• Delapan

58 16 13
                                    

"Bulan"

"Iya?"

"Maaf karena saya gak bisa nepatin janji saya.."

"Maksudnya?"

"Saya mau nikah sama Maira.."



























Bulan terbangun, kepalanya terasa pening setelah hampir semalaman ia diam dibawah shower yang menyala. Tubuhnya terasa tak enak, perutnya mual, bahkan hanya untuk beranjak dari ranjang saja sudah membuatnya cukup kesakitan.

Ini tidak seharusnya terjadi, dimana Bulan yang terlihat begitu tangguh? Bagaimana bisa ia menjadi seperti ini hanya karena seseorang? Bukankah ia bisa melewati gunjingan para santri yang jumlahnya lebih banyak dari pada satu orang itu?

2 hari sudah wanita itu disini, dan 2 hari itu juga Bulan merasa terasingkan. Ia benar-benar merasa sendiri, bahkan sapaan juga hanya ia dapatkan dari Abi. Selebihnya masih terlihat fokus pada wanita yang tidak Bulan ketahui namanya.

Keraguannya benar bukan? Apa yang ia takutkan kini benar terjadi. Bukankah ia sudah bilang pada dirinya sendiri jika Angkasa sudah lebih dulu menulis cerita dibanding dengan dirinya?

Bulan tak masalah. Mungkin setelah ini ia akan benar-benar pulang ke rumah, menikmati suasana rumahnya dan terbebas dari sini.

Muak, Bulan sangat muak. Bahkan drama disini jauh lebih banyak dibanding dengan siaran Televisi yang pernah ia lihat. Dan semua itu karena Angkasa.

Ia dilecehkan karena Angkasa.

Ia di guncing karena Angkasa.

Dan ia jatuh sakit seperti ini karena Angkasa.

Tak ada yang menguntungkan dirinya disini, nyatanya Angkasa sama sekali tak menjaganya. Tak menepatkan janjinya yang telah di buat dengan sang Papa, tak memenuhi Amanah yang telah dititipkan sang Mama.

Angkasa melanggar semua.
Lantas bagaimana jika lelaki itu menikahinya? Semua tak akan baik bukan? Itu yang Bulan pikirkan.

"Nak?"

Itu Abi. Lagi pula,
Siapa lagi yang Bulan harapkan?

Tubuhnya beranjak, membuka pintu saat ketukan dari luar terdengar.

"Ya Abi?"

"Udah sarapan?"

Bulan menggeleng,
"Belum.. Bulan baru aja bangun"

Ilham mengangguk mengerti, tau jika keadaan Bulan tak baik pagi ini. Semua terlihat jelas dari wajahnya yang memucat.

"Mau bubur? Kebetulan tadi Maira bikin bubur"

Kepalanya menggeleng,
"Engga Abi, nanti Bulan mau cari sendiri diluar.. mau cari makanan lain aja"

"Sama Angkasa ya?"

Diam sesaat sebelum senyumnya terlihat,
Gelengannya ia berikan sebagai balasan.

"Bulan mau coba cari sendiri Abi.. supaya lebih hafal jalan juga"

"Gapapa?"

Anggukannya Bulan berikan.

"Yaudah, kalo ada apa-apa bilang Abi. Jangan sungkan, jangan lupa mampir ke klinik.."

Bulan mengerjap, meraih wajahnya yang sedari tadi menampilkan sirat tak semangat. Apa sangat terlihat? Buih keringat itu bahkan sudah Bulan rasakan di permukaan tangannya.

"I-iya Abi.."

Tak lama suara tawa itu terdengar,
Datang dari pintu belakang secara bersamaan.

"Akang kalo gak bisa gak usah maksa.."

ImproveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang