7 - ZAKI PRASTAMA

40 11 7
                                    

Tit... Tit... Tit...

Semenjak seorang pria paruh baya yang terbaring di atas ranjang itu dipindahkan ke ruangan ini, suara mesin elektrokardiogram tak kunjung luput dari indera pendengaran setiap harinya. Mata yang tak lekas membuka itu selalu menimbulkan kekhawatiran dari pihak keluarganya.

"Zaki, kamu gak sekolah lagi hari ini, nak?" Seorang wanita berjilbab salem itu menghampiri remaja laki-laki yang duduk di kursi samping ranjang.

"Gak, Mah, aku mau di sini aja nungguin Papa," sahut Zaki tanpa menatap wajah Mamanya. Kedua manik mata itu terfokus pada wajah damai Papanya.

"Loh kamu kan udah tiga hari gak masuk sekolah, nak, emang gak takut ketinggalan pelajaran?" tanya Andari lagi.

Kali ini Zaki menoleh ke mamanya. "Kalo aku sekolah siapa yang jaga Papa?"

"Kan ada Mama."

"Kalo Mama pulang ke rumah, siapa yang jaga?"

Andari tersenyum, dengan lembut wanita itu menyugar rambut anak laki-laki semata wayangnya. "Kan ada Om Doni sama Tante Hera."

Zaki terdiam. Bingung harus beralasan apa lagi.

"Tapi, Mah, ijinin Zaki gak berangkat hari ini aja. Zaki mau jagain Papa sampai bangun," pinta Zaki dengan mata berkaca-kaca.

"Ya udah, tapi janji ya besok kamu berangkat."

Zaki mengangguk.

"Kamu udah chat Haikal belum, ngasih tau kalo kamu ijin lagi?"

Kali ini Zaki menggeleng. "Aku kabarin Haikal dulu ya Mah."

Andari mengangguk lalu duduk di kursi yang sedari semalam Zaki dudukin, pasalnya Zaki sudah berdiri untuk mengambil ponselnya di dalam tas.

Zaki membuka room chatnya dengan Haikal lalu mengetikan dua pesan di sana.

Zaki Prastama
|Kal, ijinin gue hari ini ya. Gue gak masuk lagi, bokap gue masih belum sadar
|Kalo gak ada halangan, besok gue baru bisa berangkat sekolah

Haikal Fahrezi
Oke Kal|
Gue doain semoga Om Lukman cepet| sadar

Zaki Prastama
|Makasih Kal

Zaki mematikan data ponselnya kemudian memasukan benda pipih itu ke dalam tas lagi. "Zaki, kamu makan dulu ya dari semalam kamu belum makan?"

"Iya, Mah."

"Mau minta Om Doni temenin?" tawar Andari.

"Gak usah, Mah, aku bisa sendiri. Nanti aku juga sekalian mau ke masjid rumah sakit ya mau solat dhuha buat doain Papa."

Andari tersenyum. "Iya hati-hati ya sayang."

Zaki menyalami tangan Mamanya dan juga tangan Papanya walau tak ada respon sama sekali. Dengan langkah yang sedikit berat, Zaki keluar dari kamar rawat Papanya.

Papanya selalu mengajarkannya untuk menjadi laki-laki penyayang. Pada dirinya, keluarga, teman-temannya, juga orang yang pantas ia cintai.”

------


Kelas 12 IPA 1. Kelas yang katanya isinya anak-anak pinter, berprestasi yang paling berpengaruh di sekolah. Pendapat itu emang benar mesti tak selalu. Buktinya, di saat jam kosong seperti anak-anak IPA 1 bukannya mengerjakan tugas yang diberikan guru piket, mereka malah asik sendiri.

Pertama, ada circle cewek-cewek populer kelas IPA 1 yang menguasai bagian depan kelas. Duduk melingkar di lantai dengan tujuan agar acara ghibah mereka berjalan dengan lancar.

Kedua, circle laki-laki yang hobi main game di pojok kelas. Mengeluarkan segala sumpah serapahnya jika game yang mereka mainkan itu kalah. Kadang membuat circle cewek-cewek marah kalo mereka main game sambil ribut.

Yang ketiga adalah circle anak pinter nan tauladan. Circle yang hanya terdiri dari beberapa anak itu, hanya duduk di bangku masing-masing atau mereka membuat kelompok belajar untuk mengerjakan tugas yang diberikan guru. Nanti kalo sudah selesai, tugas circle-circle lain tinggal menyontek hasil garapan mereka.

"Lan, lo jadi pulang hari ini?" tanya Haikal yang baru masuk ke kelas dan duduk di samping Alan yang sibuk mengerjakan tugas.

"Iya, ntar pulang sekolah gue langsung. Makasih Kal, udah ijinin gue nginep di rumah lo beberapa hari ini."

Haikal menepuk bahu Alan sambil tersenyum. "Santai aja kali ah, kaya sama siapa. Gue seneng jadi ada temen ngobrol di rumah, lain kali nginep di rumah gue lagi ya," pintanya di akhiri tawa.

Alan ikut tertawa lalu melakukan gerakan hormat di depan Haikal. "Siap bos."

Ting!

Haikal merasakan ponselnya berdenting. Satu pesan masuk dari nomor tak di kenal membuatnya mengangkat satu alis.

"Kenapa Kal?" tanya Alan memperhatikan raut cowok itu.

"Ada nomor tak dikenal yang SMS gue."

"Emang SMS apa?" tanya Alan penasaran.

Haikal menghela napas panjang sebelum membacakan isi pesannya. "Selamat anda mendapatkan uang sebesar Rp 2.000.000. Silakan klaim hadiah anda dengan memasukan kode di bawah ini."

Detik itu juga tawa Alan pecah sekonyong-konyongnya. Ia kira Haikal dapat pesan apa karena ekspresi Haikal tadi memang seperti orang yang sedang menahan emosi. Oh, ternyata itu alesannya.

Ting!

Ting!

"Pesan apa lagi tuh? Hati-hati kalo kali ini dapet mobil gratis," goda Alan masih tertawa.

Haikal tetap membuka lagi ponselnya. Kali ini bukan nomer tak dikenal apalagi tagihan listrik, melainkan Zaki yang mengechatnya. Ia langsung membalas chat itu dan dibalas langsung oleh Zaki. Setelah melihat Zaki tidak lagi online, Haikal menutup ponselnya.

"Zaki gak berangkat lagi," ujar Haikal sebelum Alan bertanya.

"Zaki chat lo?"

Haikal mengangguk.

"Emang Om Lukman sakit apa sih?" tanya Alan.

"Gue gak tau pastinya sih tapi Zaki pernah bilang kalo Om Lukman punya riwayat jantung."

Alan terdiam, bahkan pulpennya sudah tak lagi ia pegang. "Semoga Om Lukman ceper sembuh, deh."

"Amin."

"Oh iya, Kal, switch role nya jadi kan?" tanya Alan memastikan. Pasalnya selama Alan tinggal di rumah Haikal, hari-hari mereka habiskan untuk membahas rencana itu.

"Jadilah, lusa kita beraksi."

"Sip."

Tos.

SAPTAOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz