24: Destiny

46 9 19
                                    

Lyra melirik jam yang melingkari tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul 9 malam yang berarti sudah saatnya kafe tutup. Namun hingga setengah jam berikutnya lampu bangunan satu lantai ini masih terang benderang.

Meja yang masih berpenghuni di kafenya tinggal dua. Satu pekerja kantoran dengan laptopnya, dan satu lagi adalah pasangan lovely dovely yang sedang mengobrol ramai. Lyra sangat ingin pulang tapi sayangnya selagi masih ada pelanggan ia hanya bisa bersih-bersih kecil di bagian bar.

"Kapan kafe ini bisa tutup ..."

Beberapa menit berlalu, pekerja kantoran yang sibuk dengan laptop akhirnya bangkit dari duduknya. Lyra langsung menegakkan badannya terima kasih kala salah satu dari pelanggan terakhir hari ini melewati dirinya dan pergi keluar kafe.

Di saat pintu kafe tertutup Lyra baru sadar. Papan tanda open close belum dibalik. Yang sekarang Lyra lihat di bagian dalam adalah close. Pantas saja yang tahu jam tutup kafe hanya dirinya.

Setelah membalik papan menjadi close dan membersihkan meja pekerja kantor tadi, Lyra kembali tidak berkegiatan. Di saat inilah pintu kafenya kembali terbuka.

"Maaf, kami sudah tu—"

"Satu ice americano."

Pria yang baru saja masuk ke dalam tempat bisnisnya ini langsung memesan minuman, meninggalkan selembar uang di atas meja kasir dan pergi untuk duduk di salah satu meja.

Lyra merasa adegannya terlalu cepat sampai-sampai ia tidak sempat memprotes dan hanya bisa menghela napas kasar. Untuk pertama kalinya Lyra kesal dengan pelanggannya. Papan tanda open close yang terpampang di depan pintu masuk seperti tak ada gunanya. Meskipun kesal, Lyra tetap membuatkan pesanan. Setidaknya pria tadi sudah membayar.

"Ini kopinya."

Lyra menyajikan pesanannya dengan perasaan jengkel. Pria itu hanya membalasnya dengan anggukkan kepala.

"Untung kau pelangganku. Kalau kau Jae, sudah kutendang pantatmu," gumam Lyra berlalu dari sana dengan dengusan.

Fokus Lyra sekarang bukanlah pasangan kekasih yang masih bersemayam di kafenya, melainkan sudah berpindah ke pria americano. Satu hal yang membuat Lyra bingung selain pria itu tidak membaca tanda close, yakni pesanannya. Alih-alih memesan minuman hangat, pria itu malah memesan minuman dingin di tengah musim dingin pula. Aneh.

Setelah mengawasinya beberapa menit, Lyra baru sadar kalau pria itu belum sedikit pun meminum kopi dinginnya. Buliran air turun ke tatakan kopi, membuat minuman itu tidak terlihat dingin lagi.

"Apa kopinya tidak enak?" gumamnya.

Lyra melihat ke arah pelanggannya lagi. Sepertinya kopinya belum diminum bukan karena tidak enak tapi karena pria itu sedang menangis. Lyra memang tidak bisa melihat butiran air mata karena pria itu masih menunduk tapi yang jelas dari badan yang bergetar ia sudah bisa menebaknya.

Yang terjadi kemudian membuat mata Lyra terbelalak. Ice americano dihabis oleh pria itu dengan satu tegukkan!

"What the ..."

Gelas yang tadinya berisi cairan coklat kehitaman kini sudah kosong. Hanya menyisakan beberapa es batu kecil. Tubuh Lyra merinding membayangkan rasa pahit yang menghajar lidah pria itu. Apa pelangganya ini pikir sedang minum soju one shot? Berani-beraninya menghabiskan kopi yang terkenal pahit hanya dalam satu tegukan.

Lyra mengambil sebuah piring kecil kemudian melangkah keluar dari tempat kasir menuju ke kantornya. Di dalam ruangan itu ada sesuatu yang mungkin saja bisa meringankan rasa pahit kopi pelanggannya. Sambil membawa piring kecil berisi makanan, Lyra berjalan menuju sang pelanggan.

Days Gone ByTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang