✿LYDA MOZALOKA✿

9 3 1
                                    

"Mamiii!!" pekik Lyda sesaat setelah duduk dan menutup pintu mobil. Mamanya yang baru saja bersiap menjalankan mobil terkejut bukan main.

"Lydaaa, heh. Kalo Mama mati jantungan gimana?"

"Hush, Mama ngomongnya ...."

"Ya kamu itu, loh. Mami, mamu, mami, mamu."

"Anakmu ini so tired, Mami ...." Lyda menghela napas sambil berusaha merubah posisi jok mobil agar dirinya bisa berbaring.

"Kayak pernah aja gak cape. Kamu tuh kebanyakan aksi. Kamu ngomong satu kalimat aja effort-nya udah kayak angkat kursi tumpuk 5. Gimana gak cape?"

"Gak gitu, Ma. Mama tau gak ... temen-temen kelompok Lyda meresahkan! Ada tuh empat orang, masa apa-apa gak mau dilibatin. Terus si Ana, yang serem banget. Diajak ngobrol, sinis, diajak ngomong dicuekin. Satu lagi, Kak Riella. Mama tau dia siapa?"

"Ya enggak, dong. Kan temen kamu bukan temennya Mama."

"Dia itu yang numpangin Lyda pas di lampu merah kemaren. Mama inget, kan?" Lyda yang menggebu-gebu kembali duduk dengan tegak.

"Lampu merah? Ah! Anak cowok itu?"

"No! Mama salah, Lyda juga salah, sih, kemaren. Ternyata dia itu cewek, Ma. Terus, dia anak baru juga dan sekelompok sama Lyda. Mana anaknya songong banget lagi, tapi keren aja gitu. Kalo ngomong nyas-nyus juga ati. Saking canggungnya karna lampu merah, Lyda inisiatif aja panggil kakak." Lyda menangkup wajahnya sendiri dengan telapak tangan. Heran, mengapa cerita putih abu-abunya tidak manis seperti orang-orang?

"Ya ampun, kalo Mama jadi kamu sih ... malu, hahaha ...."

"Kan ... Mama ih!"

Lyda kembali berbaring, "Ada, sih, yang waras. Namanya Fara. Tapi kalo menurut Lyda, orang tuanya keras banget gitu ... mungkin. Soalnya apa-apa pasti dia gak bisa, dan alasannya ortu. Jadi Lyda gak terlalu berani minta tolong sama Fara. Arggghh ... mana kakel semuanya menyebalkan demi tikus mandi di got!"

"Jadi ... intinya?" Mamanya melirik putri satu-satunya itu menunggu inti dari keluhannya sejak masuk ke mobil.

"Lyda harus jadi ketua kelompok. Ya, males banget ga sie Ma?" Lyda menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

"Cuma untuk kegiatan orientasi aja, kan? Tinggal berapa hari lagi, sayang. Sabarin aja. Kamu kan suka gitu, cape-capean."

"Mama ah, gak asik! Tapi ... ada benernya juga, sih, Ma. Kan, sebagai ketua, Lyda bisa dong atur-atur anggota Lyda," matanya berbinar.

"Jangan kelewatan, loh. Gak mau Mama kayak gitu."

"Ah, bukan kayak yang Mama pikirin, kok. Tenang aja. Paling Lyda buat peraturan satu hari minimal ngobrol. Biar gak serem-serem banget."

Mamanya hanya terkekeh melihat tingkah Lyda. Baginya itu memang satu proses. Mungkin tidak semua orang harus mengalami masa remaja yang seperti itu. Tapi ia yakin ada sesuatu manis yang akan terbentuk dari dibuatnya kelompok-kelompok seperti itu. Seperti dirinya yang bertemu suaminya saat orientasi kampus, dulu sekali.

Satu yang tidak disadari Lyda tentang hidupnya yang mungkin tidak hanya satu orang menginginkan hal itu. Mampu berbicara, tertawa lepas, menangis, bahkan curhat di depan orang tuanya. Memiliki orang tua yang open-minded, pasti banyak orang yang menginginkan hal sederhana itu.

Tapi bagi Lyda, itu hal biasa, sangat biasa, dan wajar. Wajar seorang anak mampu mengekspresikan segalanya dihadapan orang tua. Wajar seorang anak begitu akrab dengan orang tua. Wajar. Tanpa ambil pusing, bahwa ada kemungkinan sebagian anak tidak bisa berlaku demikian.

CAMARADERIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang