1

9K 536 19
                                    

"Bunda, Oliver boleh minta uang untuk beli buku tulis?" Tanya Oliber yang berjalan masuk ke dapur kemudian memeluk sang bunda dari belakang. Menghiruo aroma tubuh yang selau mapu membuatnya tenang ketika hari-harinya kacau.

"Loh bukannya buku tulis hadiah juara kelas Oliver kemarin masih banyak ya?" Tanya bunda Oliver bingung sembari mengalihkan perhatiannya yang semula sibuk membersihkan ikan mengarah pada putra bungsunya itu. Menatap tepat pada wajah kecil yang berseri-seri dengan rona merah sehabis bermain di luar.

"Iya bunda, tapi guru matematika oliver suruh pakai buku kotak-kotak, Oliver ga punya buku itu." Jelas Oliver sedetail mungkin seraya menatap bundanya penuh harap.

"Harganya mahal tidak? Kalau mahal sepertinya harus tunggu 3 hari lagi, kakak belum kirim uang kan? Gaji bunda juga turunnya masih seminggu lagi." Jelas bunda penuh pengertian agar anaknya tidak tersinggung. Berharap putra kecilnya ini bisa mengerti ketidakmampuan keluarganya, walaupun rasanya sangat kejam harus membuat anak kecil itu mengerti sedari dini.

"Tidak mahal bunda, cuma 4 ribu aja kok.
"

"Oalah.. Bunda kira sampai ratusan ribu.. Mau beli kapan? Butuh hari ini?"

"Iya, kalau bisa Oliver mau beli hari ini."

"Yaudah, kebetulan bunda nanti sore mau ke pasar di kota, nanti barengan aja ya?"

"Siap bundaa" ujar Oliver senang lalu mencium pipi sang bunda sebelum akhirnya beranjak dan meninggalkan sang bunda yang menatap nanar punggung putra bungsunya yang menghilang di balik pintu dapur.

"Huft.. Maafin bunda ya sayang.." Cicit bunda Oliver seraya kembali membersihkan ikan yang tadi sempat ia tinggalkan sejenak.

Masih ingat Oliver? Anak yang paling dewasa di antara teman-temannya. Sosok kakak untuk Gibran dan juga Noval. Anak yang sangat pintar dan membanggakan ibu dan kakaknya yang pergi merantau.

Oliver punya cita-cita yang besar, dia ingin menjadi pilot. Mengudarakan pesawat tinggi di angkasa mengelilingi dunia. Itu mimpi yang ia yakini tidak akan dapat ia capai.

Bunda Oliver pun tidak dapat membantu mencapai mimpi sebesar itu. Dengan uang yang ia dapatkan hasil menjadi buruh tani di ladang orang dan juga uang kiriman dari anak pertamanya yang merantau mencari kerja diluar kota pun masih sulit jika untuk melanjutkan pendidikan Oliver sampai ke perguruan tinggi.

"Bunda, tadi Oliver ketemu bu lurah waktu main. Dia ngasih mangga, katanya kebunnya lagi panen banyak jadi dia bagi-bagi ke tetangga." Ucap Oliver seraya membawa masuk sekantong penuh buah mangga dengan keringat yang bercucuran dan wajah yag memerah, kentara sehabis berlarian.

"Oliver jangan main lari larian nak. Panas loh di luar" peringat sang bunda sembari mengambil kantong kresek penuh mangga itu. Oliver pun hanya mengiyakan sebagai respon untuk sang bunda.

"wahh... banyak sekali mangganya. Kamu sudah bilang terimakasih?" Tanya bunda Oliver seraya mengambil satu buah mangga dari dalam kantong untuk dimakan dan sisanya ia letakkan di dalam kulkas.

"Sudah dong bunda. Oliver kan anak baiknya bundaa." Jawab Oliver lalu mendusel di tubuh bundanya. Sengaja menyeka peluhnya pada sang bunda.

"Iyadeh si paling anak bunda." Ucap Bunda Oliver lalu mengacak surai putra bungsunya itu. Tidak bisa marah meluhat tingkah gemas bungsunya itu.

"kapan mulai ulangannya Oliver?"

"kurang tau bun, mungkin bulan depan."

"Itu pakai libur tidak? Kalau pakai libur kita mau pergi ke tempat kakak." Ucap bunda Oliver seraya ikut duduk di depan televisi yang menayangkan dua film cacing kembar berbeda warna.

"Loh kakak ga pulang bun?" Tanya Oliver dan mulai berbaring dengan kepala yang ia baringkan di pangkuan bundanya.

"kita ada yang mau di urus di sana." Jawab bunda Oliver dengan senyum yang tampak ganjil di mata Oliver.

"Urusan apa bunda?"

"Oliver pengen lanjut sekolah kan? Oliver masih ingin menjadi pilot tidak?" Tanya Bunda Oliver yang dijawab anggukan ragu dari Oliver. Oliver tidak memutuskan pandangan matanya dari mata sang bunda. Firasatnya buruk.

"Kakak kemaren cerita sama bunda.." Bunda Oliver menggapai tangan Oliver lalu mengelusnya perlahan. "kakak bilang kalau dia ada tugas survei dari perusahaannya ke panti-panti asuhan tentang berapa persen orang-orang yang ingin mengadopsi anak dari suatu panti asuhan."

"Stop bun. Oliver ga mau dengar. Oliver ga mau di adopsi orang. Oliver cuma mau bunda. Oliver ga peduli apapun yang terjadi asalkan Oliver terus sama bunda." potong Oliver yang langsung mengerti kemana arah pembicaraan ini. Pembicaraan yang dirinya pun tidak tahu kenapa terus di bawa-bawa oleh sang bunda.

"Bunda please jangan buang Oliver.." lanjut Oliver dengan matanya yang sudah banjir air mata. Bocah itu sudah tidak berbaring lagi, ia duduk dengan meremas tangan sang bunda agar sang bunda memahami betapa ia tidak ingin dengan apapun tawaran bundanya itu.

Bunda Oliver segera menarik putranya ke dalam pelukannya dan sesegera mungkin menyangkal ucapan Oliver. "Bunda ga buang kamu sayang... bunda ga buang.. Bunda cuma pengen kamu hidup lebih baik. Bunda pengen kamu capai cita-cita kamu, jadi apapun yang kamu mau. Bunda ga mau lihat kamu sengsara kayak bunda juga."

"Oliver ga mau bunda! Walau demi apapun itu! Kalau bukan Bunda Oliver ga mau!" Teriak Oliver lalu melepaskan pelukan bundanya dan berlari keluar. Pergi ke tempat di mana ia sering menyendiri saat bundanya lagi-lagi mengungkit hal yang sama.

Pohon besar di tepi sungai yang dahannya sangat nyaman untuk diduduki berjam-jam. Tidak ada yang tahu tempat ini kecuali Oliver, bahkan Noval dan Gibran pun tidak.

Oliver sungguh tidak ingin tahu lagi tentang masa depannya. Ia hanya ingin masa depannya bersama bunda, menetap bersama bundanya hingga akhir hayat. Oliver sungguh tidak peduli jika ia akan sengsara ataupun tidak bisa makan dengan layak lagi, Oliver tidak peduli apapun yang terjadi asal ia bersama bundanya. Tapi kenapa bundanya sangat bersikeras ingin Oliver pergi? Oliver sungguh tidak suka.

10 tahun sudah ia hidup tanpa sosok ayah, dan kini satu-satunya cahaya hidup Oliver memintanya untuk pergi menggapai cahaya lain. Padahal di mata Oliver tidak ada yang lebih berarti dari bundanya.

Seandainya saja ayahnya masih ada, seandainya keluarganya tidak kekurangan uang, seandainya kakaknya tidak perlu pergi jauh untuk bekerja, seandainya saja Oliver bisa membanggakan bundanya bukan hanya karena ia juara kelas dan juara umum saja, seandainya Oliver sudah besar dan bukanlah anak kecil yang hanya bisa bergantung pada orang dewasa.

Oliver menangis dalam diam, air sungai yang mengalir juga seakan membawa pikirannya mengalir jauh pergi ke antah berantah. Angin sepoi yang sudah beberapa menit ini bertiup dan membuatnya menggigil tidak juga membuatnya ingin beranjak.

Oliver sadar hari sudah mulai sore, dan ia ingat ia harus pergi ke pasar bersama bundanya sore ini untuk membeli buku kotak-kotak matematika. Tapi tubuhnya tidak ingin bergerak.

Ah... jika begini ia akan di marahi guru matematikanya besok.

***

Haloo....

Masih ingat sama Oliver?

Oliver kini balik lagiii dengan alur yang aku usahain lebih baik dari sebelumnyaa.

Oh iya, kalau sebelumnya kan Oliver umurnya 14, yg artinya kelas 3 smp, ini aku ganti jadi 10 tahun aja, kira kira kelas 4 sd gitu. Aku ganti karena nanti bakal buat dia banyak di gendong aja... kelas 4 masih wajar kan di gendong?

Ya gitu dehh, happy reading yaa!

Oh No... [slow Up]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang