29. Ide Gila

4.2K 191 8
                                    

"Bagaimana Narra, kamu mengizinkan tidak kalau Mama berkeinginan menikah lagi?"

Sedari tadi hanya kata-kata Mama yang seperti itu yang memenuhi pikiranku. Saat sarapan tadi, Mama mengajakku berbicara hal yang serius soal niatannya untuk menikah lagi. Beliau mengatakan sudah menemukan laki-laki yang pas sebagai pengganti Papa dan sudah siap jika memulai kehidupan rumah tangga yang baru. Tetapi untukku, rasanya apa tidak terlalu terburu-buru jika Mama mengambil keputusan seperti itu? Rasa sedih melanda benakku, itu artinya sebentar lagi kedua orang tuaku akan memiliki kehidupan masing-masing tanpa campur tanganku disana.

Ku pijat pelan pelipisku, akhir-akhir ini tubuhku sering lemas bahkan pusing dan tidak jarang sampai muntah atau malas makan. Entah kenapa aku lebih menyukai hobi baruku yaitu tidur dan mengusili Vano jika ia sedang mengerjakan tugas kuliah belakangan ini. Tatkala aku sering sedih jika Vano sudah tenggelam pada kesibukannya sendiri tanpa mengajakku, terakhir kali yang ku ingat, Stevent dan Annisa mengajak Vano untuk hangout tanpa mengajakku karena aku harus praktikum, seharian tanpa kabar darinya dan yang membuatku gondok setengah mati kala merengek meminta Vano untuk pulang tetapi pasangan konyol itu seakan mencegah bahkan sengaja menjauhkan Vano dariku. Entah memang mereka sengaja seperti itu atau aku yang terlalu sensitif. Tapi jujur, belakangan ini juga aku tak bisa makan makanan seperti telur setengah matang atau selai strawberry kesukaanku, setiap melihatnya tersaji di meja makan pasti aku akan langsung berlari kekamar mandi karena rasanya mual dan bahkan aku sempat jijik.

Vano mengatakan juga belakangan ini aku terlihat gemuk, hal itu memancing kesensitifanku makanya tak jarang hal sesepele itu berakhir dengan tangisanku atau pertengkaran kami.

Hari ini entah perasaanku saja atau bagaimana sepertinya Vano sedang ngambek karena semalam aku meminta ia membelikan martabak manis tetapi setelah melihat apa yang aku pesan rasanya mual bahkan ingin muntah sekalipun, sejak tadi dia diam selama perjalanan kami ke kampus, sampai menjelang sore hari begini Vano tak kunjung menelpon menanyakan keberadaanku seperti biasanya.

Ku geser pengunci layar pada ponselku untuk melihat jam berapa sekarang. Hah, sudah menjelang petang namun kelasku belum juga berakhir.

"Kelas akan berakhir jam berapa, Ta?" Tanyaku pada Vita, dia teman satu jurusanku dikampus ini.

Vita mendesah frustasi, sepertinya ia juga mulai jenuh sepertiku. "Entah, Nar, gue ngantuk." Katanya berusaha menguatkan mata agar dosen tak menegur.

Seusai adzan maghrib berkumandang barulah kelasku berakhir dengan banyak tugas yang besok hari harus dikumpulkan pula, beginikah rasanya kuliah? Tiada hari tanpa tugas.

Baru aku akan melangkah keluar kelas, tiba-tiba ponselku berdering pertanda ada yang menelpon. Ku kira itu Vano, tetapi ternyata Mama. Apa dia sudah tidak peduli pada Istrinya sendiri?

"Ada apa, Ma?" Tanyaku langsung kepada intinya kenapa Mama sampai harus menelpon.

"Kamu dan Vano segera pulang ya, Mama ingin memperkenalkan calon Suami Mama dan anaknya padamu, Sayang."

Keningku berkerut, ternyata Mama benar-benar serius akan ucapannya. "Ya, nanti akan Narra usahakan."

Dari seberang sana bisa ku dengar Mama menghela nafas lega. "Baiklah, Mama tunggu ya."

Ku putuskan sambungan secara sepihak. Tetiba rasa sesak menghampiri rongga dadaku, membuat gumpalan disana sampai aku sulit bernafas. Kembali ku langkahkan kaki untuk keluar menuju pintu utama kampus sebelum langkahku terinterupsi akibat serangan seorang laki-laki yang memblokade jalanku. Dia menabrak bahuku dengan tubuh besarnya yang terbalut kaos putih dan jaket coklatnya hingga menyebabkan tubuhku terdorong kebelakang. Beruntungnya aku tidak jatuh karena tubuhku mulai melemas seperti biasanya.

Secret AdmirerWhere stories live. Discover now