17| Gaun Merah

2.1K 263 16
                                    

Kala terdiam, namun bibirnya tetap menyunggingkan senyuman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kala terdiam, namun bibirnya tetap menyunggingkan senyuman. Pertanyaan Om Dokter barusan sudah Kala dengar berulang kali selama hampir dua tahun ini. "Kala takut kemo, Om Dokter. Kala nggak mau rambut Kala nanti habis, terus jadi aneh. Rambut ini kesukaan Papa, kalau rambutnya hilang, nanti Papa nggak suka Kala lagi. Sekarang aja, Kala nggak lihat Papa sudah hampir dua minggu ini. Nanti tiba-tiba Papa lihat Kala nggak punya rambut, Papa pasti kaget dan makin nggak suka sama Kala." ucap Kala.

Om Dokter termenung. Menatap ke bawah, pada tangan kanan Kala yang tertancap jarum infus. Mengusapnya pelan. Selama hampir dua tahun menangani Kala, Om Dokter sudah menganggap Kala sebagai adiknya sendiri.

"Nanti juga Mama dan Papa curiga. Belum lagi teman-teman Kala, apalagi Abang Arsen. Kala itu paling nggak bisa bohong, Om Dokter. Tapi kalau jujur, Kala nggak suka dikasihani. Kala nggak mau mereka sayang Kala, hanya karena mereka tahu, waktu Kala nggak banyak lagi." lanjutnya.

"Kata siapa waktu Kala nggak banyak? 'Kan Om Dokter masih ada. Om akan bantu Kala sampai sembuh, ya? Jangan mikir gitu, jangan pesimis. Om nggak suka."

"Kisah hidup Kala se-dramatis cerita-cerita novel, ya, Om? Sampai rasanya Kala masih nggak percaya dengan ini semua. Tapi sekali lagi, semesta kasih tahu Kala, kalau ini nyata. Rasanya berat, Om. Benar kata Raka, kematian itu menyeramkan."

"Kala. Kematian pasti terjadi pada setiap makhluk yang hidup. Tugas kita hanya mengumpulkan amal sebanyak-banyaknya, untuk bertemu Tuhan kelak. Kala anak baik, jangan takut. Tuhan itu sayang banget sama Kala."

Kala mengangguk lemah. "Tuhan terlalu sayang Kala. Sampai-sampai Kala nggak diijinkan buat lama-lama di dunia, ya, Om?"

Om Dokter hanya mengangguk. Kemudian merengkuh tubuh yang semakin kurus itu ke dalam pelukan. Berat badan Kala turun drastis dalam bulan ini, Om Dokter menyaksikan sendiri setiap Kala menimbang berat badannya. Setiap kali mencatat angka itu, hatinya selelau berdenyut sakit.

"Sakit banget, ya? Mana yang sakit?" tanya Om Dokter. Napas Kala terdengar berat di telinga. Om Dokter berusaha tenang, dengan mengusap punggung Kala. "Kasih tahu Om, mana yang sakit, Kala. Nanti Om hilangkan sakitnya."

"Kepala Kala ... sakit banget Om Dokter ...," lirih Kala. Hidungnya mengeluarkan cairan pekat berwarna merah. Walau begitu, Om Dokter tak melepaskan pelukannya. Tetap merengkuh tubuh itu. "Kala takut Om Dokter. Kala takut ... tapi Kala juga capek. Rasanya sakit banget. Kepala Kala rasanya mau pecah."

"Iya, Om tahu, Om tahu. Sabar, ya, Om panggilka Dokter Vian dulu." Tangan Om Dokter mengambil ponselnya di saku jas. Mencari nomor seseorang di sana. "Kala anak kuat, 'kan? Jangan kalah dulu, ya? Jangan tinggalin Om Dokter. Nanti kalau sembuh, Om Dokter bakal bantuin Kala buat deketin Suster Faradina."

"Atlas! Ada apa?"

Yang Kala tahu, nama Om Dokter itu Atlas. Tapi Kala tak mau memanggil nama Om Dokter dengan panggilan lengkap. Katanya, nama Om Dokter terlalu bagus dan Kala enggan memanggilnya seperti itu. Tidak cocok dengan wajah konyol Om Dokter.

|✔| 36 HARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang