5. Eros dan tetangga baru

106 14 2
                                    

Happy reading!!

🌻

Pukul 11 malam, Eros menutup laptop serta bukunya. Ia meregangkan ototnya dan mengambil handphone yang sengaja ia taruh di nakas samping tempat tidur. Lalu menyalakan data internet yang sebelumnya memang ia matikan.

Tadi setelah makan malam, papinya larang Eros untuk pergi keluar padahal ia sudah berjanji pada anak-anak Alligator bahwa malam ini mereka akan nongkrong bersama. Tapi rencana itu harus ia telan bulat-bulat, karena kenyataannya sang papi yang memang sejak siang sudah pulang dari luar kota jelas melarang Eros.

Sam meminta Eros untuk masuk kamar dan belajar. Eros yang memang sejak dulu tidak bisa melawan tentu menurut tanpa banyak bantahan.

Ia menghela nafasnya pelan, saat membaca grupnya bersama anak-anak Alligator. Yang di mana, ternyata mereka tetap melanjutkan rencana walau tanpa dirinya. Walau sebelumnya ialah yang menyuruh, tapi tetap saja ia ingin ikut dan bergabung di sana.

Eros kembali mematikan handphonenya, ia menatap lurus ke depan. Menerka-nerka sampai kapan ia jadi robot sang papi? Sampai kapan hidupnya penuh aturan seperti ini? Sampai kapan ia ditekan untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik? Dan sampai kapan papinya tutup mata serta telinga dengan semua pencapaian Eros?

Ia lelah, sungguh. Menjadi anak semata wayang dari pengusaha sukses memanglah menyenangkan. Apalagi saat ini Eros sudah diberi beberapa aset oleh sang papi, belum lagi perusahaan besar yang sedang papinya jalankan itu juga akan turun untuknya. Namun, dibalik itu semua ada raga yang lelah. Ada batin yang nyaris menyerah.

Segala hal yang dipinta papinya sangat bertolak belakang dengan apa yang ia inginkan. Mungkin memang benar apa yang dilakukan papinya itu semata-mata untuk masa depannya. Tapi semakin lama, setelah Eros bisa mencapai semuanya. Ekspetasi sang papi pada dirinya juga semakin tinggi, yang di mana membuat Eros semakin hari semakin lelah.

Ia sudah mempertahankan juaranya, mengikuti berbagai olimpiade dan juga diakui bahwa ia murid tercerdas di sekolah. Tapi apa? Semua itu masih kurang di mata sang papi.

"Kalo kamu ada di sini, papi bakal tetep gini sama kakak gak ya de?" gumamnya.

Tangannya bergerak menarik laci kecil di meja belajarnya. Mengambil secarik kertas usang berisikan foto bayi mungil yang mengemut ibu jarinya.

Eros tersenyum sambil mengusap kertas itu, "Kamu di mana sekarang? Lagi apa? Oh iya, sekarang udah kelas sepuluh ya? Eh atau masih kelas sembilan?" tanyanya sendiri.

"De, kamu apa kabar? Kakak emang gak pernah ketemu kamu, tapi rasanya kakak sangat-sangat rindu kamu. Kapan ya kita bisa ketemu? Kapan kamu panggil kakak?"

Eros menghela nafasnya, "Kalo kamu ada di sini, mungkin kakak udah pergi dari rumah ini. Kakak akan bawa kamu ke tempat yang di mana gak ada papi."

"Kakak harus apa ya? Nurutin semua kemauan papi? Cape, de. Rasanya semua sia-sia, kakak gak pernah papi liat. Mau seberusaha apapun, kakak tetep kalah di mata papi."

Eros terus memperhatikan kertas foto itu, senyum juga tak hilang dari wajah tampannya.

Adik. Ya, foto adik kecilnya. Adik kecil yang tak Eros tahu di mana keberadaannya. Di saat dirinya nyaris menyerah karena segala tuntutan sang papi. Wajah polos adik kecil yang ada di kertas usang itu seolah menjadi pengemangatnya untuk kembali bangkit. Ia harus sukses seperti apa yang papinya inginkan, agar ia bisa lebih semangat dalam pencarian adiknya itu.

Iya, hingga ini Eros bertahan hanya untuk adiknya. Adik yang entah di mana keberadaannya dan bagaimana kondisinya.

"VENUS!! MAU KE MANA KAMU?!!"

Dunia ErosWhere stories live. Discover now