14.

3.2K 503 18
                                    

Oliver terbangun saat lagi lagi di mimpinya hadir orang-orang yang berada di pelabuhan, bahkan Oliver ingat dengan jelas wajah orang yang sempat memukulnya. Pria itu hadir di mimpi Oliver.

Begitu merasa lebih tenang dan nafasnya lebih teratur, Oliver memperhatikan kamarnya. Tidak ada siapapun, ruangannya pun tampak temaram karena tidak ada lampu yang hidup kecuali lampu tidur kecil yang memancarkan sinar kuningnya.

Oliver menghela nafas, memilih untuk bangkit dari duduknya dan melihat pemandangan di luar jendela. Oliver sedikit penasaran.

Inginnya Oliver membuka jendela itu, tapi Oluver tidak tau caranya. Jadi dengan tiang infus di sebelahnya, Oliver berdiri menatap pemandangan di luar lamat-lamat. Mansion ini punya taman yang indah, Oliver dapat melihat beberapa bunga yang mekar, serta ada kolam ikan yang sangat bagus. Oliver tebak bundanya akan senang melihat taman itu.

Mengingat bundanya, Oliver lagi lagi merasa hatinya tercubit. Ia sedikit belum bisa terima kenyataan bahwa sang ibu benar menjualnya. Pasti yang Bunda Oliver tahu sekarang Oliver sedang hidup senang bersama pria yang di panggilnya Daddy saat itu. Padahal Oliver saja tidak tahu bersama siapa sekarang. Yang dia tahu, mungkin Oliver bisa sedikit percaya pada orang yang menyuruhnya untuk memanggil papa itu. Karena orang itu mengenal keluarga Gibran, dan Gibran tidak ada tanda tanda terluka sedikutpun. Jadi Oliver sedikit percaya bahwa dirinya akan aman.

"Uhuk uhuk!" Batuk Oliver sembari menatap ke arah bulan, bergantian setelah lamat menatap kolam ikan.

"Oliverrr" Pekik suara yang Oliver kenal adalah milik Gibran. Panggilan Gibran membuat Oliver yang masih terbatuk menoleh, kemudian menatap Gibran dengan sumringah.

"Gibran!" Pekiknya juga lalu menerima pelukan Gibran di tubuhnya. Perasaan lega turut hinggap di hati Oliver, perasaan yang semakin memperkuat spekulasi bahwa dirinya akan aman nanti.

"Tenggorokannya udah ga sakit?" Tanya Gibran dan menyentuh dahi Oliver yang sedikit hangat. Oliver yang menerima perlakuan itu pun hanya menggeleng sebagai jawaban, menikmati afeksi yang diberikan Gibran.

"Ga lagi, cuma agak serak. Kenapa kesini? Kenapa ga tidur? Nanti di marahin?" Tanya Oliver bingung, mengingat ia juga di paksa tidur oleh Jebrael sebelumnya.

"Gibran ga mau tidur, jadi tadi pura-pura tidur dulu sebelum kesini."

"Oh gitu. Aku pengen kesitu deh, tapi kalau ketahuan pasti di marah. Aku ga mau di marah." Ucap Oliver seraya menunjuk kolam ikan yang ada di sebelah gazebo besar. Gazebo itu memiliki ayunan dan di kelilingi tumbuhan pula, serta ada tanaman strawberry di sekitarnya dan juga beberapa bunga bermekaran yag tadi juga Oliver perhatikan.

"Kalau gitu ayo ke situ!" Ajak Gibran dengan mata berbinar.

"Tapi nanti di marah?" Tanya Oliver ragu. Oliver takut nanti dirinya akan mendapat pukulan lagi seperti di pelabuhan jika dirinya membangkang, Oliver takut.

"Ga bakal di marah kalau ga ketahuan kan?" Tanya Gibran meyakinkan. Mata Oliver yang semulanya redup sekarang binarnya perlahan kembali, mengangguk yakin pada Gibran dan memegang tangan gibran di satu sisi dan tiang infus di sisi lainnya. Oliver tidak gila untuk serta merta mencabut jarum infusnya, sangat sakit rasanya.

Merasakan tangan hangat milik Gibran yang ia genggam, Oliver kembali merasakan perasaan aman dan lega. Perasaan yang sempat hilang untuk beberapa waktu ini.

"Oliver jangan ribut tapi ya?" Ucap Gibran sembari menyodorkan jari kelingkingnya dan di sambut baik oleh Oliver dengan anggukan mantap. sebelum keluar Gibran membuka lemari yang ada di sana guna mencari jaket, sedangkan Oliver memperhatikan apa yang dilakukan anak itu.

Perlakuan Gibran membuat Oliver sedikit terkejut, pasalnya sekarang ia merasa menjadi adik kecil untuk Gibran. Padahal sebelumnya Oliver adalah figur seorang kakak di antara Noval dan Gibran.

Mereka berjalan pelan, sedikit mengendap-endap berharap tidak ada yang memperhatikan. Tapi semua mata bodyguard Jebrael yang mereka lewati memperhatikan mereka, salah satunya melapor pada tuan besarnya.

"Oliver kuat turun tangga? Kalau pakai lift, takut ketahuan." Ucap Gibran yang kontan di jawab anggukan oleh Oliver. Tidak mungkin Oliver berkata tidak kuat saat Gibran sudah bela-belain menuruti keinginan Oliver.

Gibran membantu membawa tiang infus milik Oliver, perlahan-lahan mereka menuruni tangga. Dua bodyguard yang melihat itu langsung berinisiatif membantu, menggendong Oliver dan Gibran sampai ke lantai satu. Oliver awalnya panik dan terkejut, tapi melihat Gibran yang perlahan tenang membuat Oliver juga ikut menenangkan dirinya.

Gibran kembali memegang tangan Oliver, dan kembali lanjut berkeliling.

"Oliver, tapi Gibran ga tau pintu ke belakang itu dimana."

"Gapapa, kita keliling aja dulu." Ucap Oliver seraya menggeret tiang infusnya.

"Bener ya? Atau kita cari dapur dulu buat minum?" Tanya Gibran sekali lagi meyakinkan Oliver.

"Ga usah, aku ga haus kok." Ucap Oliver setelahnya terbatuk kecil. Ia tidak ingin membuang waktu hanya demi minum, nanti yang ada ia tidak bisa melihat kolam ikan itu kalau mencari dapur lebih dulu.

"Yaudah deh, ayok." Ucap Gibran lagi seraya lanjut berjalan tak tentu arah menelusuri lorong lorong yang menghubungkan satu ruangan dengan ruangan lainnya diikuti Oliver yang terus mengekor.

Jebrael, Matthew dan Volta bukannya tidak tahu, mereka sudah tahu dari bodyguard yang melapor, tapi memutuskan untuk mengawasi apa yang akan mereka lakukan.

Kurang lebih sepuluh menit berjalan, mereka menemukan pintu kaca yang mengarah keluar. Di luar pintu itu ada teras yang bernuansa kayu kayuan, rata rata berwarna cokelat dengan tanaman yang melilit tiangnya.

"Ayo Oliver, pintu keluarnya udah ketemu." Ucap Gibran semangat, Oliver hanya mengangguk kecil dan menurut.

Mendekati pintu kaca itu, mereka berdua mencoba membukanya tapi sulit. Pintunya terkunci, kuncinya tergantung di lubang kuncinya, tapi sangat keras untuk di buka. Di tambah mereka sulit mengerahkan tenaganya karena tinggi gagang itu seleher mereka.

"Oliver, kita harus cepat tumbuh besar biar mudah buka pintu kayak gini." Ucap Gibran setelah mengerahkan banyak tenaga untuk membuka pintu itu tapi tidak juga terbuka. Oliver hanya tertawa kecil untuk merespon Gibran.

Satu bodyguard mendekat, dengan sekali putar membantu mereka membuka pintu itu. Dan pintu itu terbuka tanpa membuat bodyguard itu tampak kesulitan. Membuka pintu itu mudah, tidak sesulit yang tadi di lakukan Gibran. Tapi itu adalah ulah Volta yang mengotak atik kunci elektronik itu dari laptopnya.

"kita beneran harus cepat cepat tumbuh besar ya." Ucap Oliver setelah melewati pintu itu. Menatap takjub pada tanaman yang meliliti tiang pondasi itu.

"Eh Oliver, tinggi siapa? Gibran apa Oliver?" Tanya Gibran menghentikan langkah Oliver.

"Tinggi aku." Jawab Oliver percaya diri sembari menegakkan tubuhnya. Gibran mencebik tidak percaya dan berdiri di samping Oliver. Benar saja, Oliver lebih tinggi beberapa senti dari Gibran.

"Ihh cuma segini ya!" Ucap Gibran seraya menunjukkan seberapa tipis perbedaan tinggi mereka.

"Intinya masih tinggi aku." Sahut Oliver di selingi tawanya. Jebrael yang melihat tawa itu merasa sedikit merinding. Ia tidak menyangka senyum tawa Oliver begitu menyenagkan untuk di tatap, memberikan secerca rasa bahagia yang juga menular pada diri Jebrael.

"nanti Gibran bisa tumbuh lebih tinggi ya!"

"Iya iya! Makanya kamu banyak banyak makan sayur." Peringat Oliver mengingat kebiasaan Gibran yang sulit makan sayur.

"suka suka Gibran mau makan apa ya!"

"Terserah kamu deh." Ucap Oliver mengalah dan terkekeh kecil.

Oliver duduk di pinggir kolam, menatap ikan yang berenang bebas di dalam air, begitu pula Gibran yang duduk di sebelahnya dan sudah mencemplungkan tangannya ke dalam air seraya menggoyang goyangkannya membuat ikan-ikan itu takut.

"Ih Gibran! Jangan di gituin! Ikannya takut tau!" Pekik Oliver seraya mencoba menarik tangan Gibran keluar.

"Ih Gibran tuh pengen pegang ikannya tau!"

"Ya tapi jangan di kobok kobok dong!" Marah Oliver dan menahan tangan Gibran yang akan ia masukkan ke dalam air lagi.

"Kalian anak nakal rupanya." Ucap seseorang yang sudah puas memperhatikan ulah mereka berdua dari kejauhan, Kheno dan Matthew.

Oh No... [slow Up]Where stories live. Discover now