13 : Hadiah Teman

46 2 0
                                    

“Baiklah, kita cukupkan sampai sini. Jangan lupa kerjakan tugasnya! Kalo gak dikerjakan bapak kasih diskon nilai!” 

“Iyaa pakk.” Satu kelas membalas omongan Pak Jaya serempak. Mereka sudah hafal  dengan omongan bapak guru yang kurus seperti bambu itu. Ia hobi memberikan diskon nilai kepada siapapun yang melewati tenggat tugasnya. Kalau saja diskon harga, pasti satu kelas minta traktiran setiap hari. 

Pak Jaya itu keluar ruangan kelas dengan sedikit menundukkan kepalanya, karena ia terlalu tinggi seperti bambu untuk pintu kelas. 

“Yuk, balik.” Vanka mengangguk dan mengikuti langkah Eira. 

“Jajan apa ya enaknya?” Vanka membayangkan jejeran pedagang kaki lima yang ada di depan gerbang sekolah satu-persatu. 

“Donat aja gimana?” goda Eira dengan alis naik satu. 

Vanka menyikut Eira yang tertawa lepas. 

“Cimol aja. Gue jajanin, deh. Kali-kali lo makan yang asin, biar gak makan donat mulu.” 

“Raa!!!” 

Sekali lagi Eira tertawa terbahak dan ia berhasil menghindari pukulan maut sahabatnya. 

Saat hendak keluar gerbang untuk mencari tukang cimol, Eira berhadapan dengan seseorang yang kemarin “menolongnya”.  

“Hai, Eira!” sapanya ceria.

“Eh, ngapain lo disini, Rol?” Eira menunjukkan senyum kaku. 

“Ini.. Gue mau nitip sesuatu boleh?” Eira mengangguk sebagai jawaban, “tolong kasih ini ke Jevrio, ya. Bilang aja ini dari Carol.” Gadis itu memberikan sebuah kotak kecil yang sudah dibungkus kado sambil tertawa malu-malu. 

“Oh, Jevrio ulang tahun, ya?” Eira menerima kotak itu di tangannya.

“Ulang tahunnya bukan hari ini sih, tapi gue cuma mau kasih hadiah aja. Kayak.. hadiah kenalan temen baru gitu!” jelas Carol dengan mata berbinar-binar. 

Eira tertegun dalam hati. 

"Oh.. gitu. Oke deh, gue sampein… nanti."

Vanka melongo melihat reaksi sahabatnya itu. 

"Makasih ya Eira!! Byee, gue balik dulu!" Carol berpamitan sambil berjalan riang. 

Apa yang telah merasuki cewek itu hingga berbuat seperti ini? Tangan Eira mengepal saat melihat kepergiannya. Apakah Carol menyediakan ruang di hatinya untuk Jevrio? Jika iya, Eira tidak akan pernah mau menjadi jembatan bagi keduanya. 

"Ra, lo gapapa? Jadi jajan cimol gak?" 

*** 

Semenjak pertemuan dua hari lalu dengan Carol, Eira menjadi sering bertemu dengan gadis itu. Ia selalu datang setiap sore untuk menitipkan sesuatu. Mau tidak mau Eira harus menyampaikannya dengan berat hati. 

Tunggu. Berat hati? Ya, Eira merasakan sesuatu yang berbeda akhir-akhir ini. Rasanya seperti ada yang menggedor-gedor pintu hatinya dari dalam. 

"Hei, Ra!" 

Gadis itu lagi. Sebenarnya mau apa dia? 

"Mau nitip sesuatu lagi, ya?" Eira berkata lesu. 

"Iya, nih. Oh ya, pas kamaren dia bilang apa-apa soal hadiahnya gak?" Eira tak mengira bahwa Carol akan bertanya seperti itu. 

"Oh.. dia bilang suka semua hadiah lo, kok," balas Eira sedikit ragu. Pasalnya dari kemarin kedua alis Jevrio selalu menukik ke bawah saat menerima hadiah-hadiah itu.

Carol memekik riang. Vanka memutar bola matanya melihat kelakuan lebay gadis itu.

"Seneng deh gue dengernya! Nih, tolong kasih ke dia ya, Ra! Pasti dia lebih seneng, deh," jelas Carol dengan memberikan sebuah kotak yang tutupnya transparan dan diberi pita. Dengan begitu Eira bisa mengintip sedikit isi di dalamnya. Ada sebuah jam tangan di dalamnya. 

"Bye bye! Makasih, ya, Ra!" Carol pun pergi. 

"Ra, lo nganggep ini serius?" Vanka menyadarkan Eira dengan menepuk bahunya. 

Eira bergeming. 

"Jawab, Ra! Kalo lo ada rasa sama Jevrio, jangan biarin dia begini terus!" 

Kedua mata Eira membesar. Aliran darah mengalir dan membuat wajahnya panas. 

"Enak aja, lo! Lagian gue gak kenapa-kenapa juga kalo Carol nitipin hadiah. Toh si Jevrio juga seneng nerimanya," pungkas Eira. 

Vanka berdeham. "Ekspresi lo mencurigakan." 

"Udah ah lo pulang aja sono! Entar dicariin Dion lagi." Eira mendorong Vanka sampai parkiran motor dan benar saja ada Dion di sana. Ia sedang berusaha menelpon seseorang dengan raut wajah khawatir. 

"Van! Gue telpon dari tadi kok gak diangkat, sih?!" sembur Dion yang langsung berdiri dari jok motornya. 

"Abis batre hehe." 

Dion mengacak rambut pacarnya yang nyengir kuda itu. Kemudian Vanka memeluk lengan Dion dan laki-laki jangkung itu pun kembali ceria. Baru kali ini melihat Dion manja di hadapan Vanka yang biasanya ia penuh wibawa menjadi ketua kelas. 

"Geli gue." Eira berkomentar. 

"Kalian pulang aja deh, sana. Gak tahan gue liatnya," lanjut Eira seraya membalikkan badan. 

Kemudian Vanka dan Dion berpamitan heboh kepada Eira. 

Eira melangkah ke taman tempat dimana waktu itu ia ditawari sepotong kue sebagai permintaan maaf. Eira tertawa miris dalam hati. Dulu ia menolak mentah-mentah pemberian itu, melihat orangnya saja membuatnya ingin muntah. Tapi sekarang ia malah mencari keberadaannya. Ia merasa seperti menjilat air liurnya sendiri. 

"Nyariin gue lagi?" 

Eira menoleh ke belakangnya saat suara berat itu muncul. 

"Nih, titipan lagi." Eira bersuara datar. 

Jevrio menerimanya sambil menghembuskan napas berat. 

"Lo kesel?" Jevrio menebak-nebak. 

"Gak. Gue cape, pengen pulang. Gue cabut," pamit Eira lesu. 

"Telpon gue kalo besok Carol dateng lagi, ya." 

Eira menghentikan langkahnya beberapa detik. Ia kaget dengan perkataan Jevrio, namun ia tidak menoleh ke arahnya. Paling laki-laki itu hanya bercanda. Besok Carol pasti akan datang lagi. 

Dan Eira hanya bisa membisu jika keduanya bertemu secara langsung besok. 

---

Akhirnya update lagi setelah sekian lama!! Sebentar lagi cerita ini akan tamat. Terima kasih atas dukungannya dari awal sampai sekarang. Psst, jangan lupa vote komen juga ya hehe (⁠・⁠∀⁠・⁠)

You are My Moonlight [END✓]Where stories live. Discover now