1 - ALAN ARCANUT

122 25 28
                                    

"Tuh kamu liat, anak karyawannya Papa si Joko kemaren baru memenangkan kompetisi di Singapura, dia dapat beasiswa di sana padahal masih kelas 1 SMA," tutur seorang pria berjas dengan dahi yang mengkilat.

Alan menatap nanar sebuah piagam yang baru saja di lemparkan Papanya di atas meja. Alan berusaha menatap pria paruh baya itu.

"Udah rejekinya dia, Pah," balasnya seadanya.

"Kamu gak ada usaha buat ngelakuin hal yang sama, Alan?"

"Maksud Papa, niru? Itu hal paling konyol yang gak akan pernah aku lakuin."

"Kamu ini kalau dibilangin memang susah. Kamu gak pernah ngerti kemauan orang tua."

"Kemauan apa yang Papa maksud? Ngebanding-bandingin anak sendiri sama anak karyawan?"

"Papa itu pengin yang terbaik buat kamu, Alan."

"Terbaik apa maksudnya, Pah? Biar bisa dipamerin ke temen-temen kantor Papa? Biar dipamerin ke karyawan-karyawan Papa? Terus di pamerin ke bos dan kolega Papa biar dianggap orang tua yang berhasil dan bisa naik jabatan?"

Alan menelan salivanya yang tiba-tiba terasa pahit.

"Dari awal cara Papa itu udah gak bener. Aku ini anak Papa bukan robot."

Akhirnya, kalimat yang sudah lama Alan persiapkan untuk segala kesengsaraannya selama ini berhasil terlontar dengan jelas.

Papanya selalu menyuruhnya untuk belajar. Setiap bulan, setiap hari, setiap jam harus dihabiskan untuk membaca buku dan merangkum materi. Les kesana kemari agar nilainya semakin meningkat dan dengan ini pandangan orang-orang tentang Papanya akan berubah.

Rian Wiranto, pengusaha batu bara yang berhasil mendidik anaknya sampai menjadi juara umum olimpiade bahasa tingkat nasional 2022.

Ingin rasanya, Alan mengeluarkan segala unek-uneknya. Ingin mengibarkan bendera kuning, memberitahukan kepada semua orang kalau ia sudah lelah menjadi boneka untuk Papanya.

Nyatanya, Alan hanya ingin menjadi remaja lelaki biasa yang tidak terlalu mempermasalahkan nilai ujian yang turun atau menangisi peringkat paralel yang disalip murid lain. Alan ingin mengembangkan hobinya yang selama dua tahun terakhir ini tertinggalkan.

Alan ingin hidup sebagaimana remaja seumurannya. Menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Mencari pacar dan sahabat tanpa beban nilai di pundaknya.

Entahlah, apakah Papanya akan mengerti apa yang dikatakannya. Ia sudah terlalu capek untuk berpikir sejauh ini.

"Kamu ini ngomong apa, Alan? Papa tidak suka dengan ucapan kamu, jangan memperbesar masalah. Papa hanya ingin prestasi kamu meningkat dan buat kamu dikenal dengan kemampuan otakmu bukan karena sikapmu yang suka menentang seperti ini."

Alan mendengus.

"Sudah, mending sekarang kamu siap-siap dan pergi les."

Alan segera beranjak dari tempatnya, berlari ke kamar dan membanting pintunya. Alan menidurkan tubuhnya di atas kasur, ditatapnya langit-langit kamar yang bersih tanpa sawang.

"Cita-citanya adalah ingin menjadi remaja biasa tanpa keinginan untuk dinomor satukan."

*****

Gadis berkulit putih mulus dengan rambut dikuncir kuda yang hampir mencapai bahu itu terus mengelap keringatnya yang mengucur membasahi wajahnya yang memerah. Gadis itu baru saja kembali setelah selesai joging mengelilingi taman di dekat komplek rumahnya.

"Aulia, kamu tidak siap-siap pergi les?"

Suara bariton milik Ayahnya dari arah teras membuatnya berhenti melakukan gerakan pendinginan. Aulia membalikkan tubuhnya lalu menelisik jam di pergelangan tangannya.

"Masih ada satu jam lagi, Yah."

"Kamu gak mau siap-siap dari sekarang? Gak takut telat?"

Aulia tertawa sambil menatap Ayahnya. "Iya, Yah, cerewet banget sih. Nih, Aulia mau mandi nih."

"Mandi yang bersih."

"Iyaaaa," sautan itu terdengar bersamaan dengan Aulia yang berjalan masuk. Mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.

Suara air yang turun dari shower terdengar hingga ke teras belakang. Tak lebih, lima belas menit gadis itu keluar dengan tubuh yang dibalut dengan handuk yang super besar. "Mau kemana, Yah?" tanya Aulia begitu keluar kamar dengan yang sudah pakaian rapi.

"Ayah mau ketemu temen SMA. Kamu mau berangkat bareng Ayah atau sama Haikal?"

"Sama Haikal aja."

"Oke, itu udah Ayah siapin makanan di atas meja. Ayah pergi dulu."

Aulia mengangguk lalu menyalami tangan Ayahnya yang kemudian pergi.

Setelah menyantap hasil masakan Ayahnya yang selalu terbaik seperti biasanya. Aulia mencuci perangkat makannya lalu menyambar tasnya di atas sofa dan keluar rumah menunggu Haikal.

Haikal adalah salah satu teman les sekaligus teman sekolahnya. Rumahnya hanya berbeda dua komplek dengannya. Setiap berangkat les, Haikal pasti akan mampir untuk menjemputnya. Namun, kalau sekolah beda cerita, Haikal biasanya akan berangkat lebih pagi darinya.

Sudah dua puluh menit berlalu dan belum ada tanda-tanda Haikal akan datang. Apa Haikal lupa kalau hari ini ada les? Aulia ingin menelepon Haikal saat sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Seseorang turun dari mobil itu. Aulia sedikit terkejut mendapati 'dia' kini ada di depannya.

Dzon adalah alasan awal ia mau les di Gama Group. Crushnya dari jaman kelas 10 itu memang sulit untuk digapai. Seperti pada cerita remaja SMA pada umumnya, disini dialah yang berlakon menjadi most wanted sekaligus yang paling cool di antara cowok yang lain.

"Ayo berangkat."

"I—iya, ayo." Aulia merutuki dirinya yang kenapa tiba-tiba menjadi gugup.

Gadis itu langsung mengikuti Dzon masuk ke dalam mobil. Lupa sudah dengan niatnya tadi untuk menelepon Haikal. Tapi yang menjadi pertanyaannya, darimana Dzon tau letak rumahnya? Dan kenapa bisa kebetulan seperti ini?

*****

Halo, masih part satu itu nih.

Recommended gak ceritanya?

See you:)

Next part 2💜

Ig: 07mx3_

SAPTAWhere stories live. Discover now