2. Luka

98 17 42
                                    

Hai, ada yang nungguin? Buat nemenin malam minggu kamu nih

Jangan lupa vote komen hehe

HAPPY READING

2. LUKA

Gabriel menatap pantulan dirinya di cermin. Merapikan rambut yang sebenarnya sudah rapi, lalu beralih merapikan seragam sekolahnya, kemudian dasi. Ia tersenyum kecil pada dirinya sendiri. Setelah selesai dengan seragamnya, ia berbalik meraih ransel di ranjangnya, kemudian bergegas keluar dari kamar.

Gabriel tidak pernah sarapan sebelum berangkat sekolah. Selain Reni, Mama Gabriel memang tidak pernah membuatkan sarapan, ia juga tidak berniat. Biasanya Aileen selalu membawa sarapan dari rumahnya ke sekolah untuk Gabriel.

Langkah Gabriel terhenti di ruang tengah. Matanya terbelalak melihat Wawan, Papa Gabriel yang memandang dengan sorot mata tajam beserta sebuah kamera DSLR di tangannya. Di sebelah Wawan ada Reni.

Gabriel benar-benar tercengang, bagaimana bisa Wawan menemukan kamera yang selalu ia simpan di tempat tersembunyi di kamar? Ia menunduk ketika mendengar suara keras dari Wawan.

"INI APA, GABRIEL?" Wawan mengangkat kamera itu tinggi-tinggi.

Gabriel tidak berniat menjawab, karena bagaimana pun ia bertindak, akan selalu salah. Ia tidak mengerti benar jalan pikiran orang tuanya.

"UNTUK APA BENDA TIDAK BERGUNA INI?"

Bagi Wawan mungkin memang tidak berguna, karena kehidupannya tidak berhubungan dengan kamera. Namun, bagi Gabriel, kamera sangat berarti untuknya. Kamera membuat hidup Gabriel lebih berwarna.

"KAMU UDAH BERANI SAMA PAPA? KENAPA KAMU TIDAK PERNAH NGERTI MAU PAPA?!"

Gabriel hanya bisa mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh dengan kuat-kuat sambil memejamkan matanya.

Karena Papa mau Gabriel seperti Ariel, tapi Gabriel nggak bisa...

Reni yang berdiri di sebelah Wawan hanya menyaksikan. Tidak ada pembelaan untuk putranya.

Gabriel menyadari emosi Wawan yang semakin tidak terkendali karena napas Wawan yang tak beraturan dan naik turun dengan cepat terdengar di telinganya. Gabriel membuka mata, sebuah bayangan terlintas di pikirannya tentang apa yang akan Wawan lakukan.

Gabriel menggeleng saat melihat tangan Wawan yang memegang kamera kini terangkat. Dunia seolah menjadi lambat, jantung Gabriel berdetak tak karuan. Tidak, Wawan tidak boleh menghancurkan kamera Gabriel.

Pergerakan Gabriel untuk menyelamatkan kamera pun terasa lambat. Hingga suara kamera yang membentur keras ke lantai terdengar. Gabriel terkejut bukan main, begitu juga dengan Reni. Gabriel menganga, ia terlambat.

Hati Gabriel hancur berkeping-keping seketika. Namun tidak ada yang peduli. Bahkan Wawan dan Reni langsung pergi begitu saja.

Dunia Gabriel runtuh menatap kamera yang susah payah ia beli dengan tabungan sisa uang jajan bertahun-tahun, kini terbelah menjadi beberapa bagian.

Gabriel tersimpuh. Pundaknya bergetar perlahan, lama kelamaan bertambah cepat, disusul air mata yang lolos dari matanya. Hatinya benar-benar terasa sakit, sesak di dadanya semakin menyeruak seiring tangisannya.

Tangannya bergetar mengumpulkan bagian-bagian kamera yang terbelah. Menghancurkan kamera Gabriel sama dengan menghancurkannya.

Gabriel bahkan hampir tidak mengingat, kapan terakhir kali orang tuanya merasa bangga padanya. Semenjak Ariel benar-benar pergi, Gabriel merasa selalu dituntut menjadi seperti Ariel. aRIEL YANG CERD

PluviophileWhere stories live. Discover now