2: Meja Kosong

121 6 2
                                    

Sambil terus mengunyah siomay yang masih mengepulkan asap panas, Vanka terus mendengarkan celotehan sahabatnya. Jika sudah berbicara tentang suatu hal yang tidak Eira sukai, ia bisa berubah menjadi seperti burung beo yang tidak pernah berhenti bicara.

"Serius, deh, Van. Orang itu nyebelin banget! Pelanggan yang dateng seharusnya kan dilayani baik-baik, bukan diperlakukan kayak gitu," protes Eira berusaha meyakinkan sahabatnya.

"Bener juga, sih. Tapi lo nya juga jangan dengerin musik kenceng-kenceng pake earphone. Kasian kalo kafe nya lagi rame, karyawannya sibuk kerja, masa harus nyariin lo yang bahkan cuma mesen satu minuman doang?"

Eira melotot seakan tidak percaya.

"Kok lo jadi belain dia, sih?!"

"Ya karna lo juga salah. Kalian berdua emang salah," jawab Vanka lempeng. Ia memasukkan satu siomay lagi ke dalam mulutnya.

"Anjir, gak asik lo! Jelas-jelas dia duluan yang mulai, untung earphone gue kaga putus." Eira mendengus sebal sambil melipat tangannya di dada.

"Emang lo tau nama dia?" Vanka mulai penasaran.

"Je.. Jev... ah! Jevrio! Huh! Gak akan lagi gue dateng ke kafenya."

"Cakep gak?"

Eira langsung menjitak pelan kepala Vanka.

"Sadar, oi! Lo udah punya Dion, jangan maruk," Eira mengingatkan dengan nada seperti ibu-ibu yang marah. Vanka hanya tertawa cekikikan mendengarnya

Sesaat kemudian mereka pun bercanda bersama lagi. Mereka segera menghabiskan sepiring siomay yang Vanka beli untuk berdua karena sebentar lagi jam istirahat siang selesai. Vanka sedang baik hari ini, tetapi baik dalam konteks tetap hemat. Eira menyendok saus kacang yang masih ada di piring sampai licin tak bersisa.

"Eh.. itu?" Kedua mata Eira memperhatikan orang yang berjalan di belakang Vanka.

"Ngapa lo?" Vanka terlihat kebingungan saat menatap Eira yang terkejut.

Vanka pun membalikkan badannya dan ikut melihat orang yang Eira perhatikan tadi.

"Itu.. Jevrio? Kok dia bisa ada di sini?!"

"Hah? Dia sekolah di sini juga?"

Eira dan Vanka sama-sama kebingungan. Jevrio terlihat mengenakan seragam dengan rapi dan berjalan menuju kios mie bakso. Setelah mendapat pesanannya, ia pun berjalan mencari meja kosong. Jevrio pun duduk dengan jarak tiga meja di depan tempat Eira dan Vanka duduk. Baru saja ia hendak menyendok bakso ke dalam mulutnya, tiba-tiba beberapa kakak kelas perempuan datang mengerubungi meja Jevrio.

"Hai.. kamu Jevrio kan?"

"Kita ikut gabung di sini, ya."

"Ganteng-ganteng kok sendirian aja. Gue traktir, ya?"

"Kamu cakep banget, sih. Udah ada yang punya belom?"

Eira yang mendengar itu semua dari kejauhan menjadi geli sendiri. Gerombolan kakak kelas itu selalu saja mendekati cowok-cowok tampan, tak peduli bila mereka adik kelas ataupun kakak kelas. Eira memperhatikan cowok itu yang nampaknya terusik kedamaiannya.

"Gak usah repot-repot traktir, makasih. Maaf, gue lagi pengen sendiri. Permisi." Dengan wajah datar Jevrio berdiri dari kursi dan mencari meja lain. Ia memasang wajah dingin sehingga membuat cewek-cewek berdecak sebal akan ekspresi yang ditunjukkan Jevrio. Mereka pun pergi sambil berbisik-bisik soal Jevrio yang tidak asyik diajak bergaul.

Saat Jevrio berjalan menuju meja lain yang kosong, tak sengaja matanya bertemu dengan mata Eira yang sedari tadi memperhatikannya. Cowok tinggi itu menaikkan satu alisnya saat melihat Eira. Sementara itu, Eira buru-buru mengalihkan pandangannya saat tahu Jevrio membalas tatapannya. Jevrio pun duduk di kursi yang berjarak satu meja di samping tempat Eira dan Vanka duduk. Ia melanjutkan aktivitas makannya yang tadi sempat tertunda dengan tenang.

"Van, barusan Jevrio ngeliat gue! Gimana ini??" Eira bertanya dengan raut wajah sedikit khawatir.

"Loh, terus kenapa emangnya?"

"Takutnya dia bales dendam ke gue. Aduhh!" ucap Eira sambil heboh sendiri.

"Mana mungkin, ah! Lo jangan mikir kejauhan, gak baik." balas Vanka santai.

"Ya udah deh, kita ke kelas aja. Bentar lagi bel."

Eira pun cepat-cepat berjalan keluar kantin diikuti oleh Vanka di belakangnya. Setelah menaiki tangga, mereka pun sampai di koridor kelas. Namun di tengah jalan tiba-tiba Vanka merogoh saku rok nya dengan panik.

"Eh, kok dompet gue gak ada ya?" monolog Vanka yang mulai resah.

"Yang bener? Coba cek lagi," ucap Eira sambil menghentikan langkahnya.

"Beneran gak ada! Apa jangan-jangan ketinggalan di kantin ya?"

"Makanya kalo mau per–"

"Temenin gue!" Vanka memotong omongan Eira dengan langsung menyeretnya.

Eira dan Vanka berlari kecil menuruni tangga hingga sampailah mereka di kantin. Saat hendak mencari dompet Vanka di tempat duduk tadi, Jevrio berdiri di depan mereka sembari menggenggam sebuah dompet pink dengan gantungan kunci berbentuk kelinci.

"Nyari ini?" tanya Jevrio datar.

"Eh, i... iya. Makasih," balas Vanka patah-patah. Jevrio pun langsung menyerahkan dompet itu kepada pemiliknya tanpa berkata sepatah kata pun lagi.

Saat melewati Eira yang terdiam di tempat, Jevrio memutar bola matanya dengan ekspresi tidak suka. Eira yang melihat itu langsung geram dan mengepalkan kedua telapak tangannya.

"Dingin-dingin gitu, ternyata dia baik juga," celetuk Vanka sambil menghampiri Eira setelah Jevrio berjalan menjauh.

"Tetep aja nyebelin!" seru Eira tidak sependapat dengan Vanka.

"Tapi dia lumayan loh, Ra. Jangan sia-sia in kesempatan," ujar Vanka dengan senyum miring, menggoda sahabatnya itu.

"Idih, ogah! Mending gue sambet si Dion."

"Heh! Sembarangan lo!" balas Vanka mendaratkan pukulan di pundak Eira. Setelah itu mereka kembali tertawa bersama.

"Eh, ayo ke kelas. Bentar lagi bel, nanti dimarahin Bu Nirma." Mereka pun langsung berlari menuju kelas mereka.

Kring.. kringg.. Bel selesai istirahat siang berbunyi tepat sedetik setelah Eira dan Vanka menginjakkan kaki di kelas mereka. 

---



Hello! Jangan lupa tekan bintangnya yaa! Yang mau komen juga boleh, tapi komennya yang baik-baik ya ^^ Thank you! <3 

You are My Moonlight [END✓]Where stories live. Discover now