part 12

1.8K 158 6
                                    

Bismillah

               RUMAH NENEK

#part 12

#by: R.D.Lestari.

Yang ternyata bukan bubur, melainkan belatung-belatung putih kecil sebesar nasi yang bergerak dan beberapa berlonjatan, membuat Bagas bergidik ngeri.

Bertepatan dengan bunyi pecahan tutup, Mama yang baru saja pulang bersama Ghandy langsung berlarian menuju dapur, dan mendapati Bagas dengan tubuh gemetar terduduk di lantai.

"Bagas!"

Mama berlari menuju Bagas dan memeluk tubuh Bagas erat.

"Ada apa, Nak?" tanyanya saat membingkai wajah Bagas yang penuh air mata dan sorot ketakutan.

"Ma--i--itu ...," Bagas menunjuk mangkuk yang terbuka. Mama berdiri dan melangkah hati-hati menghindari serpihan keramik yang pecah.

Ia melihat isi mangkuk yang ternyata tak lain adalah bubur sop yang semerbak wanginya.

Mama menoleh ke arah Bagas dan Ghandy secara bergantian.

"Apaan, Ma?" tanya Ghandy.

"Cuma bubur sop. Apa ini buatan Nenek?"

"Ga mungkin sop, Ma. Itu belatung," desis Bagas.

"Bagas ...,"

"Biar saya yang bersihkan, Nya," tiba-tiba terdengar suara seseorang yang membuat mereka menatap ke arahnya. Entah sejak kapan Bi Jumi ada di sana, tersenyum misterius yang membuat Bagas semakin takut.

"Oh, iya, Bi. Silahkan," Mama menyingkir dan mendekati Bagas. Punggung tangannya ia tempelkan ke kening Bagas.

"Masih panas, mungkin kamu cuma halusinasi," ujar Mama.

Krukkk!

Mama menoleh ke arah Bagas saat mendengar bunyi dari arah bocah lima belas tahun itu.

"Laper ya, Nak? tu Mama bawa nasi bungkus, kita makan sama-sama, yuk?"

Mama membantu Bagas untuk bangkit dan melangkah ke arah Ghandy.

"Bik, ikut makan, yuk?" ajak Mama saat akan melintasi Bi Jumi yang  menunduk. Ia hanya membalas dengan anggukan pelan.

Mama tampak acuh dan terus membawa Bagas menjauh. Sedang Bi Jumi terus melakukan pekerjaannya.

Saat melewati kamar Bi Jumi, bau bangkai kembali merebak, membuat Mama dan kedua anaknya serentak menutup hidung karena tak tahan. Mual.

"Bau apa itu Ma? apa perlu di periksa?" usul Ghandy.

Mama yang merasa curiga segera mendekat dan tangannya terulur di handle pintu.

Belum sempat Mama menekannya, suara berat terdengar dengan nada tak suka mengaung di belakangnya.

"Tidak ada apa-apa di kamar saya, Nyonya. Mungkin itu bau dari luar,"

Seketika Mama menarik kembali tangannya dan menelan ludah susah payah karena rasa bersalah.

"Ma--maaf, Bik, saya lancang," ucap Mama sembari menarik Bagas dan Ghandy menjauh.

Di saat yang bersamaan, mereka melihat Ajeng masuk.

Mama heran karena anak gadisnya itu melewatinya begitu saja, acuh dan tatapannya kosong.

"Ajeng?" lirih Mama.

"Kak Ajeng kenapa, Ma?" tanya Ghandy.

Mama hanya mengedikkan bahu dan kembali mengayun kakinya menuju kamar Bagas.

Ia ingin merawat Bagas yang masih demam dan melihat keadaan ibunya yang sejak tadi belum ia temui.

Sementara di bawah, Bi Jumi meraih sendok dan mendekati mangkuk yang tadi terisi dengan bubur sop di mata Mama Bagas, padahal berisi ratusan belatung yang menggeliat dan sebagian meloncat.

Ia makan dengan amat lahap. Beberapa belatung yang tak sempat ia kunyah merayap di antara bibir dan tangannya.

Wajah pucat itu tersenyum dengan bibir yang lebar, mengoyak pipi hingga darah keluar di sela-sela dagingnya.

Puas ia mengisi perutnya, wanita itu melangkah kembali ke arah kamar dan masuk dengan perlahan.

Aroma bangkai seketika menyeruak.
Wanita itu menengadah dan melihat sosok tergantung dengan tali yang melingkar di lehernya.

Matanya sudah hilang berganti dengan kerubunan belatung yang keluar dan jatuh satu persatu.

Tubuhnya sebagian sudah mengelupas dan di hinggapi lalat yang terbang dan hinggap silih berganti.

Wanita itu tersenyum puas melihat mayat yang tak lain adalah dirinya sendiri.

Ya, itulah mayat Bi Jumi yang mati terbunuh karena halusinasi. Makhluk jahat penghuni rumah berhasil masuk ke tubuhnya dan membisikkan kata-kata ajakan untuk kematian..

Bi Jumi gantung diri setelah semalaman mendapat teror dari makhluk astral penunggu rumah, hingga ia mengikuti bisikan iblis untuk gantung diri.

Sekarang, jiwa Bi Jumi terperangkap di penjara alam gaib, bersama dengan jiwa-jiwa yang menjadi korban sebelumnya.

Teror yang Bi Jumi dapatkan karena ia tak sengaja membuang air panas di kamar mandi tanpa air mengucapkan bismillah.

Air panas itu mengenai salah satu anak genderuwo yang menetap di rumah itu. Mereka marah dan tak terima dengan perbuatan wanita tengah baya itu.

Malang bagi Bi Jumi yang sendirian dan terkepung dengan banyaknya makhluk astral penunggu rumah. Dirinya tersiksa hingga kematian menjemputnya.

***

Nenek mulai  curiga melihat perilaku Bi Jumi yang tak biasa. Jika ia membantu, hanya terdiam, dan yang anehnya selalu ada belatung saat Bi Jumi pergi.

Nenek pun merasa hawa di rumah itu berbeda. Jika malam dingin teramat menusuk tulang hingga membuat berlapis-lapis selimutpun tak mampu menghalau rasa dinginnya.

Jika siang, udara panas membuat gerah meski hari mendung dan hujan.

Aroma bangkai pun sesekali mengusik indra penciuman, tapi anehnya begitu Bi Jumi mendekat bau bangkai itu menghilang.

Tatapan Bi Jumi pun berbeda. Lebih tajam dan terkadang seperti mengancam, berbeda dengan dirinya yang biasa, pandangannya lembut dan penuh cinta.

Beberapa kali Nenek mengutarakan keresahan hatinya pada Desi, tapi Desi sepertinya tak perduli. Ia terlalu sibuk dengan urusan pernikahannya yang semakin dekat.

"Hmmmhhh," Nenek menghela napas gusar. Teringat dari kemarin tak melihat Ajeng.

Wanita tua itu menggeser tubuhnya dan menjejakan kaki di lantai. Ia menarik sweater rajut berwarna hijau botol andalannya kala dingin melanda.

Dengan memeluk dirinya sendiri, Nenek melangkahkan kaki ke arah kamar Ajeng yang jaraknya tak begitu jauh dari kamarnya.

Sempat beberapa kali menghentikan langkahnya, saat merasa ada yang memperhatikan gerak-geriknya.

Namun, demi cucu kesayangannya, Nenek tetap melanjutkan niat awalnya, ingin melihat Ajeng, karena malam begini Ajeng pasti sudah pulang dari kegiatannya bekerja.

"Jangan terlalu membuat orang rumah curiga. Kalau mereka hilang seperti keluarga sebelumnya, rumah ini tak akan pernah terisi lagi, dan tumbal akan susah kudapat,"

Nenek seketika menghentikan langkahnya saat mendengar suara dari kamar Ajeng. Logat seperti orang belanda dan jawa yang berbarengan.

Nenek tercekat. Jantungnya berdegup kian kencang. Ia memilih mundur dan menyembunyikan diri di balik dinding untuk mengintip siapa yang berada di kamar cucunya itu.

Tak lama Bi Jumi keluar dari kamar Ajeng sembari menyeringai. Sempat menghentikan langkah dan menyisir sekitar, membuat jantung Nenek seolah berhenti berdetak.

Namun, sejurus kemudian, ia melangkah turun dari tangga dan Nenek bisa kembali bernapas lega.

Belum hilang rasa kagetnya, Nenek harus kembali merasakan dentuman dalam dadanya, kala tak sengaja ia melihat di celah pintu kamar Ajeng yang terbuka, Ajeng ....



Rumah Nenek Where stories live. Discover now