You?

32 8 0
                                    

Kami sampai di biara susteran BT. Suster Regina selaku Suster Kepala, menyambut kami dengan hangat dan mempersilahkan kami masuk ke dalam Kapela mereka.

Para Frater memenuhi posisi bangku bagian kanan sampai baris keempat. Kami para penari duduk di bangku dekat pintu masuk Kapela.

Ketika latihan dimulai, aku berada di baris paling belakang karena tinggiku sedikit melebihi Ella, Yana, Laura, Lili dan Nindi.

Di belakangku berdiri lima orang Frater sebagai misdinar. Satu orang membawa salib, dua orang membawa lilin, dan dua org lagi membawa dupa (kemenyan dan wiruk).

Latihan pun dimulai. Setiap gerakan tari dan nyanyian koor mengalami penyesuaian dengan bentuk Kapela yang tidak terlalu besar disertai masukan dari Suster Regina yang terus berdatangan dan patut dipertimbangkan.

Maka, perubahan pun dilakukan dengan teliti dan tentunya melibatkan Suster Regina pula untuk mencari solusi yang tepat.

Kami mulai menyeimbangi dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Berusaha untuk tidak melakukan kesalahan dan mencoba untuk terbiasa pada hal yang baru. Aku merasakan pegal di sekujur tubuh. Namun berusaha untuk terus bergerak dan menutupinya dengan tidak mengeluh. Latihan kali ini sungguh menguras tenaga.

***

Kami semua beristirahat, kecuali anggota misdinar. Pater Hedi berdiri bersama mereka untuk mengawasi tingkah mereka yang terus melakukan kesalahan.

"Tenang Pater, kali ini pasti tidak salah lagi."

"Yang benar saja... Kau dari tadi tampak yakin tapi malah melakukan sebaliknya." Kata Pater Hedi, putus asa.

"Percaya pa.. (gdubrak)"

Pfffffftttttttt

Hahahahahahahahahahahahahahahahahaahahahahah

Frater itu terjatuh dari tangga Altar dengan ekspresi meringis kesakitan namun rintihannya malah seperti menahan tawa.

Semua orang di sini menertawakan dia. Kulihat salah seorang frater berusaha keras menahan tawa. Namun, hasilnya nihil. Ia tersungkur ke lantai bersamaan dengan air liurnya.

Aku yang menyadari hal itu, tertawa terbahak-bahak sampai sakit perutku. Namun, otakku terus saja mengulang kejadian tadi. Membuatku tertawa tanpa henti.

Tawa kami dihentikan dengan bunyi gelas yang dibawa dengan dulang oleh seorang suster yang masih mengenakan celemek.

"Frater, tolong bawa meja itu ke dalam kapela."

Frater yang terjatuh tadi mengangguk dan dengan sigap mengangkat sebuah meja dan membawanya ke dalam Kapela.

Aku refleks berdiri dan membantu Suster tersebut untuk menyediakan minuman.

"Kuenya mana sust...?"

Suara itu berasal dari tempat duduk para frater di bagian belakang ujung.
Kami semua menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang frater tengah menutup mulut frater yang berbicara tadi. Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Sedangkan yang lainnya tertawa termasuk suster.

"Kue ini khusus untuk Frater Robert!" Sambil melirik ke arah frater yanh menanyakan kue.

Seorang suster yang sangat cantik datang dari pintu samping Kapela dengan dua piring kue di kedua tangannya. Namanya Suster Magda. Aku diberitahu Laura saat tidak sengaja berpapasan dengannya di taman. Senyumanya sangat manis dan membuat siapapun yang melihatnya merasa damai.

Kadang, aku berpikir. Kenapa mereka yang memiliki wajah sempurna seperti ini malah memilih untuk menjadi seorang biarawan/i. Padahal, mereka bisa memikat hati siapapun dengan kelebihan itu. Namun, tak ada yang dapat memprediksi arah panggilan hidup seseorang dalam perjalanannya mencari jati diri. Tidak semua mereka yang memiliki penampilan fisik sempurna dapat dimiliki.

PERCAYA ITU PENJARAWhere stories live. Discover now