Bab 1. Sebuah Keluarga

684 77 38
                                    

Karena mau tidak mau, kehidupan akan terus berjalan sekalipun itu tidak sesuai dengan keinginanmu.

.
.
.

Aku tidak pernah membayangkan menjalani hidup tanpa ada tujuan, hanya merasakan kekosongan dan kehampaan. Seperti sebuah layang-layang putus yang terbang tanpa pengait tali—tanpa tujuan—bahkan jika dunia bekerja sama untuk membuatku bahagia, itu tidak akan berhasil.

Seperti itulah yang kurasakan dalam hidupku sekarang.

Sebelumnya, hidupku berjalan baik-baik saja seperti semua orang di dunia ini. Bahagia dalam porsi yang pas. Namun, tiba-tiba saja segalanya berubah dalam sekejap ketika hal paling berharga hilang dalam hidupku.

Di saat seharusnya aku merayakan momen bahagia lulus sebagai murid SMA, di saat teman-temanku membuat orang tua mereka bangga, aku justru kehilangan mereka.

Selamanya.

Aku merasa seakan dunia tempatku berpijak runtuh. Hal yang tak pernah kubayangkan dalam waktu secepat ini. Kehilangan terbesar yang kualami hingga rasanya aku tidak bisa percaya dan menerima, dan saat menyadari semua itu benar, aku merasa menjadi gila.

Ya, gila.

Kalian akan mengatakan itu jika melihat keadaanku.

Hei, apa yang kau bayangkan saat melihat seorang anak berusia 18 tahun yang masih sangat manja dan butuh perhatian serta kasih sayang orang tuanya tiba-tiba menjadi yatim piatu?

Saat harusnya dia memulai kehidupan mahasiswa dengan bimbingan orang tuanya, tetapi itu sama sekali tidak terjadi.

Berdiri sendirian menghadapi dunia tanpa sosok yang seharusnya dia jadikan panutan. Tak ada tujuan dalam hidup barunya, dan tentu kalian tahu betapa kebingungan dan kesedihan menyergapnya di waktu yang bersamaan.

.
.
.

Suara pintu yang terbuka pelan membuatku menoleh, tak lama disusul oleh suara familiar.

"Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun, Lily! Semoga panjang umur!"

Nyanyian dengan suara tak merdu itu terdengar dari pintu kamarku yang kini terbuka. Seulas senyum terbit dari bibirku melihat dua orang pria tampan yang kini melangkah memasuki kamarku dengan senyum lebar menghiasi wajah mereka.

Sebuah kue ulang tahun berada di tangan mereka.

"Selamat ulang tahun yang ke-20, ya?"

"Tiup lilinnya dulu, gih! Jangan lupa make a wish, ya!"

Menuruti ucapan mereka, aku pun meniup lilin diiringi tepukan meriah dari keduanya. Untuk make a wish, aku tidak inginkan apa pun, selain Tuhan mau berbaik hati mengembalikan apa yang hilang dariku.

"Yeay! Semoga bahagia!" sorak mereka, lalu memelukku bersamaan dengan tangan mereka yang bebas.

Aku mengucapkan terima kasih pada mereka. Ada rasa haru yang menyeruak mengiringi momen itu, tetapi kurasa tidak tepat jika aku harus merasa bahagia sekarang. Aku bahkan merasa tidak perlu lagi merayakan ulang tahun.

Namun, setidaknya aku tidak boleh membuat mereka bersedih karenaku lagi, tidak untuk kesekian kalinya.

"Senyum, dong! Yang meriah, yang cantik, yang manis. Masa ulang tahun, tapi murung gitu?"

Aku sepertinya tidak bisa membohongi mereka dengan senyuman palsu yang kupaksakan agar terlihat bahagia.

"Apa, sih, Kak Ares, udah senyum gini." Aku mencoba untuk melebarkan senyumku, menampakkan ekspresi terbaikku untuk mereka dan memperlihatkan bahwa aku baik-baik saja.

"Jelek, idih!" cibirnya, lalu meletakkan kue ulang tahun yang sedari tadi dipegangnya di atas meja belajar di sebelah tempat tidurku.

"Jangan gitu, Res, sekarang Adek udah gede. Malulah digodain terus sama kita," tegur Bang Farrel yang malah mengacak-acak puncak kepalaku dan membuat rambutku berantakan.

"Ck, elah! Sama aja lo, Rel!" gerutu Kak Ares yang melihat kelakuan iseng Bang Farrel padaku.

"Eh, btw, kayaknya Lily lupa, deh, kalo hari ini ulang tahun?"

"Hm?" Aku menimang sebentar ucapan Kak Ares karena jujur aku memang tidak ingat hari ini dan seperti kataku tadi, aku tidak ingin merayakannya. Hari yang seharusnya dinanti setiap tahunnya untuk dirayakan dengan bahagia.

Mereka berdua kemudian menarikku untuk duduk bersama di tepi ranjang, lalu menatapku dengan tatapan yang sangat tidak kusuka.

Lagi-lagi tatapan seperti itu yang sudah sering kali kulihat dalam 1 tahun terakhir ini. Tatapan sendu mendalam dan penuh dengan pengertian. Aku hanya memiliki mereka berdua dalam hidupku sekarang, semenjak kepergian kedua orang tuaku untuk selama-lamanya.

Mereka berdua adalah harta paling berharga sekarang, dua kakak yang menjagaku dan menggantikan peran orang tua dengan sangat baik.

"Hidup ini akan terus berjalan, entah kita suka atau tidak, Ly. Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Namun, menghabiskan waktu kita hanya untuk merenungi kejadian yang sudah terjadi dan terkubur pada kenangan masa lalu adalah hal yang merugi, Bang Farrel tahu kalau kamu masih memikirkan Ayah dan Bunda, tapi kamu juga harus memikirkan masa depan. Jangan terlalu menyesali kepergian mereka."

"Move on, Ly. Kakak tahu sulit buat kamu mengikhlaskan kepergian mereka. Akan tetapi, kalau kamu terus seperti ini, Kakak yakin Ayah sama Bunda juga nggak senang. Benar apa yang dikatakan Bang Farrel, kamu harus mulai melangkah maju dan memikirkan masa depan. Lagi pula kamu nggak perlu mengkhawatirkan apa pun karena kita berdua akan selalu ada buat kamu, kok."

Aku menunduk diam berusaha menahan rasa sesak dan berat yang tiba-tiba menyeruak dalam hatiku, juga air mata yang mengancam jatuh dari sudut mataku.

Aku tidak boleh menangis lagi. Setidaknya aku tidak ingin terlihat cengeng dan menyedihkan di hadapan mereka untuk kesekian kalinya.

Kak Ares meraih bahuku dan menarikku dalam pelukan hangatnya yang menenangkan, sementara Bang Farrel menyunggingkan senyum yang lembut juga sorot mata yang seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, lalu memeluk kami berdua dengan eratnya.

Aku bersyukur karena dalam semua masa kesedihanku selalu ada mereka yang berada di sisiku dan menggenggam erat tanganku. Aku sempat merasa kehilangan arah tanpa orang tuaku, tetapi mungkin jika aku menggenggam erat kedua tangan kakakku, aku tak akan tersesat dalam perjalanan ini, 'kan?

Semua momen yang memberiku kesadaran baru bahwa jalan yang harus kami lalui bersama masih terbentang panjang di depan sana.

Ya, 1 tahun telah berlalu sejak kecelakaan itu dan mungkin kini saatnya aku harus berusaha keluar dari perasaan sedihku ini. Jujur, bagiku masih terasa berat, apalagi dengan bayang-bayang orang tuaku di rumah ini, kenangan indah yang kini hanya bisa kuingat dan kusimpan dalam hati tanpa bisa kuulang kembali.

Berusaha pulih nyatanya lebih berat setelah rasa sakit dan kehilangan itu sendiri. Kedua kakakku tidak boleh khawatir lagi padaku.

Tuhan, jika Kau masih mengizinkan, buatlah orang-orang yang menyayangiku ini selalu bahagia.

"Makasih, Kak," ucapku lirih menggenggam kedua tangan mereka.

.
.
.

Bersambung.

Riexx1323.

Halo. Terima kasih sudah mau membaca atau sekedar mampir. Semoga kalian suka dengan kisah baru ini.
Jangan lupa tinggalkan jejak untuk mendukungku di event Pensi Volume 7, ya.
Terima kasih banyak semuanya. >.<

Sketch of Our Life ✅ END (TERBIT)Место, где живут истории. Откройте их для себя