Patah dan melepaskan

11 1 3
                                    

"Saya tidak paham, bagaimana caranya untuk menyukai kamu. Saya tidak seluas bumi, sayapun tidak seluas itu untuk memahami bagaimana kamu ingin disukai."
_________________

Hari ini jadwal kak Dharma untuk melakukan kemoterapi, rambutnya dipangkas habis. Seperti karakter upin-ipin, tau kan? Kepala botak tapi tetap dengan senyumnya yang penuh. Bahkan aku tidak mendapatkan satu guratan kesedihan di wajahnya.

"Ar, kamu nggak izin untuk ke rumah sakit?" tanya Nissa.

Aku menggelengkan kepala "Nggak Niss, mungkin pulang sekolah ini. Aku nggak berani bolos."

Nissa mencebikan bibir bawahnya, "Kamu kan bisa nitip absen di aku, kamu gimana sih, Ar. Fita aja nggak hadir hari ini."

"Yah, terlanjur. Nggak pa-pa nanti pulang sekolah aku langsung ke rumah sakit aja, udah izin juga ke mama tadi."

Yang aku baca-baca mengenai penyakit yang diderita kak Dharma, gejalanya adalah penglihantannya yang semakin mengabur. Pantas saja, dua tahun belakangan ini aku tidak pernah melihat dia membuka kacamatanya. Sudah sejauh itu keadaanya.

Aku tidak mengetahui pasti, sejauh mana kanker otak ini menggerogoti tubuhnya. Tapi, biasanya kemoterapi dilakukan ketika Dokter onkologi sudah mendapatkan diagnosis final mengenai lokasi kanker, jenis kanker, dan tingkat stadium. Dokter onkologi kemudian akan memberikan pengobatkan kemoterapi yang dibagi menjadi bermacam-macam tergantung jenis kanker. Bisa aku simpulkan kak Dharma sudah didiagnosa final jenis kanker dan tingkat stadiumnya. Hari itu, aku ingin sekali bertanya, tapi aku urungkan tidak mau membuat wajah ceria menghilang dengan cepat. Aku memilih diam.

Suasana kelas sangat ramai, gaduh. Hingga pada akhirnya guru yang memegang mata pelajaran kewarganegaraan datang untuk mengajar.

"Assalamualaikum semuanya. Dimohon perhatiannya. Ini ada info beasiswa untuk ke beberapa negara, silahkan dibaca jika berminat info lebih lanjutnya ada di mading utama sekolah." ujar ibu Sinta sambil mengelilingi satu persatu meja.

Murid lain hanya mengangguk-anggukan kepala paham, ada juga yang terus membolak-balikan brosur itu tanpa membacanya sedikitpun, termasuk Nissa.

"Kenapa? Nggak tertarik, yah?"

Nissa menghembuskan napas pelan "Bukannya nggak tertarik, hanya aja aku nggak bisa jauh dari abah dan bunda. Nanti yang ada tiap hari aku nangis mulu keingat mereka berdua." ujarnya dengan melipat brosur itu menjadi pesawat kertas "Kalau kamu gimana, Ar?"

"Yah, nggak gimana-gimana, aku bakalan coba dulu. Hitung-hitung ngeringanin beban abang sama mama."

"Targetmu kemana?" tanyanya lagi.

"Jepang."

"Why? Karena Abu?"

"Salah satunya. Tapi, bukan alasan utama untuk aku memilih Jepang. Dari awal aku sudah tertarik sama Jepang, life stylenya, sejarah, budaya, ilmu pengetahuan, karakter orang-orangnya. Everything about that's country. "

"Good luck, yah. Aku pasti bakalan bantu. Bantu do'a maksudnya." katanya sembari memasukan buku kedalam tas. "Aku duluan yah, Ghozi yang jemput kalau telat nanti dia ngomel."

"Ghozi apa Nana?" ujarku bergurau.

"Benaran Ghozi, kalau ketemu Nana yah berarti jodoh, hahahaha. "

Semasa AliyahWhere stories live. Discover now