakin tertekan.

Perih di wajah tak sebanding dengan perih di hatinya. Bulir bening itu kembali merembes di sudut matanya.

Namun, pria itu tak menghiraukan. Dengan kejamnya, ia kembali menyibak pakaian yang di kenakan Ajeng hingga bagian dada gadis itu terekspos sempurna.

Menunjukkan kulit putih bersih tanpa noda yang menggoda. Pria belanda itu semakin gencar melayangkan kecupan-kecupan penuh hasrat.

Teriakan dan makian yang terlontar dari bibir tipis Ajeng tak ia hiraukan. Tenggelam pada nafsunya yang membuncah karena kemolekan tubuh dan paras cantik gadis berdarah jawa.

Sembari menahan perih, Ajeng menutup matanya. Lagi dan lagi, mahkota kewanitaannya merasakan perih yang teramat sangat. Sakit. Hujaman demi hujaman yang di berikan pria belanda itu nyaris membuatnya pingsan.

Gadis itu lemah tak berdaya. Menahan sakit yang teramat sangat. Ia yakin saat ini mahkotanya itu terluka dan mengeluarkan darah.

Puas menyalurkan hasratnya, pria bertubuh kekar itu bangkit dan meninggalkan Ajeng begitu saja.

Seraya merapikan pakaiannya, ia membiarkan tubuh lemah gadis itu meringkuk dengan tangis yang membanjiri wajahnya.

Ajeng benar-benar frustasi. Harapannya kian pupus. Sepertinya ia semakin pasrah. Tak ada kesempatan untuknya pergi ataupun lari dari tempat laknat yang kini mengurungnya.

Perlahan Ajeng merapikan kembali pakaiannya yang berantakan. Menutup aurat. Tubuhnya yang kian ternoda semakin membuatnya merasa rendah diri.

Sesal kian terpatri di ujung hati. Kenapa bisa ia berbuat nista yang membuatnya kini terpuruk dan jatuh dalam lembah iblis.

Di mana ia kini menjadi pelampiasan napsu setan-setan yang haus akan hasrat duniawi.

"Mama ... Ajeng ingin pulang. Ajeng ingin melihat wajah Mama. Maafkan Ajeng, Ma. Ajeng sangat menyesal," lirih kata itu ia ucapkan seiring tangisnya yang berderai, jatuh dengan derasnya.

"Tuhan ... Aku tau aku salah ... Aku hina ... jika bisa meminta, aku ingin kembali pulang dan bertobat. Aku mohon ...,"

Dalam tangis dan tubuh yang teramat lemah, Ajeng berusaha bangkit dan menyentuh selangkangannya. Darah yang mengalir deras ia usap dengan telapak tangannya.

Mata basahnya menatap nanar cairan merah pekat kental yang keluar dari daerah kewanitaannya.

Ia hanya mampu mendesah. Sesak terasa merajai relung jiwanya. Rasanya ia sudah tak sanggup dan ingin mat* saja, tapi ia tak ingin hidup selamanya di tempat menjijikkan yang kini mengurungnya. 

Ia ingin kembali. Meski kenyataan itu ... sulit!

***

Di kamar Ajeng, tubuh milik Ajeng menggeliat menahan nyeri di perut dan daerah kewanitaannya.

Tangan putihnya menyelusur ke daerah paha, merasakan ada yang basah.

Matanya yang semula terpejam, perlahan mengerjap dan menatap telapak tangannya yang basah dan juga lengket.

Kelopak mata itu melebar dan bola matanya nyaris keluar saat melihat darah membanjiri paha dan telapak tangannya.

"Genderuwo sialan! ini pasti ulahmu!"

***

Rumah Nenek Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon