• Enam

71 16 3
                                    


Tatapan bertanya itu mereka dapati, namun Angkasa tak buka suara sedikitpun. Amarahnya bisa pecah kapan saja jika mungkin satu kalimat itu keluar walau hanya sekedar bertanya.

Kakinya ia bawa masuk menuju kamar, membiarkan bisikan itu kembali terdengar sama seperti beberapa tahun lalu. Kini dipikirannya hanya ada wanita yang berada dalam gendongannya, masih terisak dengan tubuh yang bergetar hebat.

Perlahan ia baringkan tubuh yang lebih mungil, menarik selimut saat tak semua bagian atas tubuh itu tak tertutup. Jika seperti ini, apa yang akan ia katakan pada Ahmad? Ia sudah lalai bukan? Ini salahnya.

Kakinya hendak beranjak untuk mengambil gamis wanita itu, namun tertahan saat Bulan mencekam kuat kaos yang ia kenakan.

Menggeleng kecil, tangisnya terlihat sendu disana. Hatinya hancur, sangat hancur melihat Bulan yang begitu berantakan saat ini.

Kepalanya tertunduk, mencekam kuat selimut yang membalut itu tanpa menatap Bulan yang terus mengeluarkan isak tangisnya.

"M-maaf..."

Selimutnya ia naikkan sebatas leher, lantas ia peluk tubuh itu dan ikut menumpahkan segala amarahnya disana.

"Angkasa─ m-maaf.."

"Saya udah bilang berapa kali? Jauhin Langit.. jauhin dia, dia punya tujuan buruk sama kamu. Tapi kenapa kamu gak mau dengerin saya? Saya khawatir, beruntung saya ikutin kamu tadi. Gimana kalo engga?"

Tak ada balasan, namun penyesalan itu dapat Angkasa rasakan. Tubuhnya kembali bergetar, kembali terisak kuat saat ingat kala lelaki itu hampir melampaui batasnya.

"Pulang.."

Lirihnya terdengar,
Angkasa menoleh, kembali meastikan jika ia tak salah mendengar.

"Gue gak mau disini.. Angkasa, kita pulang sekarang"

"Tapi─"

"Gimana kalo dia ada disini?"

Benar, tetapi mereka tak bisa pulang dalam keadaan seperti ini bukan? Darah di tangannya, beberapa luka akibat goresan kaca mobil itu bahkan belum sempat terobati.

"Besok kita pulang, kamu tenangin diri kamu dulu"

"Angkasa.."

"Saya disini, saya jagaian kamu disini"

Tak lama Ummi masuk, hanya Ummi. Karena ia tau jika kamar sang anak tak suka dimasuki oleh sembarang orang, bahkan Tamara sendiri sangat jarang masuk kamar Kakak lelakinya itu.

"Langit?"

Angkasa mengguk,
Lantas kalimat istighfar Mina terdengar, beralih mendekat pada Bulan yang masih berusaha mentralkan dirinya disana.

"Ini udah kelewat batas nak, Ummi gak perduli dia sepupu kamu atau bukan. Kalo gini Ummi bisa lapor─"

"Jangan Ummi"

Itu Bulan, gelengannya ia berikan dengan sedikit bergetar. Ia tak ingin semua semakin terasa rumit, terlebih membuat hubungan kedua keluarga mereka renggang.

"Bulan takut, Bulan takut Langit bakalan laporin balik a' Angkasa.."

"Nak─"

"a' Angkasa pernah tidur sama calon istri Langit, bener kan Ummi? Apa Bulan salah?"

Mereka diam,
Bulan tak mengerti.

Mina menoleh, meminta izin pada samg anak. Namun yang ia dapatkan hanya gelengan kecil, meyakinkan sang Ummi jika semua akan baik-baik saja.

"Kamu ganti baju kamu dulu, Ummi mau obatin luka Angkasa.. habis itu kamu tidur, besok kalian pulang duluan ke pesantren. Ummi sama Abi nyusul"

Bulan tak membuka suara,
Namun sirat dengan segala pertanyaan itu masih dapat Angkasa lihat dengan jelas. Ia paham, Angkasa akan menceritakan semua. Namun tidak sekarang.











































ImproveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang