• Tujuh Belas [Back]

45 16 6
                                    


Sirat kesedihan itu nampak terlihat jelas pada wajah Adiba ketika sang Abi berkata mereka akan segera pulang. Adiba hanya diam, ia tak ingin membuat sang Abi kembali marah sama seperti beberapa hari lalu.

"Sholat Ashar bareng Jihan sama Uti dulu abis itu kita pulang, jangan nolak lagi"

Adiba mengangguk kecil, menatap sebentar sang Umma sebelum beranjak turun dari kursi yang Lina ambil untuk memberi ruang nyaman antara Adiba dengan Bulan.

"Abi besok kesini lagi?"

"Besok kamu sekolah"

"Tapi Abi─"

"Kamu mau bolos?"

Adiba menggeleng, tak ada lagi yang anak kecil itu katakan. Kaki mungilnya perlahan pergi meninggalkan ruangan dengan penuh harap jika ia bisa kembali bertemu dengan sang Umma.

Tak lama saat Adiba keluar ruangan, tubuh Bulan kembali mengalami kejang ringan. Hal itu tak luput dari pandangan Angkasa, kaki yang hendak menghampiri kembali ia urung saat satu kilasan Bulan melintas dalam pikirannya.

"Nak Angkasa.."

Tatap Lina penuh harap pada Angkasa yang masih berdiri di ambang pintu sana. Apa lelaki itu benar-benar membeci sang Anak?

"Assalamu'alaikum"

Angkasa berlalu, meninggalkan tangis Lina yang tertahan bersamaan dengan beberapa perawat serta dokter untuk menangani Bulan yang masih enggan membaik.





































"Kenapa Abi gak suka sama Umma?"

"Kenapa Abi ga sayang sama Umma?"

"Kenapa Adiba gak boleh baleng sama Umma?"

Itu adalah ulasan pertanyaan dari beberapa pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Adiba tak mengerti, saat semua teman sekolahnya bisa merasakan kasih sayang dari kedua orang tua mereka, mengapa dirinya tidak?

"Ya Allah tolong Adiba, buat Abi sayang sama Umma.. tolong sembuhin Umma nya Adiba juga.. Aamiin"

hal itu tak luput dari pandangan Tamara serta sang Nenek di sana. Menatap gadis kecil itu teduh, memikirkan bagaimana anak sekecil Adiba sudah merasakan hal yang seharusnya tidak anak itu rasaka serta hal yang seharusnya tak anak itu pikirkan.

"Adiba besok mau ketemu Umma lagi?"

Itu Tamara, ia tak bisa terus menerus melihat wajah sendu keponakan kecilnya itu.

Adiba hanya tersenyum, tanpa membalas apapun. Bukankah ia tak boleh mengecewakan sang Abi? Bagaimana jika sang Abi kembali marah padanya? Adiba tak ingin hal seperti sebelumnya kembali terjadi.

"Nak.. bilang aja sama Uti, nanti InsyaAllah Uti bantu buat ketemu Umma kamu lagi"

"Nanti Abi malah lagi.."

"Kalo gitu jangan bilang Abi kamu"

Adiba mengerjap, apakah itu tandanya ia harus berbohong? Bagaimana jika sang Abi tau? Itu akan menjadi masalah besar untuknya.

Gelengan kecil itu Adiba berikan sebagai tolakan, mungkin jika memang itu bisa ia lakukan, Adiba akan meminta izin terlebih dahulu pada sang Abi. Bukankah itu jauh lebih baik?

"Adiba izin dulu"

"Kalo kamu izin, Abi kamu nanti marah lagi"

"Uti.."

"Gimana? Mau?"

"Adiba mau, tapi Adiba mau tanya dulu"

Tamara mendekat, tangannya terulur merapihkan tataan jilbab Adiba yang sedikit berantakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ImproveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang