1: Ice Latte

232 9 6
                                    

Bel pulang sekolah sudah berbunyi dua menit lalu, namun Eira baru saja selesai memasukkan barang-barangnya ke dalam tas dan segera bersiap pulang. Sebelum itu, ia berbalik badan ke arah meja di belakangnya dan mendapati sahabatnya yang masih asyik menggulirkan jempolnya di atas layar ponselnya. Ia selalu menumpang Wi-Fi koridor kelas untuk membuka sosial medianya setiap pulang sekolah.

"Vanka, ayo pulang! Main sosmed nya nanti lagi pas di rumah," tegur Eira sembari beranjak berdiri.

"Ih, bentar! Gue dapet followers baru ini!" Vanka kembali melihat ponselnya dengan semangat.

"Udah, udah! Lo ini kebiasaan deh," ucap seseorang yang langsung menyambar ponsel Vanka, kemudian langsung mematikannya. Ponsel itu diangkatnya tinggi ke udara agar Vanka tidak bisa mengambilnya. Vanka menatap sebal ke arah Dion, orang yang mengambil ponselnya.

"Aduh yang udah pacaran mah beda," sindir Eira sambil mengibas-ngibaskan tangan karena suasana yang tiba-tiba menjadi panas. Kemudian yang disindir pun hanya nyengir tak jelas. Eira sebenarnya sudah bosan dengan kelakuan mereka yang hampir setiap hari seperti itu.

"Panas-panas gini, enaknya nongkrong di kafe ga sih? Nanti gue traktir deh," lanjut Eira sembari berjalan keluar kelas bersama Vanka dan Dion.

"Yah, sorry banget nih, Ra. Gue udah ada jan..."

"Janji sama Dion? Ah, kebiasaan lo! Dulu pas masih jomblo nempel ke gue mulu, pas udah ada doi, gue dilupain," potong Eira dengan bibir dimajukan beberapa senti. Ia sudah hafal dengan situasi sahabatnya yang seakan tidak bisa lepas dari Dion.

"Lain kali, ya, Ra! Gue cabut dulu, bye!" Setelah berkata seperti itu, Dion langsung merangkul Vanka dan menuju parkiran motor. Eira yang melihat itu hanya bisa menggerutu dalam hati.

Iri? Jelas.

Namun Eira tidak begitu memikirkan kehidupan cintanya di masa putih abu-abunya. Menurutnya, berpacaran adalah hal yang ribet. Ia tidak mau jika suatu hari nanti ia akan buta oleh cinta, lalu meninggalkan semua orang yang ia sayangi, termasuk sahabatnya sendiri. Eira sangat paham akan perasaan itu karena ia selalu merasa seperti itu setiap kali melihat Vanka dengan Dion.

Tapi itu bukanlah persoalan besar yang jika dipikirkan terus-menerus akan menyebabkan overthinking. Eira sangat percaya kepada sahabatnya itu. Meskipun Vanka sudah memiliki Dion di sampingnya, ia selalu menjadi orang yang pertama untuk mendengarkan segala keluh kesah Eira. Bahkan Vanka selalu mengingatkan sahabatnya untuk segera mencari doi layaknya mentor pribadi Eira.

Tapi Eira membalas setiap nasehat Vanka dengan kata tidak. Masalahnya, Eira hanya tidak mengerti bagaimana perasaan suka itu muncul. Eira sendiri sedikit takut untuk kembali membuka pintu hatinya karena masa lalunya yang hanya mendapati perasaannya yang tak terbalas.

Akhirnya Eira memutuskan untuk pergi ke kafe sendirian. Cuaca panas sangat cocok ditemani dengan segelas es kopi. Ia pun berjalan keluar dari gerbang sekolah dan menaiki bus di terminal terdekat. Setelah sepuluh menit perjalanan, Eira pun sampai di kafe yang diincarnya. Matanya melihat ada cukup banyak pengunjung kafe yang sedang asyik bercengkrama di dalam.

Tangan kanannya mendorong pintu kafe dan seketika itu juga wangi parfum beraroma kopi menyeruak masuk ke indra penciumannya. Ia kemudian berjalan dan memilih minuman yang ingin ia pesan di papan menu.

"Pesan ice latte nya satu, ya," ucap Eira ramah dengan senyuman.

"Baik. Atas nama siapa, kak?"

"Eira."

"Baik, ditunggu pesanannya, ya, kak."

Setelah itu, Eira menyerahkan dua lembar uang kertas kepada pegawai kasir tadi dan lantas mencari tempat duduk. Karena situasi kafe yang cukup ramai, Eira sedikit kesulitan untuk mencari kursi kosong. Ah! Eira langsung berjalan cepat saat matanya menemukan kursi kosong di dekat jendela. Ia pun menaruh tasnya di kursi sebelahnya yang kosong dan menyumpal telinganya dengan earphone sembari menunggu minuman nya datang.

Kepala Eira mengangguk kecil seraya menikmati hentakan musik yang didengarnya, ia juga asyik menggulirkan jempolnya di atas layar ponselnya. Karena terlalu memperhatikan laman sosial medianya, Eira sampai tak sadar dengan keadaan sekitar.

"Ice latte atas nama kak Eira!" Barista itu terlihat kesal setelah mengulang tiga kali ucapannya.

Karena barista itu sempat melihat sekilas Eira saat memesan ice latte, ia langsung keluar dari meja bar dan mencari Eira. Barista setinggi 177 cm itu menghampiri Eira yang duduk di kursi dekat jendela.

"Ice latte atas nama kak Eira?" tegur barista itu sembari menarik salah satu kabel earphone Eira. Eira langsung tersadar dan kaget karena tatapan tajam yang dilayangkan barista itu. Laki-laki itu jengkel karena si pemilik nama yang ia sebut sedari tadi ternyata sedang sibuk dengan dunianya sendiri.

"Gak sopan banget sih, lo! Jangan main tarik earphone orang sembarangan, dong!" seru Eira kesal saat menatap barista itu menaruh minuman Eira di atas meja dan lantas beranjak pergi kembali ke meja bar nya.

Lelaki itu berbalik dan membalas ucapan Eira, "Gue udah panggil-panggil nama lo dari tadi, lo nya aja yang gak denger."

"Tapi seenggaknya jaga sikap lo sama pelanggan!"

"Siapa suruh masang musik kenceng-kenceng pake earphone?"

Eira geram akan perbuatan barista itu. Ia berkacak pinggang sambil mendengus kesal. Matanya menangkap tanda pengenal di celemek barista itu.

"Jevrio! Gue tandain muka lo!"

Barista yang bernama Jevrio itu pun balik kanan tanpa peduli apa yang diucapkan Eira. Sementara itu, Eira langsung menyambar minumannya dan keluar dari kafe dengan perasaan sebal. 

---


Hai hai! Jangan lupa vote dan komen ya! Your one vote is a big support to me <3 Thank you :D

You are My Moonlight [END✓]Where stories live. Discover now