6 - NARENDRA HAWARI

44 11 6
                                    

"Mampus gue."

Sepasang kaki yang dibalut sepatu hitam sempurna dengan kaos setinggi lutut berhenti tepat lima langkah lagi sampai di depan gerbang sekolah bertuliskan "SMA PALAPA"  yang baru saja tutup.

Raisa mengacak-acak rambutnya yang semakin berantakan. Ia bangun kesiangan pagi ini, membuatnya melupakan mandi, dandan, dan sarapan. Gadis itu sudah buru-buru berlari menuju sekolahnya yang hanya berjarak 500 meter, namun telat tetaplah telat.

Parahnya lagi, hari ini adalah hari Senin. Suara mic lapangan yang memandu berjalannya upacara bendera pagi ini membuat Raisa semakin keringat dingin. Ia benar-benar akan kena hukuman hari ini.

Suara roda yang menggelinding di atas aspal yang disertai jejakkan kaki merangsang indera pendengaran Raisa. Narendra berdiri di samping Raisa dengan napas yang tak beraturan.

"Lo telat juga?" Raisa melirik cowok di sampingnya.

"Hm, lo bisa liat sendiri," balas Naren seraya menenteng skateboardnya.

"Dzon, juga terlambat gak?" Raisa memutar tubuhnya untuk memastikan apa ucapannya memberi jawaban.

"Gak, dia udah berangkat dari subuh."

Raisa mengernyit. "Terus kenapa lo gak bareng dia?"

"Dia pasti gak mau lah."

"Kenapa?" Raisa makin penasaran.

Naren berdecak, terpojok dengan pertanyaan Raisa yang berkedok rasa kekepoan yang tinggi.

"Hei, kalian berdua!"

Suara lantang yang bersumber dari ketua satpam dengan seragam putih dan kulit coklat mengkilat menarik atensi kedua remaja itu.

"Kalian boleh masuk sekarang."

Dua remaja itu mengangguk. Raisa merasakan perasaan aneh sekarang, ia menatap sekitar. Sial, kenapa hari ini yang terlambat hanya mereka berdua?

------

Pria paruh baya itu, Rian Wiranto berdiri di ambang pintu rumah sambil menatap jeli ke ponsel di tangannya. Kentara sekali jika wajahnya yang mulai berkeriput itu sedang menahan marah. Dari semenjak Alan pergi les, anak itu tidak pulang semalam.

Jari besarnya menekan tiap huruf di atas keyboard penuh penekanan. Tak lama, ponsel di tangannya itu berpindah menempel di telinga kanannya.

"Saya gak mau tau, cari anak saya sekarang. Dia tidak pulang semalam. Dia les di Gama Group gedung B," begitu Rian menyelesaikan kalimatnya, telepon itu langsung ditutupnya.

Brag!

-----

"Jadi saya mau dihukum apa nih, Pak?" tanya Raisa.

Upacara sudah selesai sekitar lima menit yang lalu. Kini, Raisa dan Narendra sudah berada di ruang BK berhadapan dengan guru BK yang sedari tadi menatap mereka sebal.

"Kenapa kalian berdua bisa terlambat?" tanya Pak Kayang, tak mengindahkan pertanyaan Raisa sebelumnya.

Narendra melirik Raisa sekilas. "Pak Kayang, mau denger cerita saya dulu apa Raisa dulu?"

Pak Kayang menghela napas sabar. "Kamu dulu."

"Saya bangun kesiangan, Pak, gara-gara begadang nonton bola," tutur Narendra.

"Kalo kamu?" Pak Kayang melirik Raisa.

"Saya juga kesiangan, habis begadang nonton drakor, Pak."

Pak Kayang mengelus dahinya yang tampak mengkilat. "Anak jaman sekarang emang susah dibilangin, malem itu waktunya untuk tidur bukan untuk beraktivitas."

"Emang tidur bukan aktivitas, Pak?" sahut Raisa.

"Saya capek ngomong sama kamu, Raisa." Pak Kayang menyenderkan punggungnya di kepala kursi.

Raisa mencolek lengan Narendra yang membuat cowok itu langsung menoleh. "Lo gantian yang ngomong sama Pak Kayang, gih, dia katanya capek ngomong sama gue, mungkin kalo ngomong sama lo belum capek."

"Jadi kita mau dihukum apa, Pak?" tanya Narendra.

"Oh, jadi kalian mau dihukum?"

Raisa mencolek lengan Narendra lagi. "Jawab aja iya, biar gue bisa bolos pelajaran Kimia."

Narendra mendengus. "Kenapa gak lo aja sih yang ngomong langsung."

Plak!

Raisa refleks mengeplak bahu Narendra sampai meringis. "Lo lupa kalo Pak Kayang lagi capek ngomong sama gue?"

"Hus! Hus! Sudah sudah kenapa kalian berdua malah bisik-bisik?" Pak Kayang memasang tangannya di depan dada seperti orang ngambek.

"Hukum aja kita berdua, Pak," celetuk Raisa.

"Kalian berdua serius?"

"Iya, Pak, kita kan udah telat. Udah gak bisa ditolerir mending kasih hukum aja," lanjut Narendra menambahkan.

Pak Kayang menatap curiga dua sejoli itu. "Gak ah! Kalian berdua pasti mau bolos kan?"

Raisa menepuk dahinya sendiri. "Kok bapak sok tau?"

"Anak pinter kaya kalian berdua tuh emang banyak akal, makanya bapak gak mungkin bisa terkecoh. Udah sana, hari ini bapak lagi baik hati jadi gak ada hukuman buat kalian."

Narendra menopang dagu di kedua tangannya. "Yah kok gitu sih, Pak, kenapa baik hatinya gak besok aja sih?"

"Gak ada tawar menawar, sekarang kalian balik ke kelas, belajar yang bener."

"Oke deh, Pak, dengan terpaksa kita berdua kembali ke kelas," Raisa memasang raut sedih sambil menarik tali ranselnya ke bahu.

"Makasih buat kebaikan hatinya hari ini." Setelah Narendra mengucapkan itu, mereka berdua keluar dari ruang BK dengan raut gembira.

Ceklek.

Pintu BK sudah ditutup. Mereka melempar tas ke sembarang arah, melakukan celebrasi seperti atlet yang baru saja mendapat poin, mereka berdua bertos ria, akhirnya rencana mereka berhasil. "Akhirnya bebas dari hukuman," gumam Narendra bernapas lega.

"Hebat kan ide gue." Narendra mengangkat jempol menanggapi ucapan Raisa.

"Ya udah gue ke kelas duluan." Narendra meninggalkan Raisa, cowok itu membelok di tikungan menuju lantai dua. Di anak tangga terakhir, Narendra tak sengaja berpapasan dengan Dzon.

"Lo gak dihukum, Ren?" tanya Dzon. Ia tau kalo adiknya terlambat.

Narendra tak langsung menjawab, ada rasa canggung di hatinya. Semenjak obrolan di meja makan itu, entah kenapa Narendra merasa tidak enak dengan abangnya. "Gak, Bang, Pak Kayang lagi baik hati katanya makanya gak ada hukuman," jawab Narendra sekenanya.

Dzon hanya manggut-manggut. "Ya udah lo masuk kelas, gih, gue mau ke koperasi dulu. Lo belajar yang bener biar Papa Mama tambah bangga sama lo."

Oke, kalimat terakhir itu adalah sindiran.

“Sekarang kalau sudah begini mimpi siapa yang pantas diperjuangkan? Mimpinya atau mimpi abangnya yang harus dikorbankan?”

SAPTAWhere stories live. Discover now