Dia ngeselin, tapi hebat!

5 2 20
                                    

Kamu nggak tahu bagaimana aku manyukaimu dengan bahagia dengan luka disaat bersamaan.
____________________________

Tanpa terasa matahari sudah tenggelam, malam menunjukan gelapnya. Udara dinginnya menusuk kulit, sedangkan, kak Dharma masih saja setia tidur di kamar abang. Aku berdiri dipintu masuk, yah, karena mama memintaku membangunkan kak Dharma untuk sholat.

Aku menatap punggungnya. Punggung seorang laki-laki yang sering kupanggil dengan sebutan si tengil karena segala keanehan yang ada dalam dirinya, terlepas dari itu dia tidak seceria yang ia tunjukan lahir dan besar di keluarga yang retak tidak membuatnya tumbuh menjadi manusia yang benci akan sebuah hubungan justru dia ingin membangun sebuah hubungan yang di dalamnya penuh kehangatan dengan obrolan yang diawali 'Ada cerita apa hari ini?' dan 'Ada yang mau diceritain nggak?' terdengar sederhana namun menurutnya itu yang terbaik.

Aku tidak berani masuk kedalam kamar padahalkan ini kamar abang.

Aku memanggilnya saja dari pintu, sepertinya itu keputusan yang baik.

"Kak... Kakak... Kak Dharma..."

Panggilan ini lebih terdengar seperti berbisik.

"Ar, udah belum dek?"

Aku meletakan jari telunjuk ke depan bibirku "Sttt... Mah, kak Dharma masih tertidur. Kayaknya dia butuh istrahat banyak."

"Tapi nggak sholat juga di tinggalin, dek." tiba-tiba abang nyeletuk. "Biar abang yang bangunin, mah."
Abang masuk begitu saja. Entahlah aku rasa ketika Abu atau kak Dharma dekat denganku abang seperti perempuan yang lagi PMS.

"Kamu kenapa sih Zade? Kamu cemburu yah sama Dharma?"

Pfffttt... Mama ada-ada saja yah.

"Enggk mah, kan sholat nggak bisa ditinggalin. Udahlah, biarin abang bangunin dedek Dharma."

"Abang pelan-pelan banguninnya." aku mewanti-wanti abang dengan eksperesi kulit dahiku mengkerut dan pupil mata yang membesar. Yah, dibuat seolah-olah memohon sesuatu.
Sedangkan Abang berlalu begitu saja. Abang makin hari makin ngeselin saja.

"Dek, sebelum adzan ayo kita bersih-bersih dulu. Biarkan abang yang membangunkn Dharma. Nggak perlu cemas gitu ah."

Aku mengangguk dan mengekori mama hingga masuk kedalam ruangan kecil yang kami pakai untuk sholat berjamaah selama ini.

"Ekheem...." aku membalikan badan dan mendapati abang dan kak Dharma yang sudah rapi menggunakan pakaian sholat lengkap dengan peci di kepala keduanya.

"Kak, nggak pa-pa?"

Dia hanya memejamkan mata dan tersenyum tipis. Dia masih sangat lemah bagaimana bisa dia akan berlomba denganku besok?

"It's okey yah, Aru. Dharma bisa."

"Mumpung Dharma ada disini, Dharma saja deh yang jadi imamnya."

"Abang? Abang sadar nggak sih? Kak Dharma lagi nggak sehat terus abang minta kak Dharma untuk jadi imam? Abang kenapa sih? Dari tadi loh abang gini, ada masalah yah sama keberadaan kak Dharma disini?" ujarku berapi-api.

"Nak, udah-udah. Nanti waktu sholatnya keburu habis. Abang yang jadi imam, nggak ada penolakan, selesai sholat antarkan Dharma kembali pulang." mama angkat bicara untuk memutuskan. Kalau begini siapa yang berani membantah?

Sholat selesai dan sekarang aku dan mama sedang menunggu abang pulang mengantarkan kak Dharma pulang kerumahnya. Kalau dipikir-pikir, tadi aku keterlaluan ke abang. Memarahinya, mungkin abang tidak akan menduga bahwa adiknya akan sedekat ini sama seorang laki-laki, ia baru merasakan hal ini. Seharusnya, aku memakluminya.

"Mah, tadi Aru keterlaluan nggak sih?"

"Yang mana?"

"Yang Aru marahin abang itu, mah."

"Kalian sama-sama salah di satu waktu. Kalian pasti tahu kesalahan kalian dimana. Nggak pa-pa, nanti waktu abang datang nanti diajak bicara yah, biar berdua sama-sama lega. Permasalahannya harus dilihat dari dua sudut pandang. Kamu jangan sedih gitu, adek udah hebat hari ini tolongin kak Dharma. Itu perbuatan mulia. Mama bangga dek, sama kamu."

Aku memeluk perempuan kuat di depanku ini. Yang dengan relanya mengorbankan separuh hidupnya untuk aku dan abang.

"Apanih kok peluk-pelukan nggak ajak abang, curang banget." ujar abang dengan memajukan bibirnya, seperti donald bebek itu.

Aku melepaskan pelukan mama dan menarik tangan abang menjauh dari tempat kami semula.

"Kenapa?" perkataan abang terdengar ketus ditelingaku. Mataku memanas mendengarnya, semakin yakin bahwa aku bersalah disini.

"A-a-abang maafin Aru, tadi Aru salah." tidak air mataku sudah luruh begitu saja.

"Adek, nggak pa-pa. Kalau tadi abang yang salah. Jujur, abang cemburu sama Dharma, siapa dia berani-beraninya minta izin abang bawa adek untuk piknik sama dia terus pulangnya kehujanan. Abang cuma cemburu ajah, udah yah jangan nangis. Jelek amat kalau nangis." ucapnya dengan mengarahkan dua Ibu, jari untuk menghapus air mata di pipiku... "Dan, tolong dek, abang nggak selamanya sama kamu. Tolong jangan merasa bahwa emosi yang kamu keluarkan itu akan selalu jadi beban bagi orang lain. Kamu berhak untuk bersuara, contohnya seperti kamu membela Dharma tadi. Tadi abang bangga loh kamu berani bersuara artinya emosimu terpakai. Tolong jangan merasa bahwa kamu harus mengutamakan seluruh dunia baru kemudian diri sendiri. Ingat, diri sendiri itu yang utama." lanjutnya.

"Berarti kak Dharma jujur kalau dia ajakin aku ke tempat lain bukan ke sekolah?"

"Iya, dia jujur makanya abang izinin apalagi ditambah dia nelfon pembimbing kalian untuk minta izin ke abang. Nambah yakinlah abang. Tapi."

Aku mendengarnya hanya mengangguk-anggukan kepala.

Sekali lagi abang melengkapi peran Bapak dalam hidupku.

"Tidur yah, abang ceritain waktu kita kecil dulu. Jangan larut besok kamu harus lomba kan? Abang janji bangun lebih awal." malam ini ditutup dengan kami yang berdamai dengan bercerita tentang masa kecil yang menyenangkan

"Adek, ayo bangun bajunya sudah abang siapkan, jilbabnya semuanya termasuk bekal dan sarapannya. Ayo bangun, sholat dulu."

Pagi-pagi, ralat ini masih jam tiga dini hari tapi abang sudah ribut dan mengelilingi seisi rumah.

"ADEK BANGUN..." kali ini dia membangunkanku dengan tidak santai.

"Abang santai dong. Masih jam tiga ini."

"Yah, kita tahajud terus adek ulangi apa yang harus dipelajari sampai nanti shubuh setelah itu kita tunggu sampai jam enam kita langsung berangkat." aku tidak menyangka kalau abang sudah merencakan ini dengan matang sekali.

"Aru, abang deg-degan deh. Kamu mewakili sekolah loh ini. Abang nungguin kamu ajah yah?"

"Nggak usah. Abang mending nemenin mama ke arisan kompleks sebelah mungkin dapat jodoh anak temannya mama."

Saranku tidak mendapatkan feedback yang baik. Dahiku malah disentil kuat sama abang.

"Awss... Adek laporin mama yah!"

"Lapor sana, dasar cengeng." ujarnya dengan terus berlalu ke kamar mama.
Padahalkan baru beberapa jam lalu kami berdamai. Sekarang malah abang yang mengibarkan bendera peperangan, kalau begitu aku akan menyambutnya sesuai keinginan abang.



_____________________________


Jazakallah khairan katsiran
~Ambil baiknya, buang buruknya

Semasa AliyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang