Talk to much

2 0 0
                                    

Aku selalu jatuh cinta pada pilihan pertama
_______________________

🌻🌻🌻

'Ini udah, itu udah.' kalimat-kalimat seperti itu yang biasa digunakan untuk mengecek barang sudah aku sebutkan dari sejam lalu. Mengingat keberangkatanku tinggal dua minggu lagi.

"Adek, kaos kakinya jangan lupa, yah." ujar abang dari luar kamarku.

"Aru, mau dibekalin apa nanti?" ibu menyusulku dengan buru-buru dari dapur.

Aku diam sejenak sambil mengetuk-ngetukan jari telunjuk di dagu, benar-benar seperti seseorang yang sedang serius memikirkan sesuatu.

"Maunya apa, dek?" tanya mama lagi.

"Indomie dengan segala varian rasa, susu kotak coklat yang banyak banget sama keripik singkong balado. Semuanya serba banyak!" ujarku sambil membayangkan akan seenak apa makanan-makanan itu lebur didalam mulutku.

"Iya, tapi disana mi nya jangan keseringan, yah. Diatur pola makannya. Disana bakalan sendiri." ibu menasehatiku sambil merapikan beberapa perintilan untukku bawa.
"Eh, mama lupa masakan di dapur. Nanti bawain buat ibunya Abu, yah, nak." ibu dengan langkah pasti segera meleset pergi ke dapur.

"Dek, disana makan mi sebulan sekali aja, yah. Jangan keseringan. Sakit sendiri nggak enak. Sama, belajar makan sayur. Jangan anti sayuran gitu dong. Di Jepang banyakan vegetarian. Lagian, saat kamu baru disana bakalan bingung nyari tempat halal untuk makannya." abang lagi-lagi mengingatkanku.

Aku menekuk wajahku, "Iya abang, tau."

"Dibilangin juga." ujarnya mencubit pelan hidungku.

"ABANG! cubit aku sekali bayar seratus ribu!" aku menggertakan gigi, menatap penuh rasa kesel ke kakinya. Bulu-bulu kakinya yang tebal akan aku jadikan sasaran balas dendamku.

"Heleh, jalan aja aku yang nuntun, kok." balasnya mengungkit kejadian yang lalu... "ARUNIKA!" dia meringis merasakan kulitnya yang telah kucabut beberapa helai bulu kakinya.

Aku tertawa puas sambil memegangi perutku, bahkan aku sudah tiduran dengan menekukan kaki. Apa yah namanya? Oh! Ketawa ngakak, atau bahkan bengek, karena saat ini hanya bahuku yang bergetar suaraku tidak sanggup lagi untuk aku keluarkan.

"Doyan banget sih, dek. Sakit tau!" abang merenggut kesal sambil berlalu ke ruang tamu dengan menghentak-hentakan kakinya kasar ke lantai.

"Kamu apaan banget sih, kayak anak kecil aja! Sampai kaget tuh Raska denger bunyi kakimu."

Aku yang mendengar abang dimarahi istrinya hanya tertawa cekikikan sendirian. Hahaha, rasain!

"Ohiya, dek. Kamu udah dapat tempat disana?" kali ini kak sinta yang bertanya. Tempat uang dimaksud kak Sinta adalah tempat aku bersemayam nanti atau kata lainnya tempat tinggalku.

Kak Sinta bertanya seperti itu tepat ketika aku ingin memasukan buku yang diberikan Fita di hari kepergian kak Dharma saat itu. Aku tersenyum getir sambil mengusap permukaan buku itu. Tidak ada yang istimewa daru covernya hanya sebuah gambar senyum dengan tinta putih.

"Udah dapet, kak. Direkomendasikan sama abangnya Fita, kak Dharma."

Abang yang duduk bersebelahan dengan kak Sinta dan serius bermain bersama Raska langsung beralih menatapku dengan raut wajah yang seakan ingin bertanya sesuatu. Menyadari akan hal itu, aku menganggukan kepala. Tidak tau kami sedang membicarakan apa. Tapi kami mengerti.

Kak Dharma, bahkan disaat jiwa dan raganya tidak ada dia masih tetap memberiku dukungan. Saat ia masih bersama kami. Aku sering diajaknya untuk mengulur waktu bimbingan hanya untuk menonton anime-anime yang direkomendasikannya. Aku hanya mengikuti kemauannya saja. Toh, saat itu aku juga lagi jenuh untuk belajar.

Semasa AliyahDove le storie prendono vita. Scoprilo ora