• Empat belas

82 21 22
                                    

Tak ada yang membuat Angkasa percaya, bahkan dengan kedua sahabatnya. Kekecewaan kembali hadir saat mereka berbicara tak baik tentang Bulan. Mengatakan hal ini hingga itu, semua tentang keburukan. Tak ada sedikit kebaikan yang terlintas di kepala mereka tentang Bulan istrinya.

"Kalo Bulan beneran sebaik yang lo kira, mana mungkin dia ninggalin lo sendiri?"

Angkasa menatap malas, bukankah ia sudah bilang jika kedua sahabatnya kini tak ada yang percaya dengan dirinya?

"Gimana kalo lo berdua yang ada diposisi gue?"

Kinan maupun Gilang diam,
Lantas hembusan nafas itu terdengar dari Angkasa yang mulai beranjak dari sana.

"Terserah lo percaya atau engga, yang jelas apa yang lo denger dari Ummi, semua itu bohong. Kebenarannya Bulan istri pertama gue, kita udah akad sebelum Ummi maksa gue buat nikahin Maira"

Angkasa pergi, mungkin itu yang terakhir. Ia tau jika mereka tak percaya jika Bulan istri pertamanya, yang mereka tau adalah ia selingkuh dengan Bulan. Seperti apa yang Mina katakan pada mereka.


















































"Masih belum ada kabar?"

Itu Abi, tak ada bosannya menanyakan hal tersebut di setiap malam sejak Angkasa kembali dengan kabar tak mengenakan. Ilham tau bagaimana keadaan sang anak, porak poranda karena fitnah yang telah tersebar luas. Angkasa bisa apa saat tau jika semua itu karena sang Ummi? Jikapun ia memberontak, bisikan buruk itu kembali ia dapati.

"Belum Abi.."

Ilham mendekat, ikut duduk dengan jarak yang tak begitu jauh. Mengamati langit gelap bersama hembusan angin yang menemani keheningan malam.

"Udah coba tanya satpam?"

"Udah.."

Ilham mengangguk,
Ia sendiri bingung harus apa.

Kekacauan ini tak akan terjadi jika Mina tak memaksa Angkasa untuk menikah dengan Maira. Jika pernikahan itu tak terjadi, mungkin kini Maira tengah tertawa riang dengan buah hatinya, atau Angkasa yang mungkin tengah berbahagia setelah kabar kehamilan Bulan.

Seharusnya seperti itu, tetapi ia harus apa saat ego sang Ummi jauh lebih besar? Dan kini, masalah ini, mengapa harus Angkasa yang menanggung?

Tak adil rasanya.

Dadanya terasa sesak, kepalanya seolah terisi penuh dengan beberapa kalimat yang terus berputar bak kaset rusak yang tak jelas gambarnya.

Menangispun tak ada gunanya, mengeluh bukan jalan keluarnya. Lantas ia harus apa? Saat semua sudah tak sejalan sebagaimana mestinya, Angkasa bingung harus memperbaiki semua dari mana.

Disana ada Mina, terdiam tanpa suara. Menatap kosong lantai saat sadar jika semua sudah sangat berantakan, sadar jika kehidupan sang putra kini tengah dipermainkan. Bisikan buruk itu bahkan tak jarang sang anak dapati, dan itu semua karena dirinya.

Saat isak sang anak terdengar di tengah malam, dadanya terasa sesak. Tau jika semua begitu berat untuk di lewati, bahkan dari salah satu kedua istrinya kini tak ada yang memihak sang anak. Dan lagi itu semua karena dirinya, keegoisannya, ambisinya yang hanya menginginkan menantu idaman beberapa pria namun tidak dengan sang anak.

Bukankah ia telah melakukan dosa besar? Apakah ini hukuman untuk dirinya? Kesendirian sang anak, adalah hukuman untuknya. Tak ada lagi orang yang percaya, bahkan marga Albiru sendiri sudah dipandang jelek karena ulahnya.








































ImproveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang