5. Flashback

35 9 0
                                    

Part ini mengandung bawang

HAPPY READING

5. FLASHBACK

"Ai, lo serius mau bantuin gue belajar?" tanya Gabriel sambil memainkan jemarinya, menatap Aileen yang baru saja kembali dari kamar dengan membawa tumpukan buku-buku di tangannya. 

Aileen duduk di sisi meja yang berbeda dengan Gabriel, mereka sedang berada di ruang tengah. Aileen mengajak Gabriel ke rumah untuk belajar bersama. Gabriel memang kurang dalam hampir semua pelajaran, makanya Aileen ingin sekali membantunya. 

"Serius dong, masa nggak?" balas Aileen.

"Ya, gue rasa percuma gue belajar. Nggak bakal ngerti nanti." Gabriel mengerucutkan bibirnya membuat Aileen terkikik gemas.

"Yang namanya proses itu tidak akan mengkhianati hasilnya, Gab.  Lo harus contoh para pahlawan, Gab, yang berjuang habis-habisan untuk mendapatkan kemerdekaan walau nyawa taruhannya. Masa lo nyerah sebelum perang?" 

"Tapi, gue sama para pahlawan beda, Ai. Mana bisa lo samain?" 

Aileen menghela napas mendengar jawaban Gabriel. Ia menepuk sekali pundak Gabriel, membuat lelaki itu sedikit tersentak. 

"Lo selalu gini, ya, Gab?" tanya Aileen.

"Gini gimana?"

"Selalu remehin diri sendiri."

Gabriel menunduk. "Gue emang payah, Ai. Gue nggak bisa apa-apa."

Tangan Aileen pindah posisi memegang tangan Gabriel. Kali ini Gabriel lebih terkejut. Ia mendongak refleks menatap Aileen. Degupan jantung Gabriel tidak bisa disembunyikan. Namun, ekspresi Gabriel justru seperti tidak apa-apa. Berbeda dengan hati Gabriel yang sedang tak karuan.

"Semakin lo remehin diri lo sendiri, semakin pula orang remehin lo, Gab. Di mata gue, lo itu punya potensi luar biasa yang nggak disadari orang lain, bahkan diri lo sendiri. Kuncinya cuma satu, lo harus ubah pola pikir lo. Berhenti nganggap diri lo payah, lemah, cupu, nggak bisa apa-apa.  Berhenti remehin diri lo sendiri. Lo harus yakin kalau lo punya kecerdasan yang luar biasa. Lo harus percaya diri sama apa yang lo jalanin. Lo nggak boleh gampang nyerah. Sekali pun orang lain mandang rendah lo, bukan berarti lo kaya yang mereka pikiran, kan?" 

Gabriel merasa ucapan Aileen barusan membuat jiwa Gabriel bergetar. Entah energi semangat darimana merasuki Gabriel. Mendadak ia merasa bahwa dirinya tidak sepayah itu. Seperti ada titik terang yang Gabriel temukan. 

"Pokoknya, lo udah bukan Gabriel yang lemah. Lo adalah Gabriel yang selalu punya harapan baru." Aileen mengukir senyuman manis miliknya. 

Gabriel seperti jantungnya dihantam berkali-kali. Ia merasa seolah dihipnotis Aileen. 

"Ai, makasih, ya. Ucapan lo benar-benar bikin gue merasa punya harapan baru. Gue pengin berusaha bikin orang tua gue bangga. Gue pengin jadi kaya Ariel supaya orang tua gue bahagia."

Aileen tersenyum tipis. "Gabriel, lo nggak harus jadi Ariel. Setiap orang itu nggak sama kepribadiannya, sekali pun kalian saudara kembar." Aileen menggenggam tangan Gabriel dengan tangan satunya lagi. Kali ini Gabriel meneguk saliva.

"Setiap orang punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Lo nggak harus jadi Ariel biar orang tua lo bangga. Gue yakin lo punya sisi kelebihan tersendiri yang bisa bikin orang tua lo bangga."

"Tapi mereka pengin gue kaya Ariel, Ai." Gabriel menghela napas.

"Maaf kalau kesannya gue ikut campur. Tapi menurut gue, lo harus tetap jadi diri sendiri. Tanpa perlu lo jadi orang lain. Gue yakin suatu saat orang tua lo akan sadar, kalau lo sama Ariel beda, nggak bisa disamain, apalagi nuntut lo jadi kaya Ariel. Mungkin emang saat ini mereka belum bisa lepasin Ariel."

PluviophileWhere stories live. Discover now