Bab 7. Pembawa Nasib Buruk

196 41 26
                                    

.
.
.

Senja tampak begitu cantik dari jendela kamar rawatnya. Lily duduk diam menatap dari atas ranjang. Perasaannya campur aduk, entah bagaimana.

Pertemuannya dengan ibu pemuda bernama Raga itu justru membawanya pada penyesalan yang semakin dalam. Dia tahu ini sebagian adalah salahnya, pemuda itu pun juga bersalah, tapi masalahnya sekarang adalah salah satu di antara mereka cacat.

Lily merasa terbebani dengan fakta itu. Dibandingkan dirinya yang hanya luka memar karena benturan, luka gores pecahan kaca, dan juga keretakan pada tulang sikunya, buta jauh lebih buruk. Lukanya akan sembuh seiring berjalannya waktu. Namun, buta akan tetap seperti itu selamanya. Lily takut.

Diraihnya ponsel yang tergeletak di atas nakas, jemarinya bergetar mengobrak-abrik galeri mencari sebuah foto. Saat potret dua orang yang sedang tersenyum hangat itu ditemukannya, kristal bening meluncur begitu saja dari sudut matanya.

"Ayah, Bunda," lirihnya berucap seolah dua orang dalam potret itu mendengarnya.

"Lily takut, kenapa Lily selalu jadi beban untuk orang lain?"

"Seandainya Lily nggak keras kepala di hari itu, pasti kalian masih ada di sini. Masih bisa memeluk Lily."

Dibiarkannya air mata itu membasahi pipinya.

"Padahal, saat itu Ayah baru saja menyelesaikan jadwal operasi, harusnya Lily tahu kalau Ayah masih lelah, tetapi Ayah maksain diri untuk menyetir," isaknya lirih.

"Ayah dan Bunda jadi harus buru-buru ke sekolah karena permintaan Lily, hingga akhirnya kecelakaan itu terjadi. Seandainya bisa mengulang waktu, Lily nggak akan maksa kalian datang ke wisuda, jika akhirnya harus ditinggalkan untuk selamanya seperti sekarang. Harusnya Lily memilih kalian untuk nggak datang waktu itu, jadi Ayah Bunda nggak pergi dan sekarang masih ada bareng Lily."

Isakan kecilnya kini dibiarkan pecah menjadi tangis yang terdengar memilukan. Lily sudah pindah ke ruang naratama sehingga dia tidak khawatir suara tangisnya akan mengganggu pasien lain.

"Ayah, Bunda, beberapa hari lalu Lily kecelakaan. Maaf karena nggak hati-hati, kalau kalian ada di sini pasti sudah memarahi Lily, kan? Tapi Kak Ares sama Abang udah melakukan itu, mereka ngomel dan marah sama Lily. Lily tahu sebenarnya mereka khawatir dengan keadaan Lily."

"Meski Lily luka, ini nggak sepadan sama yang dialami oleh korban kecelakaan yang lain, Ayah. Selain Lily, ada pemuda bernama Raga, dia juga korban dari kecelakaan itu. Kami berdua berkendara dengan kecepatan tinggi dan melanggar lampu lalu lintas. Lily tahu itu salah, saat itu Lily terlalu emosi karena Wisnu. Harusnya Lily nggak pernah berharap pada cowok seperti dia sampai akhirnya kecewa lagi. Harusnya Lily bisa mengendalikan emosi dan kecelakaan itu nggak terjadi."

"Lily merasa sangat bersalah karena Raga harus menjadi buta akibat kecelakaan itu. Raga kehilangan penglihatannya. Lily jadi penyebab dia cacat."

Gadis itu mengambil napas panjang di sela-sela isakannya sebelum melanjutkan.

"Kenapa Lily harus menjadi penyebab orang lain menderita? Ayah, Bunda pergi selamanya karena keegoisan Lily, Wisnu juga ternyata hanya menjadikan Lily bahan taruhan, Lily selalu menyusahkan Kak Ares dan Abang, jadi beban mereka, lalu sekarang Lily jadi penyebab seseorang buta."

"Apa Lily ini pembawa sial? Apa Lily nggak berhak bahagia? Apa harusnya Lily pergi menyusul Ayah dan Bunda saja?" isaknya.

Bunyi pintu yang dibuka kasar membuat gadis itu terkejut. Dia refleks menoleh, dan mendapati raut terluka dari kakak tertuanya.

Terlalu kaget dengan kedatangan Farrel, Lily segera mengusap seluruh jejak air matanya, sia-sia, karena Farrel sudah lebih dulu menghampirinya dan menghentikan gerakannya.

Sketch of Our Life ✅ END (TERBIT)Where stories live. Discover now