。◕RIELLA LISNAWATI◕。

36 10 7
                                    

“Diam bukan berarti sombong, ramah tidak harus banyak bicara.”
•••


Seorang gadis dengan rambut dikucir kuda menuruni tangga sambil bersiul kecil. Menggeret tas punggung yang kelihatannya sangat ringan, atau memang kosong. Ia melirik hidangan di meja makan dan menghampirinya.

"Sarapan, gue udah beliin. Gue anterin Kenzo imunisasi. Semangat hari pertamanya, jangan buat masalah muluk."

Gadis itu membaca pesan pada stiker catatan , acuh ‘tak acuh. Ia menyingkirkan catatan kecil itu dan mengoperasikan makanan yang sepertinya mulai dingin. Jelas saja, dia bahkan sudah hampir terlambat mengikuti masa orientasi pertamanya.

Setelah menghabiskan makanannya dengan tidak terburu-buru, gadis itu mengeluarkan motor besarnya dari garasi dan bersiap mengendarainya. Masih dengan santai, dia bahkan tidak ingin sampai ke sekolahnya tepat waktu.

Sebenarnya dia sengaja berangkat lebih siang, karena kepadatan pagi kota Jakarta selalu saja membuatnya bosan dan kehilangan kesabaran. Tapi sesiang apapun jalanan kota ini memang enggan dikatakan sepi. Seperti saat ini, Riella tengah berdecak menunggu giliran lampu rambu berubah menjadi hijau. Tidak hanya dirinya sendiri tapi ratusan orang juga sedang mengantri di depannya.

"Bang!" Riella menoleh mendengar panggilan itu. Bukan karena merasa terpanggil, namun suara itu berasal tepat dari sampingnya, itu cukup mengagetkan.

"Sekolah di Pembinaan?" tanya orang itu.
Tunggu, jadi target panggilannya memang untuk Riella? Helm fullface, jaket kulit, celana jeans, motor besar pula. Pantas saja orang barusan memanggilnya dengan sebutan untuk laki-laki.

Riella hanya mengangguk menyadari bahwa gadis di dalam mobil mungkin saja mengetahui sekolahnya dari sepatu yang memang khas, atau dapat dikatakan hanya sekolah mereka yang memakai sepatu seperti itu.

"Bang, maaf, nih. Boleh gak saya numpang? Soalnya ini udah lampu merah kesekian dan kita cuma bisa maju dikit-dikit."

"Iya, Dek. Tante minta tolong tebengin anak Tante, boleh? Nanti dikasih uang bensin," ucap wanita yang duduk di kursi kemudi.

"Mamah yang ngasih?"

"Kamu, lah. Kok, Mama, sih?" kekeh wanita itu. Sempat-sempatnya.

Lagi-lagi Riella menganguk. Bukan tidak bisa bicara, hanya saja di tengah kemacetan yang saling klakson satu sama lain, suaranya pasti teredam. Tidak mungkin dia harus berteriak hanya untuk mengatakan 'iya', bukan?

Gadis di dalam mobil segera membuka pintu mobilnya dengan sumringah. Minimal dia tidak terlalu terlambat jika naik motor, pikirnya. Ia naik dengan sempurna bertepatan dengan bergantinya warna lampu.

"Loh, Bang? Kok lewat sini? Sekolah kita, kan, lurus. Jangan macem-macem, loh!"

Orang yang berada di jok penumpang itu terkejut saat Riella tiba-tiba membelokkan motornya ke arah kiri. Jalanan ini cukup sempit dan sepi, tentu saja dia was-was. Namun bukannya menjawab, Riella tetap berkendara dengan santai.

"Woi! Kita mau ke mana?! Gue telfon nyokap gue, nih? Bokap gue, pacar gue, polisi. Berhentii!!" Gadis itu menggoyang-goyangkan bahu Riella dengan kasar. Lupakan tentang pacar karena dia tidak punya.

CAMARADERIEWhere stories live. Discover now