5| Bercerita di Bawah Langit Malam

2.8K 348 54
                                    

Papa itu panutan Kala

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Papa itu panutan Kala. Apa pun yang papa lakukan selalu keren di matanya. Sejak kecil, Kala selalu menganggap papa adalah pahlawan yang mampu menyelematkannya di segala situasi.

Itu dulu. Sebelum Kala tahu, bahwa papa tak ubahnya seperti laki-laki di luar sana. Papa menyakiti mama. Papa mengingkari janjinya. Papa memilih kehidupan yang lain, dengan orang lain.

Semua terlalu bercanda. Sampai-sampai Kala tak tahu, harus menangis atau tertawa. Ini semua terlalu tiba-tiba. Sampai saat ini pun, ia masih tak percaya.

Di bawah langit malam yang kelam, Kala dan papa duduk bersama di balkon kamar Kala. Ditemani segelas kopi milik papa, dan segelas susu putih hangat milik Kala. Kepulan mereka beradu menjadi satu di udara.

Untuk masalah saat itu, papa sudah berulang kali meminta maaf pada Kala. Walau tak ada pelukan seperti biasanya. Tidak apa-apa. Kala tidak menuntut apa-apa lagi dari papa. Takut bahwa yang didapat hanya kecewa.

"Papa, Adek mau tanya." Kala tiba-tiba bersuara. Memecah hening yang memeluk mereka cukup lama.

Papa menoleh pada Kala, kemudian mempersilahkan Kala untuk bertanya.

"Selama ini, Papa pernah nyesel karena punya anak seperti Kala?"

Cukup tersentak dengan pertanyaan Kala, namun papa masih bisa mengontrol dirinya sendiri. Hanya senyum tipis yang kini Kala lihat.

"Dulu Papa yang minta Adek hadir ke Tuhan. Setiap malam, Papa selalu berdoa sambil menatap langit malam, bahwa Papa menginginkan seorang anak. Dan Tuhan mengabulkan. Adek lahir, menjadi anak kebanggaan Papa."

Jawaban itu, entah mengapa justru membuat Kala sakit. Tangannya mengepal erat.

"Papa memang ingin seorang anak. Tapi bukan anak laki-laki ...," ucap Kala lirih. Setelahnya mengubur kepala dalam-dalam.

"Adek, nggak gitu—"

"Adek tahu kok. Papa itu cuma mau anak perempuan. Nyatanya, setiap kali Papa bersama anak itu, Papa bahagia. Beda kalau sama Adek.".

Papa bergerak mendekat, namun Kala mundur. Menjauh dari papa dengan bahu bergetar. "Ah! Maaf Papa, Adek nangis. Soalnya sakit banget hehe."

"Dek ...,"

"Tiga puluh hari lagi. Tersisa tiga puluh hari lagi. Bisa nggak Papa pura-pura bahagia karena memiliki Adek?"

Papa bungkam. Tak ingin membohongi perasaannya dan perasaan Kala saat dirinya harus berjanji. Janji yang belum tentu bisa dia tepati.

Menumbuhkan kasih sayang itu tidak mudah. Nyatanya, hampir lima belas tahun melihat Kala, perasaan itu masih biasa saja. Walau terkadang ada perasaan rindu yang datang saat tak melihat Kala. Itu hanya perasaan rindu biasa, menurut papa.

"Nggak bisa, ya?" Kala memeluk dirinya dengan kekecewaan. Tak bisa memaksa papa lagi untuk menuruti apa inginnya.

"Maafin Papa. Tapi bagaimana pun juga, Adek anak Papa."

|✔| 36 HARIWhere stories live. Discover now