11.

4.2K 512 24
                                    

Oliver menangis tanpa henti, mobil yang membawanya sekarang berhenti di depan pintu besar mansion. Pria bertopeng biru di sebelahnya menatap Oliver yang masih menangis, bertumpu tangan untuk melihat apa yang akan Oliver lakukan. Oliver menaikkan pandangannya, melihat suasana sekitar saat di rasa mobil itu berhenti.

Pintu dari sisi si topeng biru terbuka, tapi si topeng biru berkata untuk tunggu sebentar.

Oliver bingung, pria itu ingin apa? Jika ingin membunuhnya kenapa sekarang tidak ada yang menahan dirinya atau menggeret dirinya pergi?

Dengan sedikit ragu, Oliver membuka pintu mobilnya. Menatap sekikas pada pria bertopeng biru itu lalu berlari kuat kearah manapun ia bisa berlari. Menyusuri jalan yang mungkin membawanya ke gerbang utama.

Tangan pria itu terkibas, lalu beberapa orang bertopeng hitam mengejar Oliver dan dengan cepat sudah menangkapnya.

"Lepasin! Lepasin! Lepasin!" Pekik Oliver sembari menggerakkan seluruh tubuhnya, memberontak, dan menghentak, tapi genggaman para pria itu tidak mengendor.

"Lakukan dengan cepat." Ucap pria bertopeng biru itu seraya berjalan masuk ke dalam mansion meninggalkan Oliver.

Oliver menatap tidak percaya, sebenarnya apa yang diinginkannya?

Belum selesai berfikir, sapu tangan yang sudah di beri obat tidur membekap Oliver, membuat Oliver mau tidak mau melemah dan hilang kesadaran.

Salah satu pria bertopeng emas mendekat, menggendong Oliver secara perlahan dan membawa bocah itu masuk ke kamar yang sudah di siapkan. Seorang dokter yang memang sudah stand by pun mengikuti pria itu.

Dokter itu mulai membuka semua baju Oliver untuk mengecek, betapa terkejutnya dua pria dewasa di sana saat melihat tubuh Oliver penuh lebam biru keunguan di mana-mana. Tangannya yang terbalut perban pun sudah di buka dan menampakkan tangan kecil yang terdapat luka gesekan besar. Pada kakinya pun terdapat jejak darah di mana mana dan luka tergores bekas terinjak batu dan ranting. Luka yang belum mengering.

Pria itu mulai melakukan pengobatannya, mulai dari pembersihan, pengolesan luka, menginfus, sampai menyiapkan obat yang di perlukan. Begitu selesai, dokter itu segera undur diri untuk melapor dan pulang.

Pria dengan topeng emas itu menatap Oliver miris. Memilih memasangkan Oliver kaos kaki lalu merapatkan selimutnya dan pergi keluar.

"Semua selesai, tuan." Ucap si topeng emas begitu menghadap ke topeng biru, melapor semua hal yang di minta.

"Data-datanya?" pinta pria itu dan si topeng emas langsung memberikan map yang memang sudah ia pegang.

"Keluarganya orang Indonesia?" Tanya pria itu sedikit terkejut, si topeng emas mengangguk membenarkan. Si topeng biru sedikit terkejut, pasalnya ia tidak mengira bocah sekecil itu akan terombang ambing dari satu negara ke negara yang lain dalam kurun waktu yang singkat dengan keadaan mengenaskan.

Jebrael namanya, Jebrael Bille Mortafeso. Generasi ke-lima yang mengatur organisasi bawah tanahnya. Sedikit tempramen, sekalinya marah, ntah apa yang akan terjadi.

"Bagaimana anak itu?" Tanya Jebrael sembari menutup berkas yang ia baca.

"Masih tertidur tuan." Jawab si topeng emas dengan sopan.

"Siapkan makan siang." Tanpa menjawab lagi, topeng emas itu langsung undur diri.

Sedangkan di sisi lain, Oliver kembali mengerjap. Menatap langit-langit yang tampak sangat menawan. Matanya ia bawa untuk melihat keliling ruangan, sebuah kamar yang sangat elegan. Berwarna cream dan putih, dengan gorden gorden tinggi yang menjuntai menghiasi sisi jendela. Satu gorden dengan tambahan tirai transparan pun turut tergantung di atas kepala Oliver, membuat bentuk seperti tenda.

Tapi Oliver tidak senang, air matanya kembali mengalir. Apa yang akan terjadi pada dirinya?

Oliver ingin bangkit, tapi seluruh tubuhnya terasa sakit, tangan yang di infus pun membuatnya tidak leluasa akibat rasa kebas yang menyergap tangannya. Beberapa bagian di tubuhnya pun turut di perban, jadi rasanya sangat tidak nyaman.

Pintu kamar terbuka, menampilkan sosok Jebrael yang tidak lagi memakai topengnya. Oliver terkejut, dan semakin ketakutan. Wajahnya sangat tegas dengan rahang tajam dan mata yang menatap datar. Ada tato juga yang tampak menjalar di dekat lehernya, menjalar sampai ke lengannya.

Jebrael hanya diam, begitu juga Oliver yang waspada. Mencengkram erat selimut yang di pakainya.

"Apa sudah baikan?" Tanya Jebrael seraya berjalan mendekat. Oliver tidak menjawab, semakin menyembunyikan wajahnya di balik selimut.

Jebrael mengarahkan tangannya ke pucuk kepala Oliver untuk mengelusnya pelan.

"Jangan takut." Ucapnya. Tapi Oliver tidak bergeming, bergetar takut dan mendorong pelan tangan Jebrael agar menjauh dari dirinya.

"Aku punya penawaran." Ucap Jebrael memancing, tapi tetap sama, Oliver tidak menunjukkan respon apapun.

"Aku rasa ini penawaran yang cukup bagus, aku ingin menjadi ayahmu. Dan kau, mau tidak mau, akan menjadi anakku. Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan, kabur, memberontak, atau apalah, kau akan selalu kembali ke sini, kau akan tetap menjadi milikku." Ucap Jebrael tegas, Oliver pun sudah terbelalak di balik selimutnya. Dan Jebrael kembali meninggalkan dirinya sendiri.

Sebenarnya apa ini? Adopsi lagi? Oliver takut, Oliver muak, Oliver tidak mau lagi masuk ke dalam jebakan yang nanti akan melukainya. Oliver tidak mau percaya pada pria itu.

"Permisi tuan, ini sudah saatnya anda makan siang dan minum obat." Ucap salah satu maid yang masuk ke dalam kamarnya seraya mendorong troli makanan.

Oliver menatap maid itu terkejut, dan lagi menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

"Tuan muda, anda bisa sesak nafas jika seperti itu." Tapi Oliver tidak bergeming, mengacuhkan maid itu. Maid itu pun tidak bisa berbuat banyak, hanya meletakkan makanan Oliver di meja kecil di sebelah kasur lalu kembali undur diri.

Oliver mengintip, kamar ini sudah kosong kembali, membuat Oliver bernafas lega. Matanya melirik pada makanan yang ada di atas meja. Semacam makanan yang tidak pernah Oliver lihat, Oliver pun ragu untuk makan, tapi perutnya sudah sangat lapar, ntah kapan terakhir kali Oliver makan.

Oliver makan dengan lahap, memakan mie yang di beri keju dan juga saus tomat di sana. Tidak buruk, tapi Oliver tetap melahapnya sampai habis untuk mengisi perut kosongnya. Di meja kecil itu pun ada susu yang masih hangat, jadi Oliver meminumnya sampai tandas dan sedikit bersendawa.

Pintu kembali terbuka, dan itu menampakkan sosok Jebrael yang membawa makan siangnya ke kamar Oliver.

"Oh, makan siangmu sudah habis? Aku berencana untuk makan bersamamu, tapi sepertinya aku sedikit terlambat." Ucap Jebrael lalu duduk di sofa yang ada di kamar tersebut. Maid pun menghidangkan makan siang Jebrael di meja yang ada di sana. Daging dengan salad dan juga kopi hitam menemaninya.

Oliver hanya menatap Jebrael lekat, tidak tahu harus berekspresi apa. Tapi sebelum Jebrael mulai makan, Jebrael menggapai satu sapu tangan dan mendekat pada Oliver.

"Makanmu berantakan, apakah ini lucu atau aku harus mengajarimu makan dengan baik?" Tanya Jebrael seraya menyeka pelan bibir Oliver. Oliver terkejut, dengan segera mendorong Jebrael dan kembali menyeka mulutnya yabg telah bersih dengan lengan piyamanya, sedikit shock.

Jebrael terkekeh, lalu mulai memakan makan siangnya.

Oh No... [slow Up]Where stories live. Discover now