Chapter 5

29 10 1
                                    

"an old wound"

Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.

"an old wound"


• • •

Barangkali, berpura-pura memang pekerjaan paling melelahkan di dunia. Sungguh hati, Sura rasanya ingin kalap, melaung kepada semua orang seperti kesetanan. Mata-mata yang menyebalkan, mereka semakin mendahsyat. Mereka sudah tidak takut-takut berbisik di depan Sura dengan mimik jijik, praduga di kepala mereka liar dan meracuni.

Setelah hampir seminggu dia izin libur, gunjingan semakin kacau. Kalian boleh memikirkan skenario terburuknya, karena barangkali itu memang ocehan yang sedang santer. Seharian penuh Sura hanya bisa memalingkan kepala mencoba untuk tidak peduli dengan orang-orang sekitar, tapi tentu saja tidak semudah itu. Kata-kata jahat itu masuk ke dalam kepalanya, menerobos dengan bebas, sesudah itu bersarang menciptakan monster baru. Entah bagaimana caranya Sura masih begitu kuat sembari menyebar senyum palsu kepada setiap konsumen yang datang ke restoran.

Kendati demikian, senyumnya kini luruh pelan-pelan. Sejoli kasmaran di sudut sana adalah penyebabnya. Mereka duduk bersantap dengan sedap dihiasi lampu yang temaram, bersenda gurau, asyik sekali. Sura menatap keduanya dengan mata yang tidak dapat diartikan: berang, tersakiti, benci, sempurna. Pada akhirnya memang selalu ada manusia yang berbahagia setelah berhasil menaruh garam di atas luka kita bukan?

Masih betah menatap pasangan di ujung sana-secara teknis Sura hanya melihat si wanita yang menggunakan dress cantik itu-, lamunan Sura bubar saat seseorang menepuk bahunya dan mengatakan, "Berhenti menatapnya. Wanita itu ingin menemuimu di luar lima menit lagi." Maka Sura akan memenuhi panggilan itu dengan takzim. Sanubari Sura bertanya-tanya apa yang hendak wanita itu lakukan atau celoteh nanti. Bagi Sura segala urusan dengannya sungguhlah telah usai, tamat dengan sebuah ketidakadilan.

Nyatanya, begitu mereka menampakkan keberadaan satu sama lain di bawah langit yang kian gelita, hanya sebuah basa-basi yang Sura dapatkan.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya setelah sebuah rokok dengan bara yang begitu merah marak ia jatuhkan dengan sengaja. Bara padam, asap mengepul lewat bibirnya, dan dia suguhkan senyum terbaik yang bisa ia ciptakan. Ini tidak akan berjalan dengan lancar. Tidak pernah.

Sebetulnya, sehabis mendengar perkataan wanita itu, niat hati Sura adalah kabur melarikan diri dengan wajah yang muak. Kabar? Yang benar saja. Sura ingat saat terakhir ia melihat wanita itu, dia pergi tanpa menoleh sedikit pun, meninggalkan Sura dengan sebuah tanda tanya besar. Namun lihatlah dia sekarang, berdiri mentereng seperti kawan lama yang karib.

"Aku hanya berharap untuk tidak bertemu denganmu lagi, jadi katakan saja." Sura segan betul untuk sekadar mengatakan kondisinya pada wanita itu. Tentang kehidupannya, tentang Hongjoong, tentang mimpi mereka, semua itu sungguhlah bukan hal yang patut diumbar ke wanita di hadapannya.

Wanita berumur menjelang empat puluhan ini mendekat dengan derap kakinya yang redam ditelan salju. "Aku tidak ingin mengatakan apa pun, aku hanya ingin mengetahui keadaanmu."

mercusuar Where stories live. Discover now