Bab 2

3.3K 323 204
                                    

Besoknya, pagi-pagi sekali saya dihubungi sekretaris Pak Wis. Katanya Pak Wis sudah me-review proposal film yang saya ajukan dan menunggu kedatangan saya jam sepuluh siang.

Melihat jadwal Pak Wis yang supersibuk, saya kira akan memakan waktu seminggu hingga sebulan untuk mendapatkan jawaban. Saya senang bukan main sampai salah memasukkan jarum gesper ke lubang ikat pinggang. Rambut saya tata serapi mungkin.

Naik KRL dua kali, saya tiba di kantor Pak Wis di daerah Sudirman, Jakarta Pusat. Lima belas menit sebelum jam janji. Titip KTP di resepsionis dan naik ke lantai dua puluh tiga. Saat pintu lift terbuka, langsung disambut koridor kantor berkonsep industrial minimalis, didominasi warna hitam. Ada aroma green tea yang mengambang.

Saya diminta duduk menunggu di ruang tunggu tamu CEO. Kurang lebih sepuluh menit, tepat pada pukul sepuluh, pintu menuju ruang kantor pribadinya terbuka, menunjukkan betapa tepat waktu seorang Shouki Wisanggeni.

Saya diminta masuk ke dalam ruangan. Pak Wis tidak langsung menatap saya. Ia bersetelan jas lengkap, rambut disisir klimis. Saya yang sutradara terbiasa menilai dari sudut pandang estetika. Jadi, izinkan saya mengapresiasi lebih lama wajah dan postur menawannya sebagai petinggi. Pak Wis duduk di balik mejanya, berkas-berkas di tangannya (dan ternyata itu proposal yang saya kirimkan), kemudian menatap saya dengan senyum tipis.

"Selamat siang, Rayyan Nareswara."

Saya mengangguk, tersenyum. "Selamat siang, Pak Wisanggeni. Terima kasih undangannya."

Dia berdiri, berjalan ke sofa tamu di seberangnya, mempersilakan saya duduk.

Saya duduk di sofa baru tiga detik. Pak Wis sudah duduk di sofa seberang saya dengan berkata, "Oke, langsung saja, mari kita bahas perjanjian kerja kita."

Tak mau ada waktu terbuang. Pak Wis yang ada di kantor berbeda dengan Pak Wis yang bergaya lebih kasual di taman kemarin. Saya akan lebih berhati-hati dalam bersikap.

Selagi Pak Wis membuka-buka dengan cepat lembaran proposal yang saya kirimkan, saya mengeluarkan sehelai saputangan miliknya yang sudah dicuci. Saya letakkan di meja tanpa suara.

"Saya suka proposal filmmu," katanya.

"Terima kasih, Pak."

"Ceritanya unik, bagus. Tinggal eksekusi aja."

Saya mengangguk.

Dengan gerakan cepat, Pak Wis melemparkan proposal saya ke meja, mendarat tepat di atas saputangannya. Dia mengambil dokumen lainnya, agreement, yang disediakan oleh sekretaris.

"Saya kirim beberapa proposal film. Mana yang diterima?" tanya saya.

"Tebak mana yang saya suka?" Dia menatap saya tepat di mata.

Saya menatap balik mata itu secara tajam, memandangi proposal saya di meja, lalu menatapnya lagi.

"Semuanya," kata saya (percaya diri atau terlalu fearless, terserah).

Pak Wis membalas tatapan saya tak kalah serius. Saya coba mengukur seberapa dalam bola matanya yang gelap.

Lalu, Pak Wis terkekeh berat. "Betul," katanya. "Kamu pintar, ya."

....

Saya yang kaget sampai ternganga sedikit. Oke, cool, Rayyan. Saya sebenarnya ingin salto ke depan dan mencium tanah saking senangnya. Saya berdeham pelan.

Pak Wis membuka lembaran agreement, lalu meletakkannya di meja, memperlihatkannya pada saya.

"Di sini tertulis bahwa saya mau sponsori semua film di proposalmu. Durasi pengerjaan sampai proyek film selesai. Kamu bisa pilih peralatan terbaik, kru produksi terbaik. Semua bisa saya bantu siapkan."

ONLY FAN (MxM, R21) ✔Where stories live. Discover now