19| Badai mencekam

2.7K 296 41
                                    

"Darahnya nakal, ya, Pa, nggak mau berhenti

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

"Darahnya nakal, ya, Pa, nggak mau berhenti. Papa jangan panik gitu dong, Adek nggak apa-apa kok."

"Jangan banyak gerak, Dek. Jangan buat Papa takut." Tangan Kamandanu dengan gemetar terus mengusap darah yang sentiasa keluar dari hidung Kala. "Adek kenapa? Kenapa seperti ini? Tadi Adek sehat-sehat aja." Suara Kamandanu terdengar bergetar. Tatapannya tak lepas dari wajah pucat Kala yang kini berusaha tersenyum menenangkan.

"Papa," Kala meraih tangan papa, mengenggam tangan yang jauh lebih besar darinya itu. Gerakan Kamandanu sontak terhenti. "Adek nggak pa-pa, jangan khawatir. Sekarang Adek mau minta peluk boleh? Peluk Adek yang lama, Papa. Adek kangen banget sama Papa ...,"

Tanpa berpikir banyak, Kamandanu memeluk daksa itu erat-erat. Menumpahkan air matanya di bahu Kala. Kamandanu menangis, ketakutan. Tak pernah dia lihat Kala dalam kondisi yang seperti ini. Terdengar berat napas Kala, membuat Kamandanu semakin bergetar ketakutan.

"Maafin Adek, ya, Pa. Adek selalu egois, minta Papa selalu di sini, padahal Papa nggak bahagia di rumah ini. Selalu minta hal aneh-aneh, sampai buat Papa susah sendiri. Sekarang Adek nggak akan nyusahin Papa lagi, Adek janji. Lima belas hari lagi, setelah itu Adek nggak akan ganggu Papa atau Mama lagi."

"Jangan ngomong gitu. Papa sudah buatkan Adek rumah, nggak jauh dari rumah Papa. Kalau Adek nggak mau tinggal sama Papa, Adek bisa tinggal di rumah itu. Nanti ajak teman-teman baru Adek, ya? Jangan ngomong seolah Adek mau pergi jauh ...,"

Kala tersenyum tanpa bisa Kamandanu lihat. "Adek mungkin nggak bisa tinggal di sana. Tapi boleh nggak, kalau rumah itu buat Raka dan Haikal? Biar mereka bisa selalu jagain Papa. Boleh, Pa?"

Mati-matian Kamandanu menahan isakan. "Boleh, Adek, boleh. Adek nggak bisa tinggal di sana, lalu Adek mau tinggal dimana? Sama Mama?"

"Enggak juga." Berhenti sejenak, Kala terbatuk dengan keras. Kamandanu memekik, hampir melepas pelukan saat dirasa punggungnya basah akan sesuatu. "Jangan di lepas Papa. Jangan di lepas pelukannya." ucap Kala, lirih.

Menurut, Kamandanu tetap mempertahankan daksa yang sudah lemas itu di dalam pelukannya. Menahan berat badan Kala yang sudah lemas tanpa tenaga. Kamandanu ketakutan luar biasa. "Kamu kenapa, Dek? Jangan buat Papa takut."

"Adek nggak apa-apa. Pa, Adek mau ijin tidur, boleh? Tapi jangan di lepas pelukannya. Mau gini aja, sampai Adek benar-benar tidur. Iya, Pa?"

Kedua mata itu hampir terpejam. Entah apa jawaban papa, Kala tidak mendengar. Karena saat ini, telinga nya hanya mendengar dengung panjang. Gelap itu datang, membawa bersama rasa sakitnya terbang.

Kamandanu tak pernah tahu, bahwa rasa takut akan kehilangan ternyata se-menyakitkan ini. Ruangan tertutup rapat, para dokter dan beberapa perawat tengah berusaha menolong Kala di dalam sana.

"Saya Atlas, dokter yang menangani Kala."

Sangat Kamandanu ingat dengan jelas saat dokter muda itu tiba-tiba memperkenalkan diri kepadanya. Dengan sorot penuh luka, dokter muda itu bercerita padanya, tentang Kala. Tentang penyakit ganas yang bersarang di tubuh putranya.

|✔| 36 HARIHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin