03. Dua Puluh Dua🦊

132 18 19
                                    

💎Happy reading💎

Setiap sebulan sekali, Fazor selalu melakukan rapat penting dengan kelima panglima terpercayanya. Bulan ini juga sama, Fazor masih mengadakan rapat seputaran kepentingan Selatan atau tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.

Fazor memiliki peraturan ketat saat sedang rapat. Salah satunya tidak ada yang boleh mengusik rapat. Atau tidak boleh berteriak kencang saat rapat diadakan. Juga peraturan sederhana seperti, saat rapat diadakan, semua pengawal harus berada di rumah. Tidak ada yang boleh pergi ke mana-mana. Bahkan pergi melihat keadaan sekali pun. Kecuali yang memang bertugas menjaga gerbang.

Namun, rapat kali ini malah terganggu oleh teriakan bocah tak tahu diri yang tiba-tiba hadir di halaman rumah. Fazor belum mengetahui siapa bocah itu, tapi Fazor yakin itu bukanlah salah satu penduduknya.

Dengan perasaan kesal juga marah yang menguasai diri, Fazor mengajak kelima panglimanya untuk melihat situasi. Mencari tahu bocah gila mana yang berteriak di rapat penting seperti ini.

Kemarahan Fazor bertambah berkali-kali lipat saat pintu utama terbuka. Pertama, ia bisa melihat semua pasukannya tumbang di atas tanah. Kedua, saat ia mengganti atensi pada dua bocah yang berdiri dengan mata juga tertuju padanya. Bocah itu, Fazor tidak mungkin lupa siapa dia. Dua bocah ini yang memiliki rambut aneh dengan dua warna. Mereka anak serigala yang dulu pernah Fazor serang dengan pasukan merahnya.

"Kau?" tanya Fazor tak percaya.

Akira tersenyum miring di tempatnya, berbanding terbalik dengan Fero yang justru gemetar ketakutan. Mendengar suara Fazor saja sudah membuat bulu kuduknya meremang. Ditambah lagi dengan tatapan tajam yang Fazor perlihatkan. Sekekita, dalam kepala Fero terputar kembali saat di mana Fazor datang dan menyerang keluarganya. Tangisan Ibu, auman Ayah, riuh di luar rumah, juga suara isak tangis yang waktu itu keluar dari mulutnya dan mulut Akira.

"Lama tidak bertemu, Fazor," sapa Akira sambil mengangkat tangan kanannya ke udara.

"SIALAN!" Fazor mengumpat kasar di tempatnya, dilihatnya satu per satu panglima yang kini mengelilinginya. Lalu, mata tajam itu berhenti tepat saat mata itu tertuju pada satu orang yang menunduk dengan tangan bergetar samar.

"Kau yang kuperintahkan untuk mengejar dua bocah itu 'kan? Dan saat kembali, kau bilang mereka sudah mati. Lalu, apa-apaan ini?!" tanya Fazor dengan gigi bergemeletuk.

"Ma--maafkan saya, Tuan! Ha--hari itu saya hanya bertemu dengan Gerin saja. Anak-anaknya sudah tidak ada dan ... dan Gerin memojokkan saya, mengancam akan memakan saya kalau berani mengejar anaknya. Sa--saya waktu itu sudah terluka, jadi saya tidak bisa melawan."

"Apa?!" pekik Fazor tak percaya. Yang ditanya masih menunduk dalam dengan gemetar di tangan semakin kencang dari sebelumnya, "Kalau begitu kau mau bilang kalau Gerin juga masih hidup?"

"Sekali lagi ... maafkan saya, Tuan!"

Fazor menarik pedang yang digenggam lelaki itu. Untuk kemudian menghunuskan pedang itu ke dada panglimanya.

"Wah! Wah! Wah! Sayang sekali ayahku sudah meninggal. Kau beruntung, Fazor. Kalau saja ayahku masih ada, kami akan menghabisimu dengan mudah!" pekik Akira.

Fazor menarik kembali pedang yang tadi ia tancapkan ke dada panglimanya. Mengayunkan sebentar untuk kemudian membuangnya ke sembarangan arah. Bersamaan dengan robohnya panglima dengan lubang di dada itu yang menyemburkan darah.

"Punya nyawa berapa kalian sampai berani menunjukkan diri ke sini?" tanya Fazor dengan nada tenang, kemudian melangkah sebanyak dua kali dan kembali berdiri paling depan.

"Kami memang hanya memiliki satu nyawa saja, tapi kami punya seribu dendam untuk dibalaskan."

Fazor tertawa renyah di tempatnya. "Hei! Bukannya ibumu mati di tangan serigala itu? Lalu, dendam yang mana yang ingin kau balaskan? Dasar bocah!"

Half BeastDonde viven las historias. Descúbrelo ahora