Egois.

10 2 20
                                    

Rumahmu adalah kamu.
__________________

Sholat sudah dilaksanakan, kami satu masjid masih penasaran siapa yang akan mengisi kultum kali ini.

Sambil menunggu aku dan yang lain berberes perlengkapan sholat dan menyapu bagian perempuan. Saat sedang bercanda sambil menyapu tiba-tiba saja pengeras suara mengeluarkan suara, dengan cepat kami kembali duduk ditempat masing-masing.

"Assalamualaikum warrahmatullahhiwabarakatu. Pertama-tama saya meminta maaf atas keterlambatan saya untuk menyampaikan kultum pada kesempatan kali ini. Mohon maafkan saya... "

Suara yang aku kenali, suaranya yang dari jarak jauhpun aku tahu siapa pemiliknya, suara yang jadi candu ketika dia berbicara, suara itu milik pemiliknya Abu Faiz. Aku terus tersenyum, memilin-milin ujung jilbab. Salah tingkah, senyum yang selalu angkring di bibir, pipi memanas, kepala ditundukan, rasa suka yang semakin suka, dan rasa bangga yang mendominasi, sepertinya kalimat-kalimat itu tidak cukup untuk menggambarkan keadaanku sekarang.

Sepanjang dia menyampaikan kultum, aku mendengarkan dengan khidmat. Yah, setiap kali kultum disampaikan aku memang mendengarkannya dengan khidmat, tapi, kali ini beda seperti ada manis-manisnya.

Dia menyampaikan kultum dengan tema pentingnya menuntut ilmu.

Sudah aku duga bahwa dia akan membawakannya dengan tenang. Selain Fauzan, Abu adalah laki-laki berikutnya di sekolah ini yang menurutku punya jiwa kepemimpinan yang kuat. Seperti air, dia menguasai tempatnya dengan baik, setelah dia menyampaikan tentang pentingnya ilmu, tepuk tangan bergemuruh. Aku ikut bertepuk tangan dengan senyum merekah tentunya dengan penuh rasa bangga. Entahlah, setiap dia mencapai sesuatu hal aku selalu ikut bangga dengannya bahkan mungkin lebih bangga dengan diri sendiri.

"Siapa sih yang kultum?"

"Lancar banget, yah kultumnya!"

"Bagus deh, ikutan hanyut. Suaranya juga ganteng." ujar perempuan lain memekik kesenangan.

Itu beberapa pujian yang aku dengar, sebenarnya masih banyak lagi dari pujian, sampai sindiran juga ada. Seperti saat ini ini "Senyum mulu, kesambet yah kamu?" Nissa itu pendiam, tapi, sekalinya buka suara ia pun tidak jauh beda dengan Lulu dan Fita. Semoga saja, perasaan Nana padanya bertahan lama.

Sedang Fita sudah tertawa hingga suaranya hilang, orang-orang menyebutnya bengek. Hidungnya pun sudah kembang kempis.

"Aduh, kebanyakan ketawa aku jadi laper. Kantin yuk!" ujarnya dengan ngos-ngosan.

"Sendiri aja, tadi aku sama Aru udah ditraktir sama Lulu dan Nana." ujar Nissa dengan beranjak dari tempat.

"Yaudah deh, kalian lanjutin kerjanya. Kalau ada bayaran, kongsi bisa kali yah." Fita mengerlingkan matanya kepadaku tentu saja kubalas dengan cubitan kecil dilengan, ia mengaduh kesakitan dan aku berlalu begitu saja. Biarkan saja, aku masih sedikit kesal perihal kejadian tadi pagi.

Aku niatnya menyusul Nissa, tapi belum sampai ke Nissa lebih dulu di hadang Lulu yang sedang membantu kak Dharma yang berjalan tertatih-tatih.

Aku menaikan alisku "Ada apa?"

"Lupa? Kerjaan kita, hari ini lu jadi asisten gue." ujarnya dengan tersenyumm miring.

Hampir lupa, aku lakukan ini sebenarnya untuk info lebih lanjut tentang Nana dan Nissa, tidak lupa juga terang bulan spesial yang menggiurkan. Membayangkannyaa saja mampu membuatku menelan ludah.

"Ayo!" ujarku dengan semangat. Aku sengaja berjalan duluan tanpa melihat sedikitpun kepada kak Dharma. Apa aku jelous? Tapi buat apa?

Mungkin dengan perasaan dongkol, aku berjalan dengan cepat tanpa memperdulikan Lulu yang kesusahan menuntun kak Dharma berjalan. Karena, saatku melihat kebelakang mereka baru saja akan turun dari lapangan bola futsal. Lambat, pikirku.
Sembari menunggu mereka aku masuk ke dalam kelas untuk merapikan meja dan memasukan mukena. Berhubungan sudah jamkos sampai penerimaan rapor semester satu, tasku pun tidak begitu banyak buku.

Semasa AliyahМесто, где живут истории. Откройте их для себя