Bab 🕙

13.9K 1.1K 17
                                    

"Meng mau jadi pacar Gue ga?" membungkukkan badannya sedikit lalu melihat kucing tersebut terlihat waspada padanya dengan tangan yang di acungkan ke depan sebelah, kaki sebelahnya juga terangkat serta tatapan matanya yang melihat ke arahnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Meng mau jadi pacar Gue ga?" membungkukkan badannya sedikit lalu melihat kucing tersebut terlihat waspada padanya dengan tangan yang di acungkan ke depan sebelah, kaki sebelahnya juga terangkat serta tatapan matanya yang melihat ke arahnya.

"Meng mau jadi pacar Gue ga?" membungkukkan badannya sedikit lalu melihat kucing tersebut terlihat waspada padanya dengan tangan yang di acungkan ke depan sebelah, kaki sebelahnya juga terangkat serta tatapan matanya yang melihat ke arahnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Vino terkekeh sebentar. Bukannya dijadikan pacar, malahan Vino yang akan dijadikan babu oleh kucing ini.

"Meng, mau jadi tuan gue ga?" Vino memperbaiki kalimatnya.

Vino saat ini berada di kafe dan secara tidak sengaja melihat kucing yang berdiri di atas meja. Tanpa ragu, Vino mendekatinya. Kucing tersebut berwarna putih, bulunya terlihat halus, tapi kucing ini terlihat waspada, mirip seseorang.

Vino sudah meminta izin kepada Daddy-nya, yaitu Grio. Dia juga sudah mengganti seragamnya. Vino berjanji ia akan pulang lebih awal dan tidak membuat keributan di luar atau sampai membuat keluarganya malu.

Inilah sebabnya Vino meminta motor pada Grio agar dirinya leluasa untuk pergi sendiri keluar. Dia juga butuh udara segar.

Vino mengelus bulu halus sang kucing yang mulai memudarkan kewaspadaannya. Vino menaiki motornya saat melihat jam mulai menunjukkan pukul 7 malam. Saat sedang mengendarai motornya dan memangku kucingnya, matanya tidak sengaja menangkap seseorang yang sedang berbaring dengan berlumuran darah di sisi jalan.

Vino segera menghentikan motornya. Ia tidak langsung mendekat, siapa tahu darah itu palsu. Vino melihat sekitar dan merasa aman. Ia turun dari motornya sambil masih menggendong kucing barunya.

Vino mendekat ke arah pria yang sudah sekarat itu. Ia menatap prihatin pria yang ada di hadapannya ini.

"Meong."

"Meong."

Kucing barunya terus mengeong. Vino mengelus bulu halus kucingnya lagi.

"Gue tau," ucap Vino.

Pria yang sekarat tersebut mempertajam pandangannya, tapi ia tidak bisa melakukannya. Pandangannya buram, yang ia lihat hanya seseorang yang sedang memangku kucingnya dan orang tersebut sedang melakukan sesuatu pada lukanya.

"Sudah selesai," ucap Vino lega. Untung saja Vino melakukan pertolongan pertama agar darahnya tidak mengalir terus menerus. Vino mungkin sudah mencegahnya, tapi tetap saja pria ini harus dibawa ke rumah sakit.

Vino mengacak rambutnya. Jika dirinya membawanya ke rumah sakit, dapat dipastikan ia akan terlambat pulang ke Mansion, padahal ia sudah berjanji untuk pulang lebih cepat sebelum pukul 8.

Tapi Vino tidak tega meninggalkannya yang sedang sekarat seperti ini. Persetan dengan hukumannya nanti, yang penting pria ini aman.

"Meng, diem dulu bentar ya," ucap Vino sambil melepaskannya ke bawah.

Vino mulai mengangkat lengan pria yang terduduk itu. Lengan pria tersebut ia simpan di sebelah pundaknya. Vino merasa pundaknya berat sebelah karena pria ini lebih tinggi darinya.

Vino membawanya ke arah motornya. Vino ingin mendudukkan pria tersebut di jok belakangnya, tapi ia takut jika pria yang sedang sekarat ini terjungkal dan jatuh dari motornya, membuat keadaan semakin parah.

Vino lantas menoleh ke belakang, menatap sekitar, berharap ada sesuatu yang bisa mengikat dirinya dengan pria yang berada di sebelahnya ini. Vino menemukan yang ia cari. Lantas saja Vino mendudukkan pria yang digendongnya ini ke bawah, lalu berjalan ke arah tali yang tergeletak di tanah.

Vino mendekat kembali, lalu mengangkat kembali dan mendudukkannya di jok belakang sambil memegangnya. Vino juga langsung duduk di bagian depan, lalu mengikat dirinya dengan pria yang ada di belakangnya agar ia tidak terjatuh. Vino terus memegangnya sambil mengikatnya. Kucing yang Vino angkat jadi tuannya pun mulai naik di depan, membuat Vino terkekeh. Kucing ini tanpa disuruh pun langsung naik.

Melihat motor yang melaju perlahan masuk ke rumah sakit, sang satpam langsung membantu Vino menurunkan orang yang sedang diikat di belakang, bersama dengan orang yang ada di depan.

"Terima kasih, Pak," ucap Vino, merasa lega bahwa mereka sudah sampai di rumah sakit. Untung saja Pak satpam membantunya, jika tidak, Vino akan kesulitan lagi dalam menurunkannya.

"Biar saya panggilkan suster agar membawa brankar ke sini," kata pak satpam Vino lantas menganggukkan kepalanya. Sang satpam pun pergi ke dalam rumah sakit.

Satpam itu kembali dengan beberapa orang yang mendorong brankar. Vino membantu menidurkan pria yang telah ia tolong dengan bantuan beberapa orang lainnya.

Di dalam ruang Rawat, lampu menyala. Pria yang Vino tolong sedang ditangani oleh sang dokter. Setelah satu jam, sang dokter keluar dari ruang operasi. Vino yang sejak tadi berdiri mendekat kepadanya.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Vino kepada sang dokter.

"Apa Anda keluarga dari pasien?" balas sang dokter dengan bertanya.

Vino menggelengkan kepalanya, menandakan bahwa ia bukan bagian dari keluarga pasien. Sang dokter mengerti dan mulai menjelaskan keadaannya.

"Luka tusukan cukup besar dan ada banyak darah yang keluar. Untungnya, Anda membantu menutupinya dengan kain agar darah tidak terus mengalir. Namun, pasien kehilangan banyak darah dan saat ini membutuhkan donor darah," jelas sang dokter sambil menatap Vino.

"Tapi saat ini kami kekurangan darah golongan AB," lanjutnya.

"Tapi golongan darah saya bukan AB, Dok," ucap Vino.

"Tidak apa-apa. Bagaimana jika kita menghubungi keluarga pasien untuk datang ke sini? Apakah Anda memiliki nomornya?" tanya sang dokter.

Mendengar itu, Vino menggelengkan kepala. Ia tidak memiliki nomor keluarga pasien dan juga tidak memiliki ponsel.

Sang dokter mengerti dan mengeluarkan ponsel dari jasnya.

"Ini ponsel pasien. Saya mengambilnya dari sakunya saat sedang merawatnya. Anda hanya perlu meneleponnya saja," ucapnya sambil menyerahkan ponsel pasien kepada Vino.

Vino menerima ponsel tersebut dan membukanya. Untungnya, ponsel tidak terkunci. Vino langsung membuka Telepon. Meskipun bingung siapa yang harus ia hubungi, tatapannya tertuju pada nomor yang tercatat dengan nama "Daddy". Tanpa berpikir panjang, Vino langsung menelepon nomor tersebut.

Telepon langsung dijawab dari seberang.

"Kaino, di mana kamu?" Mendengar suara yang penuh kekhawatiran, Vino langsung menjawab.

"Halo, Om."

"Siapa kamu?" Suara yang awalnya khawatir berubah menjadi dingin.

"Saya Vino, anak Om. Kecelakaan dan sekarang sedang membutuhkan donor darah," jelas Vino.

"Berikan alamat rumah sakitnya, saya akan segera datang ke sana," mintanya.

Setelah memberikan alamat, panggilan terputus oleh pihak lain. Vino menatap sang dokter.

"Katanya keluarganya akan datang, Dok," ucap Vino.

Sang dokter menganggukkan kepala dan mengusap rambut Vino. "Terima kasih sudah menolongnya dan membawanya ke sini."

VINO ALVARENZAWhere stories live. Discover now