25| Sabtu Sendu

2.3K 194 28
                                    

Aroma petrichor begitu menyeruak sabtu pagi itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aroma petrichor begitu menyeruak sabtu pagi itu. Tanah merah yang basah menjadi genangan air untuk di lalui, membuat beberapa pakaian orang-orang kotor. Diantara sendu yang hadir, sekumpulan orang-orang di pemakaman hanya menunduk, menatap pada gundukan tanah yang baru saja menelan sosok yang mereka sayang.

Di samping gundukan tanah itu, ada sepasang suami-istri yang tengah merenung dengan air mata mengalir tanpa henti. Mereka duduk berhadapan, namun tatapan mereka jatuh pada papan nisan.

Papan putih itu Kamandanu lindungi dari cipratan air hujan. Membiarkan seluruh tangannya kotor karena tanah merah. Tak peduli apa, Kamandanu akan melindungi hal yang menjadi tempat untuk putranya pulang saat ini.

Dua tahun Kala jalani sendiri, memendam kesakitan itu karena segan untuk memberitahu di saat orang tuanya sibuk dengan luka masing-masing. Pergi ke rumah sakit seorang diri, padahal Kamandanu tahu, Kala adalah anak yang paling anti untuk pergi sendiri. Tapi karena keadaan, anak itu memberanikan diri menemui dokter untuk tetap bertahan selama dua tahun ini.

"Anak Papa hebat! Sekarang Adek sudah nggak sakit, rambut Adek juga bisa tumbuh lagi dengan lebat. Nggak harus menelan obat pahit lagi, pokoknya sekarang Adek sudah benar-benar bahagia bersama Tuhan, ya?" gumam Kamandanu.

Gumaman itu di dengar oleh Kaira yang masih menatap kosong pada papan nisan putranya. Masih tak Kaira sangka, jika dalam hidupnya, dia sendiri yang akan menghantar sang putra ke peristirahatan terakhirnya. Tak ada orang tua yang tegar akan ini.

"Kamandanu ...," panggil Kaira lirih. Kamandanu menatapnya, walau Kaira masih tidak membalas tatapan itu. "Ayo berdamai. Ayo berdamai dengan keadaan. Perceraian itu memang sudah pasti terjadi, tapi setelahnya, ayo tetap hidup sebagai dua orang yang tak pernah memiliki masalah apa-apa sebelumnya."

"Kaira ... jika ini membuat kamu sakit, saya lebih rela hidup dalam kebencian kamu. Jangan memaksakan diri kamu lebih jauh lagi, Kaira."

"Tidak." Kemudian Kaira mengusap wajahnya kasar. "Sampai akhir pun, putra kita hanya berharap kita hidup dengan bahagia. Dan jalan satu-satunya adalah berdamai, Kamandanu. Kita berdamai dengan keadaan dan situasi."

"Saya telah banyak menghancurkan kehidupan kamu, Kaira. Saya ... saya malu."

"Yang berlalu biarkan berlalu. Sekarang ayo tetap hidup untuk Kala. Kita buat dia tersenyum dari atas sana." Sudut bibir itu membentuk senyum. Walau sulit, tapi hari akan terus berlanjut, dunia akan terus berputar. Kaira hanya ingin membuat Kala bahagia dan tahu, bahwa di sini dia dan Kamandanu telah menemukan kebahagiaan masing-masing.

Hanya itu permintaan putranya. Dan baru sekarang Kaira mengerti. Seandainya saja, dia lebih bisa meluangkan waktu untuknya, saat ini pasti tidak akan sesakit ini. Meskipun kematian tak bisa ditunda, dia memiliki banyak waktu untuk berpisah dengan putranya.

|✔| 36 HARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang