Pillow talk

6 0 0
                                    

Banyak maaf sebab, lebih bisa menenangkan riuhmu daripada merayakan riangmu
____________________

Rasanya seperti mimpi. Berawal dari rasa sukaku terhadap sikap tertib masyrakat disana hingga aku mengikuti beberapa tes hingga akhirnya aku diterima di salah satu perguruan tinggi di Jepang.

Sedih, senang, terharu tercampur aduk semuanya.

Aku duduk dibawah lantai kamarku dan melanjutkan menulis surat perpisahan untuk Nissa dan Fita yang akan kukirimkan sore ini. Selama kelulusan diumumkan aku, Nissa dan Fita belum pernah lagi bertemu langsung bertiga. Kami masing-masing sibuk menata lima tahun kedepan. Rasanya aneh, tanpa melihat mereka setiap harinya. Sebab, hari-hariku selama tiga tahun kebelakang selalu ada mereka. Meski kami selalu chatan di grup pesan tapi rasanya berbeda ketika kami berbicara apapun yang kami mau. Dari topik A hingga topik Z, kalau sama mereka semuanya terasa menyenangkan sekalipun hanya mendapati langkah kaki kami seirama ketika berjalan bersama.

Nissa, gadis dengan tingkah laku anggun itu sibuk membantu bundanya-nya untuk mengurus toko roti mereka. Toko roti mereka tidak terlalu besar tapi tidak pernah sepi peminat. Satu hal yang sangat unik dari toko roti tersebut adalah setiap hari jumat diberi se-paket roti paling laris untuk orang yang hafal sepuluh ayat pertama atau sepuluh ayat terakhir surah Al-kahfi. Ide bunda-nya Nissa memang out of the box.

Lalu Fita, gadis itu memilih gap year alias beristrahat selama setahun ini. Aku memahaminya. Gadis dengan jiwa kompetitif itu sedang lelah sekarang. Dia bahkan masih menimbang-nimbang melanjutkan usaha papa-nya atau mengejar cita-citanya yang ingin menjadi fashion designer.  Sangat berat berada di posisinya saat impian sudah ditata sedemikian rupa dan pada akhirnya tidak berakhir seperti rencana. Rasanya gagal, capek, melelahkan harus menyusun kembali puzzle-puzzle tersebut. Papa-nya sendiri tidak memaksakan tapi Fita merasa dia punya tanggung jawab dan dia tidak dibesarkan untuk lari dari tanggung jawab. Aku dan Nissa berusaha selalu ada untuknya.

Akhirnya selesai juga suratku untuk mereka berdua. Memang sangat bisa untuk mengatakan semuanya secara langsung tapi aku tidak se-berani itu sekalipun sama mereka. Nanti malah tergugu sendirian.

Aku beralih ke ruang keluarga, disana semuanya berkumpul dengan sepiring pisang goreng hangat yang barusan digoreng mama, pisangnya mama dapat dari kebun belakang rumah. Semasa hidup, bapak suka sekali berkebun dan memanfaatkan sedikit lahan kosong dibelakang rumau untuk dijadikan media tanam untuk beberapa sayuran, pohon pisang, papaya dan beberapa tanaman obat.

"Wah, enak nih. Kok nggak ajak-ajak, sih?"

"Mama mau panggil kamu tadi, hanya kamu masih kelihatan sibuk. Yaudah kami duluan aja."

Aku memposisikan duduk tepat disamping mama yang sibuk menyuapi pisang ke Raska. Balita berumur setahun itu, semakin lucu saja.

"Ayah kamu bohong, kan, bang?" ujarku meminta pendapat Raska. Bocah kecil itu hanya menggaruk-garul hidungku dan menatapku dengan matanya yang bulat. "Aduhh! Abang kiyowok!" aku mendaratkan ciuman berkali-kali pada kedua pipinya yang montok itu. Balita apa buntelan kapas, sih?

"Jinnja?!" sahut kak Sinta. Informasi saja, kak Sinta ternyata juga penyuka drama korea. Aku juga sering mendapatkan rekomendasi drama korea dari dia.

Mendengar sahutan kak Sinta, aku tertawa terbahak-bahak, kak Sinta pun begitu. Abang memutar bola matanya jengah dan membekap kak Sinta dibawah ketiaknya. Dia pasti tau percakapan kami tidak akan usai. Berbicara bahasa korea dengan berantakan adalah keahlian kami.

Abang melepaskan bekapannya pada kak Sinta, kak Sinta menghembuskan napas kasar dan menarik nafas terburu-buru. Sepertinya, susah bernapas saat tadi dibekap.

Semasa AliyahМесто, где живут истории. Откройте их для себя