11. Species (Special Part)

7.1K 319 1
                                    

"Mau pergi bersama sore ini?" Aku terhenyak saat Vano mengirim sebuah pesan via messenger untuk ku. Bagaimana aku membalasnya? Kondisi badanku sore ini sedang tak enak, aku sedang sakit. Tetapi jika aku menolaknya. Aku lebih tak enak jika Vano bersedih.

Karena pesannya tak kunjung ku balas. Akhirnya Vano menelpon. Aku mencoba menetralkan suaraku agar tak terdengar lemas. Semoga saja berhasil.

"Ya?"

"Ayolah.. Lo mau, kan? Gue jemput ya."

Aku diam serta merta sedang berpikir jawaban apa yang akan ku beri padanya. Semalam Dokter mengatakan padaku untuk istirahat seharian di kasur karena kondisi badanku drop. Mungkin aku mengalami stres. Memikirkan soal-soal Ujian kemarin, rumah tangga Papa dan istrinya, belum lagi soal Mama. Tetapi bukankah ini kemauanku. Vano mengajak ku berjalan di sore hari ini. Aku harap sih kali ini -hanya- berdua.

"Nar?" Suaranya kembali menyapa.

"Hmmm.. Yaudah kamu kesini aja." Aku tak kuasa menolak keinginan Vano. Maka aku pun menurutinya.

Sambungan telepon terputus. Perlahan aku bangkit dari ranjang yang sebenarnya tak ingin ku tinggalkan. Aku berganti pakaian lebih hangat. Memakai parfum dan merias wajahku senatural mungkin. Yeah, aku siap.

Mobil porsche abu-abu milik Vano tiba di halaman ku setelah matahari tenggelam. Andai ini di Bali -mungkin- atau pantai indah lainnya, pasti saat ini sedang sunset. Berarti Vano menjemputku saat sunset tiba. Oh, senangnya.

Aku mempersilahkan Vano masuk, sekiranya ia sudah keluar dari dalam mobilnya, tetapi ia menolak. Katanya ingin segera pergi sore ini bersamaku. Hmmm, alasan yang membuatku semangat meski badanku sedang tak enak saat ini.

Kami masuk ke dalam mobil setelah berpamitan dengan Oma dan Oma pun mengizinkan. Vano belum menyalakan mesin mobilnya. Apa ia berniat mengajakku pergi sampai larut malam jika jam segini kami belum jalan.

"Kamu sakit?" Aku terlonjak kaget saat Vano menegurku menggunakan kalimat "Aku-Kamu?"

"Apa?" Jawabku tak fokus.

"Kita perginya lain kali aja deh." Ucap Vano lesu. Aku menatapnya kesal. Aku sudah bela-bela keluar rumah dan turun dari ranjangku dengan susah payah. Dan kini ia -dengan gampangnya- malah membatalkan perjuanganku.

"Kamu tuh niat gak sih?" Tanyaku setengah emosi.

"Ya abis kamu gak semangat gitu." Aku mendengus. "Memangnya ngaruh?"

Vano mengangguk mantap yang semakin membuatku emosi. "Yasudah kalau gak jadi." Aku membuka pintu mobilnya dan beranjak turun tetapi tangan Vano mencegahku dengan menarik tanganku untuk masuk kembali ke dalam mobilnya.

"Apalagi?"

"Aku temani ya."

Hatiku luluh saat Vano meminta untuk menjaga dan merawatku di kamar. Kami tak jadi pergi. Kondisi badanku sangat drop, aku merasa rasa lemas melanda sekujur tubuhku.

"Aku panggilkan Dokter, ya." Ucap Vano setelah membaringkan ku -kembali- ke ranjang kesayanganku.

Aku menggeleng lemas. "Sudah. Oma sudah panggilkan Dokter untuk Narra."

Aku memandang ke arah pintu, begitu pun Vano yang sedang duduk di tepi ranjang. Mengapa sih Oma harus memanggil Dokter -lagi-, semalam kan aku baru saja menemui Dokter. Obatku saja belum habis. Kenapa mesti seorang berjas putih datang lagi menemuiku?

Secret AdmirerWhere stories live. Discover now