Bab 7

2.7K 272 112
                                    

┏━━━━━━━━━━━━━━━┓

Note:

Bab ini panjang. Selamat menikmati!

┗━━━━━━━━━━━━━━━┛


Acara jumpa pers peluncuran Aroma Langit dan pemutaran perdananya digelar di salah satu bioskop mal di kawasan Jakarta Pusat. Setelah ini, film pendek saya juga akan ditayangkan di beberapa festival film.

Saya agak kagok sebenarnya. Ini pertama kalinya film pendek saya bisa masuk bioskop. Saya hadir dalam balutan jas biru tua dan tampilan klimis. Kebetulan sekali poster film Aroma Langit didesain dengan latar serbabiru. Penampilan saya akan tampak estetik saat difoto di depan kover film. Teman-teman dari media pun setuju, memfoto saya di depan poster tersebut. Saya diwawancara. Dari mana datangnya ide untuk film ini? Mengapa membuat film ini? Bagaimana film pendek saya bisa dibintangi aktor seterkenal Luka Lawana dan punya tim produksi mahal? Kenapa saya berani membuat film seni yang mengusung tema tabu untuk diputar di bioskop ramai, padahal pasarnya mungkin sedikit? Tak takut rugi?

"Bagi saya, harus ada film yang mendobrak estetika dan punya inovasi bercerita. Harus ada produser dan sutradara yang berani untuk itu. Tak bisa film dibatasi dengan tema dan gaya," jawab saya.

"Untuk film dengan tema yang digarap Pak Rayyan ini biasanya sulit dapat pemodal. Sementara film Aroma Langit ini berhasil mendapat kucuran dana besar dari private investor, ya. Padahal ini cuma film pendek."

"Cuma film pendek?" Alis mata saya terangkat. "Wah, kalau rekan-rekan media menilai sebuah film, bagaimana pun bentuknya, dengan kata 'cuma', saya dan sineas kecil lainnya akan merasa dikerdilkan." Saya tertawa rendah. "Mengingat ada angel investor sekelas Pak Shouki Wisanggeni menjadi sponsor film ini. Kita perlu berhati-hati bicara karena Beliau tak mungkin sembarangan memberikan suntikan dana besar 'cuma' untuk film pendek. Beliau adalah seseorang dengan visi terbuka yang mendanai film ini karena sependapat dengan saya, bahwa film dengan genre bebas seperti ini diperlukan agar industri film tanah air lebih sehat."

"Maaf, Pak Rayyan." Orang yang mewawancarai saya agak memerah mukanya. "Kalau begitu saya penasaran kenapa Pak Wis enggak bisa hadir di acara premiere malam ini."

"Beliau mungkin sibuk. Saya juga berharap beliau bisa datang menonton film pendek yang ia sponsori."

Pak Wis masih belum bisa dihubungi sampai hari H gala premiere film saya. Pesan WhatsApp saya dibaca tanpa balasan. Jujur saya kecewa karena tak bisa melihat pria itu hadir.

Yang datang ke acara pemutaran perdana sangat ramai dari kalangan jurnalis, penikmat, hingga kritikus film. Tim produser saya memang tak pernah setengah-setengah pada masa promosi ini. Saya berdiri di barisan terbawah kursi studio untuk melihat orang-orang yang menonton film pendek saya, kagum dengan jumlahnya.

Lalu, saya melihatnya. 

Seorang pria duduk di barisan paling atas di belakang, di antara jurnalis dari berbagai media. Mungkin karena ini film saya, mata saya jadi awas mengenali para hadirin yang datang menonton. Tatapan saya langsung tertuju pada pria ini yang berpenampilan anak muda—topi, kaus dalam, kemeja flanel, dan ripped jeans. Poninya turun dan rambutnya acak. Tak ada yang mengenalinya, kecuali mungkin saya, yang sudah menunggu kedatangannya.

Ketika lampu studio dimatikan dan film berputar, saya memperhatikan reaksi si penonton misterius di barisan paling atas. Saya tersenyum melihatnya menonton begitu serius, seolah sedang terpesona dengan karya saya.

ONLY FAN (MxM, R21) ✔Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin