47• Unknown Days (pt.3)

1.1K 176 7
                                    

POV Winter Kamala

[⚠️: homophobic]

"Jadi yang mana buku yang kemarin kamu bilang?" Aku masih melihat rak buku didepanku dengan mata kosong, pikiranku sedang kemana-mana. "Winter.." panggilnya sekali lagi karena aku masih bengong, karena untuk kesekian kali diacuhkan maka dia menepuk pundakku.

"Hey! Aku dari tadi jalan sama winter kan? Kenapa dari tadi diem mulu sih kayak kesurupan?" Mataku akhirnya berkedip dan melihat Minju yang sekarang melipat kedua tangan didada karena sedari tadi aku acuhkan. "Um.. sorry.. ini buku sastra yang kemarin gua rekomendasiin" aku akhirnya memberikan buku yang ada didepanku.

Dia masih melihatku penuh selidik " you know.. you can be real with me kalau kamu gak mau nemenin aku. Aku bisa cari sendiri kalau kamu kasih tau judul bukunya dari kemarin.." aku menggeleng lemah, bukan itu yang aku rasakan. Aku hanya sedang banyak pikiran akhir-akhir ini..

"Enggak, gak usah pesimis gitu. Gua cuma lagi cape aja" kataku dan lalu berlalu pergi ke rak lain karena sepertinya sudah 5 menit aku bengong menatap rak buku sastra. Minju pun mengikuti langkahku dibelakang "kenapa? Wait.. jangan-jangan Karina marah kita jalan berdua?? Kamu udah ijin sama dia kan?" Dia menunjukku dengan buku sastra yang aku tadi berikan.

"Ya udah lah dan kalau dia marah.. Gua gak ada disini kali sama lu" dia mengangguk memahami perkataanku "iya.. masuk akal. Terus kenapa? Jangan coba-coba boong sama aku.. gini-gini aku mantan sahabat kamu yang menjabat lagi jadi teman. I know you're hiding something" dia mendekatiku sambil menyipitkan matanya.

Aku menghela nafas dan menutup mataku dengan kedua tangan, aku sangat lelah sekarang. Pikiranku berserakan, walau saat acara ulang tahun kak Irene aku sudah membicarakannya dengan Karina.. tapi masih banyak yang aku lewatkan.

"Papa pulang, kamu tau kan papa kayak gimana? Dia tau hubungan aku sama Karina.. semua ini menyulitkan ju" Minju melihatku dengan penuh simpati. Dia tau persis apa yang sedang aku rasakan, papa dengan segala idealisasinya tentang kehidupan. "Terus kamu bilang apa?" Aku meremas bajuku, menahan sakit yang sudah 1 minggu ini kutahan.

"Gua bilang .. gua gak bisa ikutin permintaan dia yang ini" mulut Minju sedikit terbuka, dia tau kemana arah pembicaraan ini. Tapi tetap saja Minju bertanya untuk memastikan " dia minta apa?"

"Dia minta gua putus dari Karina"

****

[Flashback:  1 minggu sebelumnya]

1 minggu lalu papa pulang dari dinasnya, ya papaku adalah seorang tentara. Bisa dibilang kami jarang bisa bersama dirumah karena papa selalu bolak-balik keluar kota untuk dinas. Selama masa pertumbuhanku aku selalu merasa orang tuaku hanya mama, karena memang kenyataanya mama yang selalu ada buat diriku.

Setiap kali papa pulang, aku akan selalu mengunci kamar. Berharap secepatnya dia pergi dari rumah ini, karena dia terlihat seperti orang asing. Datang-datang mengatur masa depanku seakan dia tau apa yang terjadi dihidupku. Padahal sebagian besar kehidupanku, dia tidak pernah ada.

Tidak jarang dia melupakan ulang tahunku dan kakakku. Setiap tahun Mama selalu pura-pura memberikan kami hadiah, berkedok bilang itu dari papa. Tapi kami berdua tau, papa tidak terlalu memikirkan kami.

Setiap dia pulang dinas, dia selalu datang dengan seenaknya. Menyuruhku untuk masuk universitas yang dia tunjuk untukku, tidak memberikanku kebebasan untuk memilih. Tidak menanyakan apa sih cita-citaku?

Dia juga sangat kecewa saat tau aku punya seksualitas menyimpang. Menyembunyikan itu dari semua orang sampai aku dipaksa untuk bertemu dengan anak laki-laki semua teman tentaranya. Berharap aku bisa disembuhkan dari ketidaknormalanku. Tapi lihat lah yang kamu lakukan ke anak mu ini apa bisa disebut normal?

Aku tidak pernah merasa dia benar-benar orang tua ku. Aku cuma punya satu orang tua dan itu cuma mama.

Tapi pertama kalinya aku memberontak adalah pilihanku untuk masuk perguruam tinggi seni dan design. Betapa dia kecewa dengan pilihanku itu? Tapi kau tau apa yang kurasakan saat dia kecewa? Aku merasa sangat bahagia. Karena aku berhasil menyakitinya sama seperti dia menyakitiku. Honestly, I'm just a product of daddy's issue.

Walau aku tau sebagian uang jajanku berasal dari dia, maka aku saat masuk kuliah langsung mencari part-time. Aku tidak mau memakai uang dari papa, aku juga sekarang sudah cukup stabil sampai bisa membayar uang semesterku sendiri. Mama tau alasan sebenarnya aku bekerja, maka dari itu kadang dia memberikanku uangnya. Walau aku selalu menolak..

Sekarang dia datang lagi, mengancamku untuk tidak berpacaran dengan Karina. Kalau aku tidak menurut dia akan memaksaku keluar dari kampus secara sepihak, dia akan melakukan apapun agar aku tidak bisa bertemu dengan Karina lagi. Mendengar hal itu aku bertengkar hebat dengan papa didepan mama dan kak Taeyeon.

Dia terus memakiku dan bilang bahwa dia menyesal telah membawaku kedunia ini. Kata-kata yang paling menyakitkan untuk didengar seorang anak. Lagi-lagi aku dipandang jijik, tapi kali ini bukan dengan orang asing seperti guruku saat prom. Tapi oleh orang tuaku sendiri..

Jadi dengan perasaan hancur aku mengepack barangku untuk pergi ke kosanku walau kak Taeyeon memohon untuk mengantarku pergi tapi aku menolak. Aku pun pulang dengan mobil, aku balik dengan perasaan paling runyam yang pernah aku rasakan. Aku benci merasa tidak berdaya seperti ini, aku takut kalau aku  terus-terusan tidak kuat. Bagaimana aku bisa meneruskan hubunganku dengan Karina? Bila sekarang  saja rasanya aku seperti dihujani batu besar.

Apakah kita punya kesempatan? Apakah dari awal kita memang tidak bisa bersama?

Malam itu aku hanya menangis diparkiran yang entah dimana, sambil beberapa kali memukul dadaku yang bergemuruh hebat. Berandai-andai kalau saja aku dan Karina adalah pasangan yang normal, pasti semuanya akan baik-baik saja.

Aku dan dia tidak perlu merasakan sesak seperti ini kan?

****

Jujur author nyesek sendiri pas nulis chapter ini.. :(






Blind Book Date - Jiminjeong / Winrina [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang